Seri keenam atau terakhir dari tulisan menyambut Munas Alim Ulama di Lombok, Alif.id memuat tulisan Ahmad Ginanjar Sya’ban, akademisi muda yang intens menggeluti naskah-naskah klasik karya ulama Nusantara.
Pemuatan tulisan ini dimaksudkan untuk menyegarkan ingatan kita tentang jaringan ulama Nusantara. Meskipun tidak terkait langsung dengan Munas, tapi tetap penting untuk mendekatkan lagi jaringan keislaman. Jaringan keislaman kita, sebelum abad 20, adalah jaringan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, bukan organisasi formal, yang kita sebut ormas ini. Semangat kebudayaan ini yang penting kita kedepankan lagi, di tengah pluralitas keislaman kita yang makin kompleks. Selamat membaca. Semoga bermanfaat.
Kitab ini merupakan terjemah berbahasa Melayu beraksara Arab (Jawi) dari kitab berbahasa Arab karangan seorang sufi besar dari Mesir, Syaikh ‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani (w. 973 H/ 1565 M), yang mengkaji tentang masalah etika dan metafisika. Al-Yawaqit mengupas tentang dosa-dosa besar dan siksaan yang akan diterima bagi para pelakunya, tentang hari kiamat dan gambaran tentang surga.
Terjemah Melayu al-Yawaqit wa al-Jawahir karya Syaikh Muhammad Ali Sumbawa ini selesai ditulis pada tahun 1243 H (1827 M), dan dicetak hampir satu abad kemudian oleh Mathba’ah Fath al-Karam al-Islâmiyyah, Makkah, tepatnya pada tahun 1310 H. Naskah cetakan pertama ini diedit oleh Syaikh Ahmad al-Fathani.
Saya sendiri mendapatkan naskah versi Maktabah Musthafa al-Babi al-Halabi, Kairo, edisi cetakan kedua pada tahun 1354 H (1936 M). Naskah ini telah ditashih (dikoreksi) oleh dua ulama Al-Azhar, yaitu Muhammad Idris al-Marbawi (sebagai editor Melayu) dan Ahmad Sa’d ‘Ali (sebagai editor Arab).
Dalam kata pengantarnya, Syaikh Muhammad ‘Ali Sumbawa mengatakan jika beberapa handai taulannya meminta dirinya untuk menerjemahkan sebuah kitab karangan Syaikh ‘Abd al-Wahab al-Sya’rânî dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu (Jawi). Beliau menulis;
طلب من الفقير الحقير المعترف بالذتب والتقصير محمد علي بن عبد الرشيد بن عبد الله القاضي السمباوي بمكة المشرفة بعض الفضلاء الكرام من أصحابنا أن أترجم كتاب العلامة الشيخ عبد الوهاب الشعراني المسمى باليواقيت والجواهر في عقوبة أهل الكبائر، وأهوال يوم القيامة، وفي صفة الجنة وأهلها، من العربية الى لغة الجاوي
(telah meminta dari al-faqir yang hina dan yang mengakui akan dosa-dosa dan kekurangannya, Muhammad Ali anak Abdul Rasyid anak Abdullah, seorang Qadhi [negeri] Sumbawa [yang bermukim] di Kota Makkah yang mulia, yaitu sebahagian handai taulan saya yang utama lagi mulia, untuk menerjemahkan kitab karangan Syaikh Abdul Wahhab al-Sya’rani yang bernama “al-Yawaqit wa al-Jawahir” dalam menerangkan ganjaran bagi para pelaku dosa besar, juga tentang gambaran hari kiamat, dan tentang gambaran surge dan para penghuninya, menerjemahkan kitab tersebut dari bahasa Arab kepada bahasa Jawi [Melayu]).
Dalam kolofon, Syaikh Muhammad Ali Sumbawa menyebutkan jika karya ini selesai dikerjakan di kota Makkah, pada hari Senin, selepas sembahyang ashar, 18 Dzul Qa’dah tahun 1243 Hijri. Sebagaimana yang beliau tulis;
برسورة فد هاري اثنين بعد العصر فد دولافن بلس هاري بولن ذو القعدة تاهن سريبو دوا راتس امفت فوله تيك تاهن درفد هجرة نبي كيت محمد صلى الله عليه وسلم ددالم نكري مكة المشرفة
Hingga saat ini, saya belum mendapatkan data dan informasi lebih tentang sosok Syaikh Muhammad Ali Sumbawa, yang sebagaimana termaktub dalam karya terjemahannya ini disebut sebagai “Qadhi” dari negeri Sumbawa.
Namun, melihat titimangsa penulisan karya ini, bisa diasumsikan jika Syaikh Muhammad Ali Sumbawa hidup sezaman dengan para cendikiawan asal Sumbawa dan negeri Nusantara lainnya yang bermukim dan berkarir di kota Makkah pada paruh pertama abad ke-19 M. Di antara para cendikiawan Sumbawa tersebut adalah Syaikh Idris ibn ‘Utsman al-Sumbawi, Syaikh Ibrahim ibn al-Wudd al-Khulushi al-Sumbawi al-Jawi, Syaikh ‘Abd al-Ghani al-Bimawi, dan Syaikh Zain al-Dîn al-Sumbawi.
Adapun tokoh-tokoh ulama Nusantara lainnya yang lebih senior dan hidup semasa dengan Syaikh Muhammad Ali Sumbawa adalah Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari (dari Banjar) dan Syaikh Dawud al-Fathani (Pattani).
Sanad keilmuan para ulama Nusantara di atas menyambung kepada beberapa ulama-musnid pada zaman tersebut, yaitu Syaikh ‘Abd al-Shamad al-Falambani, Syaikh Muhammad Samman al-Madani, Syaikh Shiddiq ibn ‘Umar Khan al-Syaththari, dan Syaikh Mushlih ibn Ibrahim al-Rais al-Makki.
Munculnya beberapa tokoh cendikiawan asal Sumbawa yang berkarir di Makkah pada pertengahan abad ke-19 M merupakan fakta sejarah yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Hal ini sekaligus dapat membantu kita untuk melengkapi data dan informasi terkait penelitian tentang Kesultanan-Kesultanan Islam di Sumbawa yang sejarahnya terputus dan “poek obor” (padam lampu) pasca letusan dahsyat Gunung Tambora pada tahun 1815. Letusan maha besar itu telah menghancurkan dan memusnahkan Kesultanan-Kesultanan Islam Sumbawa yang banyak berdiri di sekitaran lereng Tambora, menguburnya dalam sapuan abu vulkanik, melindap cerita kebesarannya hingga akirnya terlupakan zaman.
Selain itu, keberadaan kitab ini sekaligus akan menghantarkan kita pada beberapa temuan, di antaranya;
- Kesultanan-Kesultanan di Sumbawa pada masa tersebut telah menjadi kekuatan Islam yang besar dan berpengaruh di gugusan kepulauan Nusa Tenggara,
- Aktivitas keilmuan Islam di wilayah Sumbawa telah berkembang dengan cukup matang. Hal ini ditandai dengan cukup banyaknya ulama-ulama Sumbawa yang berkarir sebagai pengajar dan pengarang kitab di Makkah,
- Ulama Sumbawa berkarir di Makkah meneruskan para ulama dari Aceh, Minang, Palembang, dan Banjar, yang telah lebih dahulu berkarir di sana,
- Para ulama dari Sumbawa dan negeri-negeri tersebut lebih dahulu mengembangkan karirnya di Makkah sebelum ulama-ulama dari pulau Jawa.