Sedang Membaca
Berislam yang Menguntungkan: Mempolitisasi Niat ala Imam Ghozali
Ahmad Reza
Penulis Kolom

Mahasiswa al-Azhar sedang menempuh S1 jurusan Tafsir.

Berislam yang Menguntungkan: Mempolitisasi Niat ala Imam Ghozali

Islam adalah agama paling enak untuk diajak berkelana menggunakan akal manusia. Datang terakhir sebagai penutup, namun hakikat substansinya sejak dulu kala. Hanya saja bungkus syariatnya berbeda-beda tergantung zamannya. Seperti zaman Nabi Musa as ketika ada baju seseorang terkena najis maka tidak bisa langsung dibasuh menggunakan air atau semacamnya sampai benar-benar hilang baunya, warnanya dan rasanya, tetapi justru harus dirobek bagian baju yang terkena najis itu. Berbeda dengan Islam bukan?.

Dari sini kiranya kita tahu bahwa agama mempunyai dua unsur pembentuknya. Pertama akidah, yaitu sebuah kepercayaan yang harus diyakini oleh semua pemeluknya, seperti adanya wujud Tuhan itu satu. Kedua syariat, yakni setiap ketentuan-ketentuan amal yang harus dikerjakan oleh pemeluknya. Seperti solat, puasa dan lainnya. Jika dilihat dari sini, maka agama-agama yang ada di dunia ini adalah sama dari sisi akidahnya, hanya saja nanti berbeda dalam syariatnya.

Dalam tulisan kali ini kita tidak akan membahas tentang akidah, tetapi akan membahas syariat. Di mana syariat Islam itu sangat luwes dan fleksibel. Coba lihat syariat Nabi Musa as, itu sangat ekstrim dan menyusahkan. Tetapi mungkin di zaman itu hal tersebut mungkin tidak menyusahkan bagi umatnya, yang jelas seandainya syariat Nabi Musa as dijalankan di zaman ini, niscaya tidak ada yang akan memeluk agama tersebut.

Salah satu bukti luwesnya syariat Islam, kita bisa saja mempolitisasi niat dalam sebuah amal. Bagi saya ini cukup unik dan mungkin hanya ada di Islam, atau biasa disebut khosois -kekhususan bagi umat Muhammad saw.

Jadi, amalnya satu tetapi kita bisa mendapatkan lebih dari satu pahala amal. Seharusnya jika amalnya satu, pahalanya juga satu. Ini seperti kita bermain boling, bola yang kita lempar satu, tapi tujuannya harus mengenai sepuluh pin segitiga yang didalamnya berjumlah sepuluh batang. Sedangkan orang yang bisa mengenai sepuluh batang itu hanya mereka yang sudah ahli profesional. Layaknya di syariat Islam ini, semakin dia berilmu, semakin dia tahu bagaimana mengembangkan sebuah amal yang dianjurkan dalam Islam atau gampangnya bagaimana berislam yang menguntungkan.

Baca juga:  Saran Abraham Maslow untuk Pemerintah dalam Penerapan PPKM Darurat

Teori Imam Ghozali

Al-A’mal bentuk plural dari ‘amal yang berarti pekerjaan. Amal bisa berupa, ucapan, pergerakan, diam, dzikir, menolak, menarik, berfikir dan lainnya. Tentunya kita tahu, yang membedakan antara amal biasa dengan amal yang berpahala adalah niat, dan itu salah satu fungsi niat. Jadi, sebuah amal apapun jika tidak diniati, maka tidak ada gunanya. Layaknya jasad tanpa ruh dalam diri manusia.

Ghozali dalam Ihya-nya memklasifikasi amal-amal yang berkaitan dengan niyat menjadi tiga; pertama, ketaatan, kedua, kemubahan, ketiga, kemaksiatan.

Pertama ketaatan, pekerjaan yang berupa ketaatan ini dalam Islam keabsahannya sangat bergantung kepada niat, selain itu, di dalam ketataan kita bisa melipat gandakan pahala dengan cara menggandakan niatnya.

Kedua kemubahan, mubah artinya boleh, dalam syariat Islam kemubahan adalah syariat yang ditinggalkan ataupun dilaksanakan tidak berpengaruh apa-apa kepada pemeluknya. Sehingga kemubahan ini bisa bernilai ketaatan jika memang diniatkan dengan kebaikan atau sebaliknya, bisa bernilai kemaksiatan jika diniatkan dengan keburukan.

Ketiga kemaksiatan, pekerjaan ini sangat dilarang dalam Islam. Seperti mencuri, berzina, berghibah dan lainnya, untuk kemaksiatan ini, kita tidak bisa merubah niyatnya. Artinya kemaksiatan akan selalu menjadi kemaksiatan walaupun kita niatkan untuk kebaikan. Katakanlah ada seorang Kyai yang menerima tamu undangan cawapres, lalu si Kyai disogok cawapres agar menyerukan kepada semua jamaahnya supaya nantinya memilih cawapres tadi. Dalam hati si Kyai, “insyaallah uang ini akan saya sedekahkan untuk membuat masjid dan bangunan pesantren”. Dalam kasus Kyai ini, pekerjaan membangun masjid atau madrasah pesantrennya tidak akan dianggap sebagai sebuah ketaatan, karena dari awal bangunan itu semua berasal dari kemaksiatan, yakni uang risywah atau uang sogokan.

Baca juga:  Sindrom Priayi

Berbeda dengan ketaatan, seperti disinggung di atas, bahwa ketaatan bisa berlipat ganda dengan mensiasati niatnya. Ghozali dalam hal ini mencontohkan dengan fenomena seseorang yang sedang duduk di masjid. Duduknya sendiri sudah dihitung amal ketaatan, agar pahalanya melimpah dia bisa mensiasatinya dengan menambah niat, tidak hanya niat i’tikaf saja. Seperti dengan niat duduknya untuk menunggu waktu solat tiba, ditambah dengan niat menghindari kemaksiatan yang ada di luar masjid, ditambah lagi dengan niat tafakur dan berdzikir di dalam masjid, ditambah dengan niat mengambil faedah ilmu amar ma’ruf nahi munkar, karena di dalam masjid tidak mungkin ada banyak kemungkaran dan banyak niat lainnya.

Biasanya orang seperti Kyai di atas akan berdalih menggunakan hadis masyhur yang berbunyi “sesungguhnya amal itu tergantung niatnya”. Sekilas hadis ini bagi orang-orang awam seperti para jamaahnya akan diiyakan begitu saja, karena terlanjur mengkultuskan sang Kyai. Tetapi tidak dengan Ghozali, dia dalam memahami hadis ini menggunakan metode takhsis atau mengkhususkan. Yakni kata ‘pekerjaan’ di situ hanya diperuntukkan untuk pekerjaan yang berupa ketaatan dan kemubahan saja, sedangkan kemaksiatan tidak termasuk di kalimat tersebut. Sehingga artinya pekerjaan ketaatan atau kemubahan itu akan berpahala jika dilakukan dengan niat baik, tetapi untuk kemaksiatan itu sama sekali tidak akan berubah, kecuali menjadi kemaksiatan itu sendiri.

Baca juga:  Mengenal Gagasan Fikih Nusantara

Tetapi yang penting diketahui juga, dalam sebuah ketaatan, dia bisa menjadi bomerang bagi pelakunya. Ini yang susah dihindari oleh kebanyakan orang. Semisal kita sedekah tetapi niat kita agar semua orang tahu bahwa kita ini sangat dermawan. Ini bahaya sekali, karena ketaatannya justru berubah menjadi kemaksiatan. Berbeda dengan kemaksiatan itu sendiri, dia tidak akan berubah menjadi ketaatan dengan niat baik apapun. Itu kata Imam Ghozali dalam bab Niat.

Kesimpulan

Dengan adanya tawaran teori Imam Ghozali ini kita jadi tahu, bahwa untuk mendapatkan pahala yang berlimpah dengan bermodalkan satu amal saja itu sangatlah mudah, tidak berbayar dan tidak susah-susah amat. Kita cukup pandai-pandai saja dalam mengendalikan diri kita, terutama pikiran kita agar tetap fokus kepada Dzat allah swt semata. Sehingga dalam mensiasati niat dalam sebuah amal akan mudah digapai.

Karena bagi orang-orang yang lalai kepada allah swt, untuk sanggup beribadah saja sudah cukup, apalagi bersedia memikirkan siasat ini, menurut saya, mereka tidak akan sempat, atau bahkan berfikir untuk melimpahkan pahala amalnya dengan cara siasat ini.

Lalu dari teori di atas juga kita menjadi tahu, bahwa kemaksiatan yang kita lakukan, kemudian berdalih untuk kemaslahatan itu adalah omong kosong belaka. Seperti apapun niat baik kita, jika dari awal berangkat dari keburukan, maka yang akan kita tuai juga keburukan, jadi sebisa mungkin menghindari perkara ini dan menjauhi cara-cara bodoh seperti ini.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top