Sedang Membaca
Hi Saudara, Sekolah dan Pintar Tak Cukup
Fikri Mahzumi
Penulis Kolom

Pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Hi Saudara, Sekolah dan Pintar Tak Cukup

Apa sih alasanmu bersekolah? Biar pintarlah! Pertanyaan dan jawaban ini sudah umum di masyarakat kita, bahwa tujuan belajar itu kepintaran. Kalau sudah sekolah berarti ia akan menjadi pintar. Eittt, tunggu dulu. Pintarnya yang bagaimana? Coba kita selami.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, lema pintar diartikan kepandaian dan kecakapan, bisa juga kecerdikan dan kemahiran. Lema pandai diartikan cepat menangkap pelajaran atau memahami sesuatu, bersinonim dengan pintar dan cerdas. Sedangkan cakap berarti punya kemampuan dan kepandaian. Cerdik punya arti juga cepat mengerti.

Semua pengertian tentang pintar selalu pada ranah kognisi. Artinya sebatas mengetahui. Lha, ini yang perlu dikritisi. Perundangan di Indonesia yang mengatur pendidikan, juga mengiyakan pemahaman ini, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan berbangsa. Redaksi ini seperti amanat dari UUD 1945 pada alenia empat, menyebutkan tujuan bangsa Indonesia juga demikian.

Whats wrong? Gak ada yang salah. Memang demikian adanya. Belajar itu agar manusia memperoleh pengetahuan, biar pintar. Tapi, kalau boleh berpikir dampak, perlu rasanya menggeser paradigma umum ini agar lebih berbobot. Sila diangan-angan pertanyaan ini, kalau ente sudah pintar mau apa coba? Boleh jeda sedikit sebelum jawab. Eehmm,  jawaban yang mudah diduga, kerja. Oke, kita tampung sementara.

Kita mulai sekolah rata-rata di usia 5 tahun. Ketika TK diajari bernyanyi sambil main-main. Usia 7 tahun kita SD, di sana mulai dikenalkan berhitung dan membaca. Lalu, dikenalkan beragam mata pelajaran sampai SMA.

Baca juga:  Ihwal Ditinggal Istri: dari HB Jassin, Dawam Rahardjo hingga Opick

Saking banyaknya, sekarang tidak ingat lagi nama pelajaran, apalagi warna atau penyusun bukunya. Meskipun tiap pagi hari dalam 12 tahun sesuai Wajib Belajar, selalu kita atur jadwal nama-nama pelajaran itu. Itu belum lagi sebagian kita bisa berkesempatan meneruskan ke pendidikan tinggi.

Kalau mau jujur, apa semua yang kita pelajari diperlukan di kehidupan ini? Ragu-ragu kan! Itu belum lagi kalau toh  ternyata profesi kita kemudian sama sekali tidak berkelindan dengan latar pendidikan. Apa coba, perlunya belajar fisika kalau kita kemudian menjadi kurir ojek online, atau apa pentingnya paham kewarganegaraan, kalau nyatanya kita belum bisa toleran dan menghormati sesama.

Mari kita atasi kegundahan ini. Lingkungan belajar kita ini masih learn to much, bukan learn for need. Seolah, semua harus kita ketahui. Tak penting apa tujuan kita mempelajarinya.

Di sini letak persoalan dasarnya. Kita sering lupa untuk membangun visi, dalam bahasa agama disebut niat. Coba kita uraikan apa niat itu? Dalam bahasa aslinya, Arab, niat diartikan dengan  tawajjuh nahwal ‘amal, yakni menuju suatu perbuatan. Bisa juga disebut orientasi.

Dengan menilik hadis masyhur diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, mari kita diskusikan!

“Sesungguhnya suatu perbuatan bergantung pada niat. Barang siapa orientasinya semata Allah dan utusannya, maka ia mendapatkan maksudnya. Sebaliknya, barang siapa yang orientasinya semata dunia atau wanita yang akan dinikahinya, ia hanya mendapatkan keduanya.”

Hadis di atas menandaskan, bahwa visi harus ideal dan berdampak besar. Jika visi hanya menargetkan pada sesuatu yang remeh, dunia dan wanita misalnya, maka dampaknya pasti tidak besar. Begitu pula dengan belajar. Niat yang menjadi fondasi harus bernilai supreme. Belajar tidak hanya sampai pada taraf tahu, tapi pengetahuan mesti juga bernilai guna, bagi si pembelajar atau entitas di luar dirinya. Itulah manfaat.

Baca juga:  Agama Tanpa Aksi Sosial Seperti Burung Tanpa Sayap

Kerja, jawaban yang ditampung sebelumnya. Ayo diulas. Kerja berarti berbuat, bisa juga beramal atau bertindak. Ilmu dan amal selalu bergandeng.

Hasan Hanafi dalam tulisannya, kira-kira artinya Ilmu, Amal dan Tanggung Jawab Sosial, berpandangan huruf dalam ‘-l-m dan ‘-m-l terdiri dari derivasi tiga huruf yang dibolak-balik antara huruf kedua dan ketiga. Bentuk pertama menunjukkan kata  benda dan bentuk kedua  menunjukkan kata kerja.

Dua kata di atas menunjukkan kedekatan yang komplementer, saling melengkapi. Artinya, tidaklah berarti ilmu tanpa amal, juga amal tanpa ilmu. Buah integrasi keduanya adalah takaaful al-ijtima’i, solidaritas sosial.

Konsekuensi belajar itu mengamalkan ilmu. Berkerja termasuk mengamalkan ilmu, bila diniatkan tidak semata untuk tujuan duniawi. Belajar agama pun begitu. Allah menyerukan dalam QS. [9] ayat 122:

Tidak sepatutnya bagi mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam ilmu agama. Sehingga ketika kembali, mereka ini dapat memperingatkan masyarakat, agar mereka wawas diri.

Pada ayat di atas, dapat kita temukan bahwa orang yang berpengetahuan, berkewajiban menyampaikan ilmu kepada publik sebagai bentuk dari tanggung jawab sosial. Sinergitas ilmu, amal dan solidaritas sosial menjadi satu wujud yang utuh.

Kalau mau dicermati, apa yang umum bagi masyarakat, seorang kiai dikenal tidak hanya karena kedalaman ilmu yang dikuasai tapi juga sikap asuh dan asihnya kepada umat. Tengoklah kiai-kiai pesantren kalau kita ingin melihat sosok yang pantas diidolakan dalam hal ini.

Baca juga:  Humor Pesantren, dari Kiai Wahab hingga Gus Dur

Nah, kalau kita ini mau belajar, baiknya apa yang dipelajari adalah yang kita butuhkan. Sebab, bermula dari kebutuhan, visi akan terbangun, sehingga niat akan mengisi hati, lalu melahirkan amal. Jika sudah diamalkan berarti ilmu itu bermanfaat. Rasanya, tidak mungkin memilih cara belajar seperti ini di Indonesia! Hemmm. Wallahu A’lam

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top