Sedang Membaca
Memungut Pelajaran dari Iblis
Ali Makhrus
Penulis Kolom

Kelahiran Dusun Godongan Desa Purworejo Kecamatan Geger Kabupaten Madiun, Kampoeng Pesilat. Lulus Strata-1 dari Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah al-Urwatul Wutsqo (STIT-UW) Jombang. Alumnus Pondok Pesantren Riyadlul Mubtadi’in (PPRM) Desa Laju Kidul, Singgahan, Tuban. Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini sedang fokus mendalami Kajian Peace Building & Conflict Resolution dalam rangka ikut serta membangun harmoni keragaman identitas Perguruan Pencak Silat di Eks-Karesidenan Madiun.

Memungut Pelajaran dari Iblis

Persoalan-persoalan teologis masa lalu telah melahirkan berbagai perdebatan. Hingga kini, persoalan itu masih diselimuti kabut misteri. Semua intelektual dan teolog (ahli kalam) muslim masing-masing memiliki pendapat dan berhujah masing-masing. Tapi, marilah kita tengok lagi perdebatan masa lampau itu.

Perdebatan ini sepintas tidak relevan dengan masalah kekinian, tapi  kisah ini akan bermakna dalam konteks refleksi teologis bagi kepercayaan dan keimanaan masing-masing, atau pertanyaan dan keragu-raguan tentang berbagai realitas ganjil menurut pandangan pribadi masing-masing.

Narasi itu dimulai dari tema al-jabr (tidak bebas/take for granted) dan al-ikhtiyar (bebas/take for option). Keduanya merupakan diksi-diksi teologis yang telah melahirkan aneka manhaj dan pemahaman yang beragam.

Kalangan filsuf, seperti Ibnu Sina berkata, “Min anna al-qodr sirru Allah (dari, sesunggunya al-Qodr ialah rahasia Allah).”

Ibnu Rusy berkomentar, “Adillat al-aql wa al-naql hiyaal musykilat, al-qodho wa al-qadr mutanaqidlot (bukti-bukti akal dan bukti naqli adalah sesuatu yang sulit, al-qodho dan al-qadr ialah saling berlawanan.

Sementara Ibnu Taimiyah berkata, “Inna mas’alata kholqi af’aal al-ibad musykilatun (sungguh persoalan tentang penciptaan pekerjaan para hamba merupakan sesuatu yang sulit).”

Kisah ini dimulai saat Tuhan memberikan perintah kepada Iblis dan Malaikat untuk sujud kepada Adam. Sebagai yunior, Malaikat masih penasaran dengan sikap yang ditunjukkan Iblis terhadap perintah Tuhan. Karena penasaran dan sedikit rada sungkan bercampur rasa ingin tahu, Malaikat memberanikan diri untuk bertanya kepada Iblis.

Ada sekitar tujuh masalah yang mengganjal dan mengganjil di Iblis.

Baca juga:  Corona: Dua Kutub Ekstrem Beragama

Iblis: “Sejujurnya aku mengakui bahwa Tuhan Maha Pencipta ialah Tuhan sesungguhnya, dan sungguh dia juga Maha Pencipta, Maha Alim dan Maha Penguasa. Tidak perlu dipertanyakan lagi perihal kuasa dan kehendak-Nya, dan Dia-pun ketika menghendaki sesuatu berkata kun fayakun, dan Dia Maha Bijak. Hanya saja, jika ditinjau dalam perspektif kebajikan dan kebijaksanaan, terdapat beberapa keganjilan dan masalah.”

Malaikat: “ Apa saja itu, dan berapa banyak?”
Iblis: “Ada Tujuh! Pertama, Sesungguhnya Dia telah tahu sebelum menciptakan aku, apa saja yang akan lahir dariku dan apa yang akan aku peroleh. Lantas, mengapa Dia menciptakan aku pertama kali? Apa hikmat dari penciptaan-Nya terhadapku?”

Kedua, Ketika Dia telah menciptakanku sesuai dengan kemauan dan kehendak-Nya, mengapa Dia membebaniku dengan mengenali-Nya serta mentaati-Nya? Apa hikmah taklif tersebut, sementara Dia tidak mendapat manfaat (keuntungan) dari sebuah ketaatan dan tidak mendapat kemlaratan (kerugian) dari sebuah kemaksiatan?.

Ketiga, ketika Dia menciptakanku dan membebaniku, selanjutnya aku memenuhi bebanku (taklif) dengan mengenal dan mentaati-Nya, dan aku pun makrifat dan taat kepada-Nya. Lantas, mengapa Dia membebaniku dengan taat kepada Adam, serta sujud kepadanya? Apa hikmah taklif dalam konteks ketiga ini secara khusus, sementara, hal tersebut tidak akan memberikan peningkatan pada pengetahuan dan ketaatanku terhadap-Nya?

Keempat, saat Dia telah menciptakan dan menugasiku secara umum (mutlak)? Dan menugasiku dengan tugas khusus ini, maka saat aku tidak melakukan sujud, lantas kenapa Dia melaknat dan mengeluarkanku dari surga? Apa hikmah dari kasus tersebut, padahal aku tidak melakukan dosa sama sekali kecuali ucapanku, ‘laa Asjudu Illa laka’ (aku tidak akan bersujud kecuali hanya kepada Engkau)?

Baca juga:  Hakikat Partai dan Pemimpin Menurut KH. Mahfudz Siddiq

Kelima, saat Dia telah menciptakan dan menugasik baik secara spesifik sekaligus umum, kemudian aku tidak taat, maka Dia pun melaknat serta membuangku, maka ketika Dia mempertemukan ku ke Adam, hingga aku bisa masuk surga kedua kalinya, dan aku pun melakukan bujuk-rayu kepada Adam dengan strategiku, dan Adam-pun memakan sesuatu dari sebuah pohon larangan, dan Dia mengeluarkannya dari surga sekalian aku? Apa hikmah kasus tersebut? Sementara itu jika saya dicegah masuk oleh-Nya, maka Adam pun bisa istirahat dariku, dan ia kekal di dalamnya.

Keenam, saat Dia menciptakan dan menugasiku secara spesifik maupun holistik, serta Dia melaknatku, kemudian menaikkanku ke surga, sementara percekcokan itu antara aku dan Adam, lantas mengapa Dia menguasakanku terhadap anak-anak Adam, aku bisa melihat mereka sementara mereka tidak bisa melihatku, dan bujuk-rayuku sanggup mempengaruhi ihwal mereka. Sementara daya, kekuatan, kuasa dan kemampuan mereka tidak berpengaruh apapun? Apa hikmah dari itu?

Ketujuh, Ok. Aku pasrah dengan ini semua: Dia menciptakanku, menugasiku baik secara mutlak dan muqoyyad. Dan ketika aku tidak taat, Dia mencampakkanku dan membuangku. Dan ketika aku ingin masuk surga, Dia menempatkan dan menaikkanku, dan ketika aku berbuat dengan perbuatanku, lantas Dia mengeluarkanku, kemudian menguasakanku atas anak-anak Adam. Ketika aku meminta penangguhanku, Dia pun menangguhkanku. Aku berkata: (“Tangguhkanlah aku sampai pada hari mereka dibangkitkan”, Dia menjawab: “Maka sesungguhnya engkau termasuk golongan yang ditangguhkan sampai pada hari yang ditentukan). Dam apa hikmah dari itu semua? Sementara. Andaikan Dia menghancurkanku seketika, maka Adan dan para makhluk dapat beristirahat dari ulahku. Dan tentu tidak ada keburukan di alam raya. Bukankah keberadaan alam di atas aturan yang baik itu juga baik daripada mencampurnya dengan keburukan?”

Baca juga:  Antara Sains dan Soto

Kemudian Iblis mengakhiri jawabannya dengan berkata: “Ini adalah dalil-dalilku atas berbagai persoalan yang menurutku bermasalah.”

As-Syahrostani, murid dari al-Ghozali ini, pengarang al-Milal wan Nihal memaparkan tentang tujuh pertanyaan (gugatan) Iblis tersebut sehubungan dengan keputusan Tuhan di awal-awal kitab. Klaim Syahrostani, tujuh pertanyaan tersebut merupakan asal-muasal dari kecelakaan Iblis dan mungkin manusia dalam konteks beriman, serta memicu perpecah golongan umat Nabi menjadi 73 (72).

Kesimpulan Syahrostani, bahwa karena umat muslim menduplikasi pertanyaan Iblis sekaligus memodifikasi dengan kasus dan tema baru.

Riwayat tersebut, menurut Ibnu Taimiyah, merupakan cangkokan dari Yahudi. Meski demikian, dialog Iblis dengan Malaikat ini patut kita renungkan kembali meski masih diragukan tentang kebenaran kisah tersebut.

Selain itu, dialog Iblis dan Malaikat di atas juga masih menyimpan banyak makna-makna lain yang masih misteri. Hikmah dari percakapan tersebut mengingatkan penulis sendiri saat masih di pesantren. Tak jarang saat mengaji sebuah kitab, para kiai tidak lupa mengakhiri majlis seraya berkata “Wallahu A’lamu Bi Al-Showab” atau “Wa Allah A’lamu Bimuradihi”. Termasuk dalam tulisan ini, Wa Allahu Muhith Bikulli Syaii’.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
3
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top