Sedang Membaca
Mi: Keluarga dan Agama
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Mi: Keluarga dan Agama

Pada suatu masa, mi dadakan (instan) bercerita keluarga. Makanan masih moncer sampai sekarang itu memerlukan pengesahan agar bisa dinikmati keluarga-keluarga di seantero Indonesia. Terbukalah majalah Pertiwi edisi 8-21 Agustus 1988! Majalah selera wanita, memastikan memuat masalah-masalah keluarga. Di sampul sisi dalam: “Kami hanya pilih Sarimi.” Keputusan keluarga Indonesia: bapak-ibu-anak. Mereka berdalih: “Dari aromanya sudah tercium kelezatannya.” Keluarga dalam iklan memilih makan mi lezat, ingin mengajak keluarga-keluarga lain turut menjadi keluarga Sarimini.

Pada masa 1980-an, keluarga Indonesia tinggal di kota atau masuk kelas menengah tak mewajibkan nasi dalam sarapan. Mereka mulai memiliki pilihan berbeda, mencipta kebiasaan baru. Sarapan bisa roti atau mi. Penjelasan: “Kini, seluruh keluarga hanya pilih Sarimi untuk menu sarapan setiap hari. Karena aromanya sedap, dan rasanya lezat, pada dengan selera seluruh keluarga.” Catatlah bahwa keluarga itu sarapan mi setiap hari. Kita tak mungkin melarang meski pernah mendapat informasi membutuhkan bukti. Makan mi setiap hari bisa berdampak “ini” dan “itu” untuk kesehatan. Keluarga sarapan mi setiap hari mungkin menghindari repot dengan menanak nasi atau memasak beragam jenis di dapur.

Ragu atas kebiasaan keluarga sarapan mi instan setiap hari agak terjawab dengan membuka buku berjudul Mi Instan: Mitos, Fakta, dan Potensi (2016) susunan FG Winarno. Di situ, terbaca penjelasan: “Demikian halnya dengan mi instan, bila secara tunggal dikonsumsi terus-menerus, tubuh akan kekurangan zat gizi. Sebetulnya, mi instan paling tepat disajikan sebagai makanan pengganti nasi, jadi masih diperlukan bahan makanan lain bila digunakan sebagai menu sehari-hari. Mengonsumsi empat bungkus mi instan per minggu tidak akan membahayakan kesehatan konsumen.” Kita mulai memiliki pertimbangan mendingan jarang ketimbang rajin makan mi instan setiap hari.

Baca juga:  Sigmund Freud, Al-Qur'an, dan Perilaku Manusia Modern

Pembaca jangan bingung. Pada masa 1980-an, Soeharto berslogan pembangunan nasional ambisus membuktikan swasembada pangan. Dulu, pangan itu beras. Di pengertian berbeda, keluarga-keluarga Indonesia sarapan mi dadakan. Selama puluhan tahun, rezim Orde Baru mencipta selera makanan sama: nasi. Di seantero Indonesia, propaganda dan perintah makan nasi diselenggarakan serius. Orang-orang dengan latar sosial-kultural dan kondisi geografis beragam diminta makan nasi. Konon, makanan itu menentukan Indonesia terhormat dan pembangunan nasional bermutu. Seruan-seruan nasi mulai “ditandingi” mi dadakan. Produksi mi dan ajakan makan mi tentu mendapat restu rezim Orde Baru. Rancu!

Kita mungkin tak menduga ajakan makan mi melibatkan tokoh-tokoh penting di mata keluarga atau anak. Sosok berpengaruh selama puluhan tahun itu bernama Kak Seto. Pendidik dan penulis itu membesarkan isu-isu anak dalam memberi pengaruh atas kebijakan-kebijakan pemerintah dan misi-misi pelbagai institusi partikelir. Kini, Kak Seto masih rajin menulis artikel di media cetak. Ia juga melakukan gerakan-gerakan besar bertema anak. Dulu, ia pernah hadir dalam pengumuman makan mi. Di majalah Sarinah edisi 23 Juli-5 Agustus 1984, iklan sehalaman dengan pemuatan foto Kak Seto bersama anak-anak beragam busana. Pesan bertandang tangan dari Kak Seto: “Adik-adik, makanan yang bergizi memang baik untuk pertumbuhan dan kesehatan.”

Ia tak gamblang menulis mi dan merek. Pesan itu jelas. Tanda tangan mengesankan taraf resmi. Kalimat dipasang setelah orang membaca: “Sarimi memang paling lezat.” Godaan makan mi menggembirakan anak-anak: “Berhadiah langsung 1 buku tulis Kak Seto untuk setiap pembelian 5 bungkus Sarimi.” Mi bakal laris. Buku tulis dimiliki anak. Makan mi itu lezat. Buku tulis digunakan dalam keperluan belajar. Kita menduga ada imajinasi pendidikan dalam pengumaman makan mi.

Baca juga:  Amar Makruf Nahi Munkar, Dakwah dan Rambu-rambunya dalam Agama

Masa lalu Indonesia “dilezatkan” oleh mi dadakan. Keluarga Indonesia menjadi keluarga mi dengan sekian merek. Anak-anak adalah konsumen. Mereka diberi imajinasi makan mi itu lezat dan nikmat. Rajin makan mi dapat hadiah. Industri terus membesar di Indonesia, dari masa ke masa. Iklan mi bertambah memikat. Para tokoh kondang beriklan mi dadakan. Isu-isu mutakhir turut digarap dalam iklan. Indonesia berlimpahan mi. Indonesia terakui dan tenar di dunia gara-gara mi dadakan atau cepat saji.

Kita sengaja mengingat masa lalu Indonesia dan mi dadakan setelah membaca berita di Kompas, 28 Februari 2021: “Mi Instan Tetap di Hari Meskipun Pandemi.” Hal sulit terbantah: “Mi instan, sejak produksinya diluncurkan pada 1970 di Indonesia, menjadi makanan favorit masyarakat Indonesia di perkotaan hingga perdesaan.” Masa demi masa, produksi mi dengan beragam merek diminati publik. Mereka bisa fanatik merek dan rasa-rasa ditawarkan oleh pabrik. Wujud makanan adalah mi tapi puluhan rasa memberi pengalaman mungkin bakal ketagihan. Lakon mi dalam masa wabah atau pandemi mengejutkan: “Tercatat dalam Global Demand for Instant Noodles permintaan mi instan terus naik. Tahun 2015 konsumsi 97,49 juta bungkus dan 106,42 juta bungkus pada 2019.” Kabar resmi dari penjualan mi dan situasi pandemi: “Indofood mencatat laba bersih Rp 1,4 triliun pada kuartal II-2020.” Ingat mi, ingat Indofood. Mi itu lezat. Mi menghasilkan untung tiada tara.

Baca juga:  NU dan Konsep Kekuasaan

Pada masa krisis, bencana, dan wabah, mi adalah jawaban dari lapar dan kesanggupan mengelola anggaran dalam keluarga. Harga mi terjangkau. Situasi mendesak atau buruk masih memungkinkan orang makan mi cepat saji. Mi bisa disimpan dalam waktu lama. Cara memasak pun mudah. Ingatlah kita dengan bisnis mi bermerek baru setelah keruntuhan rezim Orde Baru. Publik disodori iklan memiliki seruan: “Yang ini dijamin halal, yang lain saya tidak tahu…” Kata-kata diucapkan Mbok Bariah, tokoh tenar dalam industri hiburan. Ia beriklan mi merek baru. Di Tempo, 18 Januari 1999, kita membaca: “Dengan ‘sentimen’ yang begini besar, di atas kertas, umat Islam merupakan pangsa pasar yang besar. Bayangkan, andaikata konsumen mie instan hanya mau makan mie merek Salam atau Karomah dan menolak makan produk Indomie.” Masa lalu agak lucu. Bisnis mi mengikutkan masalah agama. Dulu, usaha membesarkan merek Karomah disokong dengan menjadikan KH Zainuddin MZ sebagai bintang iklan. Bisnis mi berharap digemari umat Islam itu gagal alias merugi. Masa lalu tak indah.

Situasi masa lalu mungkin teringat sejenak. Kini, beragam iklan mi instan memberi kepastian bahwa orang-orang di Indonesia tak bisa berpisah dari jenis makanan enak disantap: kapan saja dan di mana saja. Wabah belum rampung, jutaan orang terus menuruti makan mi. Beragam rasa bisa dinikmati sambil berimajinasi kuliner Indonesia dan dunia. Pada hari-hari menjelang Ramadan, mi berlanjut dengan imajinasi religius. Tahun demi tahun, iklan-iklan mi berkaitan Ramadan sering menampilkan tokoh berbusana dan berperistiwa religius. Mi sah dihadirkan dalam sahur atau buka puasa.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top