Pesantren kawah candradimuka, tempat santri mengaji dan membina akhlakul karimah. Di tempat ini pula, para santri diajarkan prinsip, asas berpikir, hingga ditempa dengan tradisi serta gaya hidup yang sangat khas dengan kehidupan santri di pesantren.
Di antara prinsip berpikir itu adalah trilogi santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton-Probolinggo. Trilogi merupakan tiga asas berpikir dan prinsip hidup yang diwariskan Kiai Zaini Mun’im selaku pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid kepada para santrinya.
Trilogi atau tiga asas prinsip dasar hidup dan berpikir santri itu adalah: pertama, berkomitmen untuk menjalankan fardhu ‘ain (اَلْاِهْتِمَامُ بِالْفُرُوْضِ الْعَيْنِيَّةِ). Suatu keteguhan sikap untuk menjalankan kewajiban-kewajiban ‘ainiyah secara konsisten dan bertanggung jawab, yang ditandai dengan adanya pengetahuan, pemahaman, penerimaan dan ketaatan melaksanakan kewajiban-kewajiban agama yang bersifat individual.
Kedua, berkomitmen untuk meninggalkan dosa-dosa besar (اَلْاِهْتِمَامُ بِتَرْكِ الْكَبَائْرِ). Suatu keteguhan sikap untuk menjauhi dan meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa besar secara konsisten, yang ditandai dengan adanya pengetahuan dan pemahaman tentang dosa besar, penerimaan dan kesadaran tentang mudlarat (bahaya) melakukan dosa besar, serta tidak melakukan dosa besar itu sendiri. Termasuk dalam kosep ini adalah sikap dan perilaku menghindari melakukan dosa-dosa kecil, mengingat perbuatan dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus dapat menjerumuskan kepada dosa besar.
Ketiga, berbudi luhur kepada Allah dan sesama makhluk (حُسْنُ الْأَدَبِ مَعَ اللهِ وَ مَعَ الْخَلْقِ). Suatu sifat luhur dalam jiwa seseorang terhadap Allah SWT. dan sesama makhluk yang tercerminkan dalam persepsi dan pemikiran terhadap sifat dan ketentuan Allah dan sesama makhluk, serta dalam wujud perbuatan terhadap Allah dan sesama makhluk.
Pada kesempatan kali ini, fokus pembahasan kali ini kepada sila ke-3 trilogi santri yang berkaitan dengan konservasi lingkungan hidup. Mengapa harus sila ke-3 ? karena sebagaimana keterangan yang saya dapatkan dari Gus Fakhri NCZ, mantan Ketua Biro Konservasi Lingkungan Hidup-Nurul Jadid (BKLH-NJ), bahwasanya landasan atau asas berpikir dan gerak santri Nurul Jadid di bidang konservasi lingkungan adalah sila ke-3 dari trilogi santri, yakni berbudi luhur kepada Allah dan sesama makhluk (حُسْنُ الْأَّذَبِ مَعَ اللهِ وَمَعَ الْخَلْقِ). Makna makhluk inilah, dalam tafsiran Gus Fakhri, menjaga alam dan lingkungan itu masuk di dalam berbudi luhur kepada makhluk.
Bila kita merujuk pada keterangan yang dimiliki oleh BKLH-NJ terkait hubungan sila ke-3 trilogi santri dan konservasi lingkungan hidup, setidaknya ada dua nash al-Qur’an yang sangat berkaitan dengan menjaga lingkungan. Dua nash ini bukan tafsiran pribadi lagi, tapi para ulama tafsir juga melegitimasi akan hal ini. Tentunya, argumen berikut bisa menjadi dasar dan pedoman yang mendukung bahwa menjaga lingkungan serta alam adalah termasuk dari berbudi luhur kepada Allah dan sesama makhluk. Berbudi luhur bisa dimaknai, paling minimal menjaga hubungan dengan Allah ataupun makhluk lainnya dengan sifat-sifat terpuji dan menjauhi perbuatan tercela. Dalil-dalil tersebut adalah sebagai mana berikut :
Pertama adalah QS. Ar-Rum (30) ayat 41 :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبِرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتَ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّكهُمْ يَرْجَعِوُنْ
Artinya : telah nampak (nyata) kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada sebagian mereka dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang lurus.
Kata fasad bermakna sesuatu yang keluar dari keseimbangan (خُرُوْجُ الشَّيْئِ عَنِ الْإِعْتِدَالِ). Hal ini tentunya menyangkut rohani atau jiwa, fisik/badan dan apa saja yang menyimpang dari keseimbangan yang semestinya.
Dalam al-Qur’an, bila kata fasad berbentuk mashdar dan berdiri sendiri, maka menunjukkan kerusakan secara fisik, seperti polusi udara, banjir bandang, longsor dan bencana fisik lainnya. Jika berbentuk kata kerja, atau berbentuk mashdar dan didahului oleh fi’il, maka yang terbanyak adalah menunjukkan arti kerusakan non-fisik, seperti munafik, kafir, syirik dan kerusakan lainnya.
Sedangkan para mufassir berbeda-beda ketika menjelaskan kerusakan yang ada di langit dan juga di bumi dengan tafsiran yang berbeda. Antara lain adalah musim paceklik, banjir besar, kekurangan air, kematian sia-sia, kezaliman, kebakaran, perilaku—perilaku sesat, gagal panen serta krisis ekonomi.
Kedua adalah QS. Al-A’raf (07) ayat 56 :
وَ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْأَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللهِ قَرِيْبٌ مِنَ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya : Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptaka dengan baik). Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.
Menurut Ibnu Katsir, ayat diatas mengandung pengertian bahwa Allah SWT. melarang manusia berbuat kerusakan di atas bumi dan berbuat apa yang dapat merugikannya setelah adanya perbaikan. Karena sesungguhnya jika segala sesuatu berjalan di atas kebaikan, kemudian terjadi sebuah kerusakan maka akan menjadikan sebuah kerugian bagi manusia. Oleh karena itu, Allah melarang perbuatan tersebut dan memerintahkan hamba-Nya untuk menyembah, berdo’a, tawadhu’ (rendah hati) serta merendahkan diri kepada-Nya.
Bila kita amati, larangan berbuat kerusakan pada ayat di atas bersifat global dan universal meliputi segala bentuk kerusakan, baik sedikit atau banyak. Seperti disebutkan mufassir kenamaan, al-Alusy dan ar-Razy.
Kerusakan disini yang dimaksud kerusakan yang menyalahi maqoshid al-syari’ah (tujuan-tujuan syariat) sebagaimana jamak kita ketahui. Seperti menjaga agama (hifzhu al-din), jiwa (hifzul nafs), akal (hifzu al-‘aql), keturunan (hifzu al-nasl) dan harta (hifzu al-maal).
Bahkan, Imam al-Qurthuby memasukkan tindakan merusak lingkungan, seperti menebang pohon secara liar, eksploitasi alam, merusak bangunan, mencemari air itu termasuk dalam bentuk pengerusakan di bumi yang disebutkan ke dalam ayat ini.
Lebih lanjut menurut Al-Alusy, Allah melarang perbuatan pengerusakan lingkungan setelah Allah memperbaiki semuanya, menciptakan untuk kemaslahatan bersama dengan cara mengutus seorang rasul di muka bumi ini dengan membawa syariat serta hukum-hukum Allah.
Sedangkan menurut ar-Razy, ayat ini mengindikasikan larangan membuat mudharat (bahaya). Dan pada dasarnya, perbuatan yang menimbulkan mudharat adalah haram dan dilarang oleh agama selama belum ada dalil yang menunjukkam kebolehan atau mentakhsis keumumannya. Sedangkan perbuatan merusak lingkungan oleh Allah sebagai sifat orang munafik. Mereka mengaku sebagai pelaku kebaikan sedangkan apabila mereka berjalan di muka bumi justru berbuat kerusakan, menghancurkan tanaman-tanaman serta memusnahkan hewan-hewan.
Kesimpulannya, makna sila ke-3 trilogi santri yang berbunyi ‘berakhlak baik kepada Allah dan kepada makhluk’ adalah berperilaku baik kepada Allah juga makhluknya. Termasuk dari makhluk Allah adalah lingkungan dan alam semesta.
Asas berpikir seperti ini bisa dijadikan sampel terkait kesadaran pesantren dan santri untuk berbuat tidak merusak lingkungan serta mengusahakan adanya pengetahuan tentang lingkungan lebih mendalam. Sehingga apa yang kita perbuat, untuk kemaslahatan orang banyak terkait lingkungan itu benar-benar kita pahami betul dalam akal dan sanubari kita.