Sebagaimana kita tahu, di samping sebagai nabi, rasul, pemimpin negara, pemimpin umat, qadhi, Nabi Muhammad juga berposisi sebagai mufti yang memberi jawaban hukum fikih-keagamaan terhadap kasus-kasus yang bermunculan pada masa itu. Pasca wafatnya nabi, otoritas keagamaan tersebut kemudian dilanjutkan oleh para sahabat.
Para sahabat yang hampir tiap hari bergumul bersama nabi, melihat nabi memberi argumen fiqhiyah, memahami bagaimana ketika wahyu turun, memiliki citarasa bahasa arab yang tinggi (dzauq arabiyah) dan memiliki malakah, tak merasa kesulitan dalam memberi jawaban atas persoalan agama yang bermunculan.
Di era inilah kemudian tercatat banyak sahabat yang fatwa-fatwa fikihnya ditunggu banyak umat. Sahabat yang dikenal ahli fikih adalah Seperti Aisyah, Umar ibn Khattab, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Abbas dan sedertan nama lainnya.
Hingga kemudian lahirlah istilah “mazhab sahabat’, yaitu sekumpulan pandangan ijtihad, fatwa-fatwa fikih yang muncul dari sahabat. Pertanyaannya: bagaimana eksistensi dan impilkasi mazhab sahabat ini kepada umat Islam?
Sebelum menjawab perlu ditegaskan bahwa perkara yang bukan ranah ijtihad dan pandangan subjektif sahabat perlu diperhatikan dalam pembentukan syariat. Karena jika demikian, masuk ranah periwayatan dari nabi (tauqif). Dalam artian sahabat hanya meriwayatkan dari Nabi. Begitupula kasus fikih yang disepakati bersama jawabannya oleh sahabat.
Poin yang kemudian menjadi perdebatan adalah bagaimana fatwa sahabat yang bersumber dari ijtihad personal mereka? Dalam menjawab hal ini, ulama sekurang-kurangnya berbeda pendapat menjadi dua kelompok.
Pertama, mereka yang beranggapan bahwa mazhab sahabat bukan hujjah dalam merumuskan fikih. Alasannya; fatwa fikih yang muncul dari sahabat adalah pandangan subjektif mereka, yang memang tidak jaminan terbebas dari sebuah kesalahan. Oleh karena itu, seorang mujtahid memiliki potensi dan salah.
Alasan kedua, ada beberapa tabi’in yang justru memiliki pandangan berbeda dengan ijtihad sahabat. Sekiranya memang hujjah, maka aktivitas ijtihad bagi tabi’in tak akan terbuka.
Misalnya Masruq, seorang tabi’in, yang berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas, sahabat, dalam kasus bagaimana jika seseorang bernazar akan menyembelih anaknya? Menurut Masruq orang tersebut wajib menyembelih satu ekor kambing sebagai gantinya sementara menurut Ibnu Abbas, orang tersebut wajib menyembelih 100 ekor kambing. Mendengar jawaban Ibnu Abbas tersebut, Masruq memberi komentar bahwa “anak yang dinazarkan itu tak lebih baik dari Nabi Ismail” yang gantinya hanya dengan satu ekor kambing. Kemudian Ibnu Abbas mencabut pendapatnya itu dan lebih memilih pendapat Masruq.
Dalam kasus lain, tepatnya ketika Anas ibn Malik yang merupakan seorang sahabat ditanya persoalan agama oleh masyarakat ia justru merekomendasikan agar orang-orang tersebut bertanya pada al-Hasan al-Basri, seorang pemimpin Tabi’in (sayyid al-Tabi’in) yang amat terkenal itu.
Dua alasan ini kiranya menjadi cukup sebagai argumen bahwa mazhab sahabat itu bukanlah hujjah dalam perumusan hukum Islam. Itulah kira-kira kesimpulan kelompok pertama yang diisi oleh ulama Syafi’iyah, Jumhur Asyairah, Muktazilah dan Syiah.
Kedua, menyebut bahwa mazhab sahabat itu adalah hujjah dalam perumusan hukum fikih. Alasannya; para sahabat meskipun potensial melakukan kesalahan sebagaimana lumrahnya banyak mujtihad akan tetapi mereka memiliki potensi kebenaran yang lebih tinggi. Sebab, mereka memiliki pengetahuan luas terhadap ilmu tata bahasa arab, mengerti konteks Al-Qur’an diturunkan dan hadis nabi disabdakan. Karena mereka juga bagian dari “masyarakat wahyu”.
Ditambah mereka hampir tiap hari membersamai Nabi sehingga tahu betul seluk beluk kehidupan Nabi dan tujuan Nabi menjadi utusan. Poin terpenting juga, para sahabat memiliki integritas yang baik. Berdasarkan alasan itu, kelompok kedua ini berargumen bahwa mazhab sahabat adalah rujukan dalam perumusan fikih.
Titik mediasi antara dua pendapat yang berseberangan ini adalah pada dasarnya mazhab sahabat bisa dijadikan hujjah-argumen dalam perumusan fikih. Akan tetapi bukan sebagai sumber primer seperti posisi Al-Qur’an dan Al-Sunnah namun sebagai sumber sekunder. Dalam artian, ketika ada kasus fikih yang sudah dirumuskan oleh fatwa sahabat maka perlu dikonfirmasi kepada dua sumber utama itu, yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah.
Sebagai tambahan, penulis akan menceritakan fikih di era sahabat ini. Fikih di masa itu memiliki ciri khas tersendiri. Di antaranya adalah, pertama fikih pada masa sahabat adalah fikih realitas (waqi’iyah). Belum muncul fikih antisipatif (iftiradhi) yang lumrahnya ditemukan di kitab-kitab kuning. Kenapa? Karena fikih yang ada adalah jawaban dari pertanyaan yang bermunculan.
Kedua, fikih pada masa ini belum rumit dengan adanya definisi-definisi fiqhiyah. Ketiga, perbedaan fikih belum sekompleks hari ini, disebabkan dekatnya mereka dengan masa nabi. Keempat, para sahabat tidak meninggalkan satu buku khusus yang berisi problem-problem fikih, fikih pada waktu itu tersimpan dalam memori kolektif masyarakat.
Kelima, pelibatan konsep maslahat dalam beberapa kasus hukum sehingga putusannya bisa berbeda dengan apa yang diputuskan oleh nabi. Misalnya dalam kasus keegganan Umar Ibn Khattab memberi bagian zakat untuk para muallaf. Keenam, porsi penggunakan mashlahat menjadi titik beda antara satu sahabat dengan sahabat yang lain. Ada yang memberikan porsi yang amat luas ada yang memberikan porsi yang terbatas, sesuai dengan kecenderungan masing-masing. Terakhir, di masa ini pula, benih-benih ijtihad mulai muncul, terutama menyangkut kasus fikih yang belum ditemukan pada masa nabi.
Kenapa para sahabat seringkali berbeda pendapat?
Jika sahabat dididik secara bersama, hidup bersama dan menyaksikan wahyu turun secara bersama-sama, kenapa mereka berbeda pendapat? Ada ragam pandangan dalam kitab usul fikih ihwal kenapa sahabat berbeda dalam merumuskan hukum pasca kepergian nabi.
Pertama, mereka berbeda dalam memahami teks Al-Qur’an (nusus Al-Qur’an). Sebab kebanyakan hukum Al-Qur’an sifatnya dzanni al-Dalalah (debetbale), yang sekurang-kurangnya memiliki minimal dua kemungkinan makna. Hingga satu sahabat dengan sahabat yang lain berbeda dalam “menebak” maksud Al-Qur’an.
Kedua, pengetahuan mereka tentang al-Suunah berbeda. Karena posisi sahabat tidaklah setara. Ada yang menghafal banyak hadis ada juga yang sedikit dalam menghafal hadis. Dan yang terakhir adalah mereka berpolemik dalam pelibatan nalar maslahat di dalam perumusan hukum. Ketiga unsur inilah kemudian yang menjadi titik tolak kenapa lumrahnya para sahabat itu berbeda.
Mazhab sahabat memang bukanlah sumber primer dalam perumusan hukum Islam akan tetapi hanya berposisi sebagai sumber sekunder. Sebab memang tidak ada keterangan dari Al-Qur’an maupun al-Suunah soal kewajiban mengikuti rumusan fikih mereka. Walau demikian, mazhab sahabat yang pernah ada pada era dulu adalah salah satu tranmisi (sanad) dan mata rantai fikih dari zaman nabi hingga kehidupan kita hari ini.