Sedang Membaca
Iman Si Amin

Penulis Buku Penjara Perempuan (2020). Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo dan alumnus MASTERA ESAI 2019

Iman Si Amin

Whatsapp Image 2020 05 30 At 12.23.20 Pm

Amin heran, sudah berpuluh ramadan ia jalani, tapi tak kunjung membuatnya mengerti mengapa ia harus percaya kepada Tuhan, sementara Tuhan sendiri tidak pernah memaksanya untuk beriman.

Jangan sepelekan laku Si Amin ini. Ia sudah melakoni beberapa ibadah yang diyakininya bisa menjawab kegelisahannya tentang iman dan Tuhan. Ia pernah tidak salat selama sebulan. Tidak jumatan secara sengaja seperti kebanyakan orang yang nongkrong di kantin kampus kala itu.

Pernah pula mengalami lelaku seperti mandi tujuh rupa tujuh mata air. Namun Amin belum mengerti jua mengapa ia harus beriman. Amin ingin imannya tidak sekadar ikut ikutan. Ia percaya jalan tiap orang mencari Tuhan akan ketemu dan nyambung, walau entah kapan.

Amin pun galau, di tengah kegalauannya ia membaca buku yang sesuai dengan situasi hatinya pikirnya. Dibacalah buku Goenawan Mohamad. Buku berjudul Tuhan dan Hal-Hal Yang Tak Selesai. Ia sampai pada halaman 72.

Begini Goenawan Mohamad menulis : “Iman adalah ibu dari segala arsitektur. Dalam kerinduan akan rasa dan rupa, tempat peribadatan didirikan. Ruang besar atau kecil, bangunan angker atau berbunga-bunga, patung atau kaligrafi– semuanya kemeriahan indera untuk memuliakan Tuhan. Tubuh menghendaki pemuasannya, juga dalam hal yang bersangkutan dengan apa yang dilukiskan sebagai hasrat rohani.”

Baca juga:  Sabilus Salikin (118): Kehidupan dan Tantangan al-Syadzili di Tunisia (1)

Amin merasa sedikit tercerahkan. Ia memakai bahasanya sendiri. Menurutnya iman adalah gerak laku badaniah dari pancaran hasrat ruhaniah kepada Tuhan. Ia mahfum, mungkin selama ini raga dan badaniahnya ikut sujud, ikut lelaku, ikut puasa putih. Tetapi ia belum menemu apa itu Iman.

Amin makin sadar, badaniahnya tidak bisa dipaksa untuk melakukan shalat atau apapun itu tanpa gairah dan hasrat ruhaninya. Penolakannya kepada ketundukan badaniah dan ruhaniahnya hanya membuatnya tambah hampa.

Ia jadi ingat Goenawan Mohamad juga memberi kalimat yang mengajaknya berpikir, “Tubuh dalam agama memang sesuatu yang paradoks.” Ia tahu, kadang ia merasakan ketaatan tubuh tak melulu diartikan imannya tebal. Begitu pun saat tubuhnya menuruti entah nafsu atau gejolak badaniahnya.

Saat demikian, Amin tidak tahu ia berada dalam dimensi apa. Ia hanya merasakan apa yang dilakukannya tidak semestinya. Tapi tubuh seperti tidak dalam kuasanya.

Amin lelah, ia ingin rehat sejenak. Ia hendak belajar iman dari lukisan Gus Mus. Ia merasa menemukan Illah saat menatap, melihat dari kedalaman. Ia merasa teduh, saat menemukan makna yang tak terperi yang digoreskan dalam gambar. Amin merasa bahwa seperti itulah Tuhan. Ia bisa kita masuki dalam kedalaman, dan apa yang kita temukan, sesuatu yang tak perpermaknai, luas bagai samudera, tak sampai kita menjangkaunya.

Baca juga:  Sabilus Salikin (171): Sejarah Perkembangan Tarekat Idrisiyah

Tapi kita percaya, kekuasaan yang ada bukan di tulisan Gus Mus, bukan di apa yang ia lukis. Tetapi di kedalaman lukisan itu, dengan sendirinya kita menemukannya, menemukan Allah.

Amin tersungkur, sujud ia menangis di bawah lukisan itu. Ia menyadari betapa kecilnya dirinya. Betapa debu kehadirannya. Ia bayangkan planet, ia bayangkan bumi, ia bayangkan tata surya. Ia semakin tersungkur. Tak terlihat dia. Ia hanya debu, ia bukanlah jasad.

Dalam tata dunia yang agung itu ia adalah zarah, atom. Ia sadar pembangkangan yang selama ini ia praktekkan meneguhkannya meyakinkan dia. Betapa ia harus tunduk pada rajanya raja. Raganya harus taat pada apa yang diperintahkan oleh pemilik dan penguasa jagad ini.

Amin luluh, tak sadarkan diri. Ia masuk dalam perenungan sejati. Saat bangun, ia merasa lurus, fokus. Saat ia sadar, membuka mata kembali ia seperti hidup kembali. Ia serukan Maha Suci Tuhan yang membangunkanku dari kematian dan tidur panjang.

Ia merasa menemukan iman. Ia tidak ingin kembali lagi berkelana dalam jagad raya yang fana. Ia ingin tenggelam dalam lautan zuhud, lautan tawadu’, dalam zikir yang zahir. Dalam ketaatan yang lirih. Dalam rindu yang membiru. Ia ingin dekat, selalu dekat pada bumi, yang ia sujudi. Ia ingin dirinya menjadi semakin menyadari.

Baca juga:  Tren Habib dan Ulama

Tidak ada yang ia miliki, bahkan hidupnya sendiri. Amin telah menemukan iman yang ia damba. Dari perjalanan buku ke buku. Dari peragaan badan ke ruhani. Dari para ahli pemikir sampai kepada kiai.

Amin menemukan di hatinya, dalam deras air matanya. Ia sadar, al imanu yazidu wa yanqus, iman itu bisa bertambah dan berkurang, karena kita manusia. Namun, saat itu, ia tengah larut. Semoga iman ini menetap, setidaknya jangan terlalu jauh berlalu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top