Privasi merujuk pada batasan (boundaries) yang dimiliki oleh seseorang untuk melindungi hal-hal yang terkait dengan dirinya. Sedangkan intimasi bermakna level kedekatan seseorang dengan orang lain di luar dirinya. Menarik untuk mendiskusikan apakah privasi dan intimasi bisa bersisian di era pandemi ini. Bagaimana keduanya berkelindan?
Dalam konteks ketahanan keluarga di satu sisi dan solidaritas sosial di sisi lain? Kebijakan Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, dengan tagline Living in Bubbles (tinggal dalam gelembung balon) adalah contoh yang menarik untuk mempertemukan kedua istilah yang terkesan berlawanan tersebut (Long NJ, et.al: 2010).
Upaya menahan laju penyebaran covid-19 telah menghasilkan kebijakan menarik diri dari keramaian (social distancing) dan menjaga jarak (physical distancing). Kedua kebijakan ini meniscayakan rumah sebagai pusat dari segala aktivitas baik yang selama ini bersifat publik seperti bekerja (work from home) dan bersekolah (school from home), apalagi yang domestik misalnya memasak dan merawat anak-anak usia pra sekolah.
Bubbles berkonotasi pada benda yang tertutup (tidak bolong) tetapi transparan, rawan pecah tetapi fleksibel. Tertutup melambangkan privasi bahwa sekelompok orang yang berada di dalam tempat itu memiliki batasan ruang tetapi transparan yang memungkinkan akses timbal balik. Individu di dalamnya bisa melihat dan dilihat dari luar.
Privasi yang dimiliki keluarga tetap memungkinkan mereka untuk saling memiliki empati dan solidaritas dengan bubbles yang lain. Bubbles sangat rawan pecah sehingga setiap anggota keluarga tidak merasa “baik-baik saja” dan setiap mereka harus siap untuk membantu dan dibantu. Fleksibilitas bubbles untuk ditiup membesar melambangkan bagaimana mereka terbuka untuk menerima anggota masyarakat yang lain ke dalam ruang privasi mereka.
Tagline dengan menggunakan simbolisasi benda yang akrab dengan segala umur ini telah terbukti efektif bagi Selandia Baru menghadapi pandemi Covid-19 ini. Hal ini juga membuktikan betapa pentingnya komunikasi politik yang cerdas, kebijakan yang terarah, dan keterlibatan masyarakat di dalam menghadapi masa-masa tidak menentu sekarang.
Tanpa mengecilkan keberhasilan program salah seorang pemimpin negara perempuan tersebut yang sudah terbukti di Selandia baru, privasi masing-masing individu keluarga luput diperhatikan dalam kebijakan ini. Kebijakan ini lebih menekankan privasi kolektif keluarga.
Ketika 24/7 semua anggota keluarga berkumpul di rumah privasi personal menjadi barang mahal. Oleh karenanya penting menggarisbawahi bagaimana era pandemi ini tidak mengorbankan salah satu hal mendasar dalam kehidupan ini. Privasi individu di sini perlu diterjemahkan sebagai independency (kemerdekaan), self-sufficiency (kemandirian) dan resiliency (ketahanan), dan rumah menjadi tempat untuk menyemai dan menumbuhsuburkannya.
Rumah secara sosiologis memiliki tiga aspek: house, household dan home (Newman,DM: 1999). House yaitu rumah dalam arti bangunan fisik yang berupa ruang-ruang di mana anggota keluarga bertempat tinggal. Household yaitu merujuk pada fungsi rumah sebagai unit produksi. Home adalah rumah sebagai pemenuhan kebutuhan psikologis berupa kenyamanan dan kedamaian masing-masing anggota keluarga.
Anak terhadap orang tua, suami dan istri perlu memiliki batasan yang jelas untuk bisa ber “me-time” selama WFH dan SFH ini. Masing-masing mereka memerlukan ruang fisik tersendiri, bagaimanapun keadaannya. Privasi dalam konteks ini bermakna independency (kemerdekaan). Kemerdekaan untuk sesekali menikmati kesendirian. Privasi ini penting untuk menjaga intimasi dalam keluarga menjadi lebih kuat. Jarak yang dekat dan tak berjeda seringkali menggerus rasa keintiman dan hal ini oerlu dihindari.
Dalam konteks rumah sebagai unit produksi (house-hold) privasi bermakna kemandirian. Mampu melakukan dan melayani diri sendiri tanpa mengganggu waktu dan kemerdekaan orang lain. Masing-masing anggota keluarga berkontribusi bagi unit produksi baik dalam arti finansial maupun non finansial.
WFH ini menghapus garis tegas antara publik yang dipandang bernilai produktif dan domestik yang dianggap tidak bernilai ekonomis. Dengan menumpuknya pekerjaan di rumah, kemandirian masing-masing anngota keluarga adalah penting agar beban tidak bertumpuk di salah satu pihak yang sayangnya, seringkali ada di bahu perempuan. Kemandirian keluarga seharusnya bermakna kemandirian masing-masing individu dalam keluarga tersebut
Untuk mewujudkan home sweet home atau baiti jannati, tiap individu dalam keluarga juga harus memiliki resiliency (ketahanan diri) secara psikologis. Privasi di sini bermakna bagaimana masing-masing individu mampu menguasai dan mengatur diri sendiri. Tanggungjawab menjadikan rumah sebagai sandaran jiwa dalam masa tidak menentu ini berada pada pundak masing-masing. Keluarga yang kuat bisa terwujud jika privasi dalam arti kemerdekaan, kemandirian, dan ketahanan tersebut bisa diupayakan secara bersama. Suami dan istri yang merupakan partner sejajar dalam keluarga perlu berbagi beban agar WFH tidak memiliki dampak yang berbeda bagi keduanya.
Jelaslah bahwa privasi individu yang dihargai secara proporsional akan menghasilkan keluarga yang kuat dan mampu bertahan menghadapi wabah ini. Penghargaan terhadap privasi individu ini diharapkan menjadi ‘new normal’ kehidupan keluarga pasca pandemi. Keluarga yang kuat akan memiliki surplus waktu dan sumberdaya untuk memilki solidaritas sosial. Empati yang dibangun dalam keluarga dengan menghargai privasi masing-masing tersebut adalah modal bagi masing-masing individu untuk memiliki kontribusi sosial terhadap mereka yang membutuhkan uluran tangan.
Ketika penghargaan terhadap privasi terbangun pada masing-masing keluarga maka kedekatan sosial (social intimacy) yang merupakan kearifan lokal masyarakat Indonesia tidak akan tergerus oleh wabah ini. Dengan demikian, masyarakat Indonesia bisa optimis menghadapai masa depan pasca Covid-19 dengan “new normal” yang semakin memperkuat kohesi sosial.