Sedang Membaca
Santri dan Konservasi Lingkungan (1): Minimnya Edukasi Ekologi di Kalangan Kiai-Santri
Alfin Haidar Ali
Penulis Kolom

Mahasantri Ma'had Aly Nurul Jadid. Bisa disapa via Ig: alfinhaidarali179.

Santri dan Konservasi Lingkungan (1): Minimnya Edukasi Ekologi di Kalangan Kiai-Santri

Whatsapp Image 2021 12 08 At 00.45.12

“Kalau kamu merasa udaramu semakin pengap dan tercemar, air semakin kotor, sehingga kamu terpaksa bertayammum, tanah semakin tandus dan lahan di mana-manan semakin berubah menjadi beton atau perkebunan industri, alih-alih ruang hijau yang kaya flora dan fauna, maka waspadalah,” terang Kiai Muhammad Al-Fayyadl, Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid yang juga aktivis front nahdliyin lingkungan hidup.

Secara sekilas dan pengamatan saya, kajian lingkungan dan ekologi kurang begitu populer di kalangan santri dan para kiai. Seandainya ada, pun itu bisa dihitung dengan hitungan jari. Hanya segelintir saja. Sepertinya, isu-isu lingkungan masih belum menjadi perhatian penting bagi para kaum agamawan. Padahal isu ini adalah isu global.

Secara literatur fikih yang diajarkan di pondok-pondok pesantren, kitab dan buku yang menjelaskan tentang konservasi lingkungan, alam dan ekologi belum begitu banyak, belum seutuhnya menjadi perbincangan sehari-hari dan populer sebagaimana kitab-kitab fikih, nahwu, shorof dan lain sebagainya.

Memang fikih dan kebanyakan literatur di kalangan pesantren tidak membahas secara khusus. Kondisi pada zaman dahulu, alam dan lingkungan sangat memadai. Sehingga tidak membutuhkan kajian dan penelitian mendalam untuk mendapatkan perhatian khusus.

Berbeda lagi dengan masa-masa seperti ini. Setelah mengalami beberapa kali revolusi industri, kehidupan umat manusia perlahan semakin berubah. Dari yang mulanya hidup tradisional, kini mulai modern. Umat manusia seolah tidak bisa dilepaskan dari kemajuan teknologi dan informasi. Mesin dan alat-alat canggih buatan manusia dengan segala dinamikan santifiknya, sangat bertebaran di sekitar kita. Mulai dari handphone, sepeda motor, mobil, televisi dan lain sebagainya.

Disadari atau tidak, eksploitasi alam besar-besaran sedang berlangsung di belahan bumi sana. Para pabrik dan proyek kerja pembangunan sangat kental sekali dengan paham kapitalismenya, mengeruk habis-habisan sumber daya energi dan kekayaan bumi kita.

Baca juga:  Sastra dan Pendidikan Religiositas

Bila perbuatan merusak lingkungan, tanpa diimbangi dengan upaya konservasi dan perhatian dari banyak pihak, jangan salahkan alam dan lingkungan bila kehidupan umat manusia semakin sengsara, menyedihkan dan tidak karuan.

Syekh Yusuf Qordhowi, pengarang kitab ri’ayatul bi’ah fi syari’atil islamiyah, menulis sebagaimana berikut:

“Seandainya lingkungan mempunyai pendengaran dan mulut untuk berbicara, akan terdengarlah teriakan-teriakan histeris dari terbakarnya ozon, yang diiringi dengan rintihan air sepanjang sungai dan lautan karena terisi percikan-percikan minyak, dan sekaratnya udara tercekik oleh gas-gas mati, dari industri, peluru-peluru, di seluruh bumi ini.”

Seakan-akan, ulama asal Mesir ini ingin mengingatkan kepada kita untuk sangat-sangat menyayangi alam dengan cara merawatnya. Dengan sebaik-baiknya. Karena lingkungan merupakan karunia Allah SWT. dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita.

Tak heran, pembahasan lingkungan ini menjadi kajian kontemporer karena alam menuntut demikian. Setelah itu muncullah istilah fikih lingkungan (fiqhul bi’ah), menjaga lingkungan (hifzhu al-bi’ah) dalam konsep maqashid syari’ah, jihad lingkungan, revolusi hijau, pesantren hijau, kesadaran lingkungan dan istilah-istilah lain terkait islam dan lingkungan.

Kita patut bersyukur, di lingkungan Nadhlatul Ulama (NU) maupun ormas lain terdapat forum yang membahas isu-isu global dan kontemporer terkait kelestarian lingkungan hidup. Semisal yang terbaru ini soal rencana pemerintah soal pajak emisi karbon menjadi salah satu pembahasan di Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) yang diselenggerakan pada 25-26 September 2021 lalu.

Dalam pandangan NU sendiri, sebagaimana yang tertera dalam hasil Muktamar ke-29 tahun 1994 di Cipasung, Jawa Barat, telah memutuskan bahwa masalah lingkungan hidup bukan lagi hanya merupakan persoalan politis atau ekonomis saja, melainkan juga menjadi masalah teologis (keagamaan/diniyah). Mengingat dampak kerusakan lingkungan hidup juga memberikan ancaman terhadap kehidupan umat manusia begitupula dengan pelaksanaan ajaran agama.

Baca juga:  Bulan Ramadan Tahun 748 M Juga Didera Wabah

Oleh karena itu, usaha konservasi lingkungan harus menjadi sikap dan perhatian kiai-santri khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Karena hal ini merupakan tuntutan agama yang wajib dipenuhi oleh umat manusia, baik secara individu maupun secara kolektif.

Kita tidak tahu, kehidupan kita pada lima, sepuluh, lima belas hingga dua puluh tahun ke depan seperti apa. Air yang mengalir dengan jernih, awan yang masih biru, musim yang relatif normal, curah hujan, hutan dan gunung-gunung sebagai penyanggah kehidupan umat manusia seperti apa? Kita tak tahu.

Bila upaya menjaga lingkungan, perbincangan serta pemahaman cara merawat alam dari kerusakan tidak kita lakukan sekarang, anak dan cucu kita tentu menjadi korban utama kerusakan lingkungan.

Padahal spirit menjaga lingkungan ini sangat sesuai sekali dengan dalil dan nash dari al-Qur’an dan hadits. Semisal pada surat al-a’raf ayat 56 sebagaimana berikut :

وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا وَٱدْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ

Artinya : Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Baca juga:  Perjalanan Jilbab, dari Quraisy Shihab, Gus Dur, hingga Artis

Artinya : Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum : 41)

وَأَنفِقُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوٓا۟ ۛ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ

Artinya : Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah : 195).

إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَ فِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيْلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ تَقُوْمَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا

Artinya : Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma maka apabila dia mampu menanamnya sebelum terjadinya kiamat maka hendaklah dia menanamnya. (HR. Imam Ahmad)

Oleh karena itu, penting sekali kiranya edukasi ekologi juga menjadi bahasan seperti ilmu-ilmu keislaman lainnya di kalangan santri-kiai, di pesantren dan para da’i, untuk mencerdaskan masyarakat terkait pentingnya menjaga lingkungan.

Kalau tidak sekarang kapan lagi ? akankah kita menunggu alam rusak baru sadar dan bergerak bersama-sama secara taktis untuk merawat alam?. Padahal butuh waktu yang tidak sedikit untuk memulihkan alam menjadi stabil kembali.

Kalau bukan kita, siapa lagi? Akankah kita menunggu para aktivis lingkungan dan pemerintah untuk bergerak menyelamatkan tempat tinggal kita. Rasanya sangat utopis sekali berpangku tangan pada orang lain, sedangkan isu dan dampak kerusakan lingkungan ini pasti menimpa banyak orang. Termasuk kita semua.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top