Sedang Membaca
Politik Kaum Sarungan: Gagasan dan Strategi KH. Maimoen Zubair dan KH. Cholil Bisri dalam Berpolitik
Abdullah Faiz
Penulis Kolom

Alumni Pondok Pesantren Salaf Apik Kaliwungu dan sekarang Kuliah di UIN Semarang.

Politik Kaum Sarungan: Gagasan dan Strategi KH. Maimoen Zubair dan KH. Cholil Bisri dalam Berpolitik

Cover Buku Kh Rofiq

Di Indonesia tahun 2024 adalah tahun yang “angker”. Hal ini, karena akan digelarnya pesta politik yang dirayakan selama 5 tahun sekali. Pergulatan dan perebutan kekuasaan kursi elit akan berjalan sangat sengit, setiap kelompok menawarkan ide-idenya pada gelanggang pertarungan dengan mengusung ideologi masing-masing partai. Indonesia memiliki ideologi partai yang beraneka ragam sesuai dengan warna partainya ada yang nasionalis, religius, sekuler, nasionalis-religius dan lainya.

Dalam pergulatan politik tersebut, kaum sarungan dari kalangan kiai-kiai pesantren juga tidak ketinggalan untuk ikut meramaikan jalanya pesta demokrasi di negeri ini. Peran politik kiai pesantren memiliki kekuatan hingga akar rumput di masyarakat.

Belum lama ini terbit sebuah buku yang sangat epic yaitu “Begawan Politik: Pergulatan Politik Kiai dalam Misi Keumatan, Kemandirian, dan Kesejahteraan”. Buku tersebut memiliki fokus kajian seputar dinamika politik kiai pesantren dalam menentukan arah politik. Menariknya penulis lebih fokus membidik dua tokoh kiai dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU) yang dikenal sebagai ulama politik. Keduanya yaitu KH. Maimoen Zubair dan KH. Cholil Bisri yang mana kedua ulama tersebut adalah figur yang bisa memberi inspirasi dalam berpolitik yang bermartabat.

Buku tersebut ditulis oleh Dr. KH. Rofiq Mahfudz, M.Si. seorang kiai akademis  lulusan Ilmu Politik di Universitas Diponegoro Semarang. Dengan demikian, dalam ulasanya ia sangat menjiwai sehingga buku tersebut mudah dipahami, ringan dan mendalam. Selain itu, Ia juga berhasil membeberkan data perkembangan partai Islam dari masa orde lama hingga masa reformasi.

Politik Kiai Pesantren: Aktor, Pendukung atau Partisipan

Kiai pesantren dalam urusan sosial dan politik di Indonesia tentu memiliki posisi yang sangat strategis. Mereka memiliki daya tarik dan diberikan kepercayaan oleh santri dan masyarakat, sehingga mereka bisa memainkan peranya sebagai magnet ditengah masyarakat. Apalagi kiprah kiai pesantren sudah dipercaya menjadi kunci pertarungan politik, mengingat dalam sejarah, kiai pesantren sudah ikut andil dalam persoalan bangsa sebelum Indonesia merdeka.

Baca juga:  Sabilus Salikin (22): Istilah-istilah dalam Tasawuf

Kiai Rofiq Mahfudz mengamini kalau kekuatan kiai pesantren bisa menjadi kunci suara masyarakat tradisional. Ia menyebutkan ada 3 hal penting yang bisa mengangkat seorang kiai, pertama adalah kemampuanya dalam menerjemahkan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Oleh karena itu, mereka bisa dengan mudah menjadi titik kiblat masyarakat karena dipercaya memiliki ilmu dan pantas menjadi panutan.

Kedua adalah garis keturunan yang bagus, masyarakat di Indonesia khususnya Jawa memiliki karakter yang baik dalam menjaga hubungan guru dan murid. Sehingga meskipun gurunya sudah wafat mereka akan tetap patuh dan hormat kepada putra-putrinya (keluarganya). Penghormatan ini sudah menjadi akar dalam kebiasaan orang Jawa karena termasuk dalam ajaran Islam. Dengan demikian, kekuatan nasab sangat penting.

Ketiga adalah jaringan sosial organisasi dan pesantren tradisional. Para kiai pesantren memiliki jaringan antar pesantren yang kuat, kekuatan tersebut bisa disebabkan satu perguruan atau disebabkan pernikahan antar keluarga kiai. Jalinan tersebut juga berkembang menjadi jaringan organisasi sosial keagamaan.

Kiai Rofiq Mahfud menyimpulkan keterlibatan kiai dalam pergulatan politik bisa dipetakan menjadi tiga hal. Pertama adalah aktor politik, dalam konteks ini kiai secara terang-terangan mencalonkan dirinya di pemilihan umum atau menjadi tim sukses untuk calon tertentu yang diusung. Kedua adalah sebatas pendukung, ia tidak mencalonkan dirinya dan tidak menjadi tim suksesnya namun mendukung satu calon yang ia percaya.

Ketiga adalah partisipan, dalam kategori ini biasanya kiai yang tidak banyak terlibat dalam percaturan politik, ia hanya memberikan restu namun tidak ikut mendukung dan tidak ada dalam pusaran  kekuasaan.

Baca juga:  Cinta Wujudiyah Ibn ‘Arabi: Merayakan ‘Absensia’ dalam Cinta

Perbedaan Antar Kiai Pesantren dalam Politik

Penulis buku ini membatasi fokus kajian pada kiprah dua tokoh kharismatik dalam tubuh Nahdlatul Ulama yaitu KH. Maimoen Zubair dan KH. Cholil Bisri yang mana keduanya adalah pentolan kiai pesantren di Rembang yang sangat dihormati namun berbeda dalam urusan partai politik. Mbah Maimoen istiqamah di partai PPP sementara Mbah Cholil Bisri melebarkan sayapnya di partai PKB.

Kiai Rofiq dalam bukunya juga menjelaskan kondisi perpolitikan dari masa ke-masa. Ia lihai mengurutkan data pemilu dari era orde lama hingga munculnya partai-partai Islam yang baru seperti PAN, PKS hingga PKB. Era reformasi dikenang sebagai era dibukanya keran demokrasi secara luas, akhirnya muncul beberapa partai baru dengan mengusung ideologi masing-masing. Di Tubuh Nahdlatul Ulama muncul partai PKB yang dimotori oleh KH, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Pada masa itu pula, Gus Dur bersama rekan-rekanya mendeklarasikan PKB sebagai wadah politiknya warga Nahdlatul Ulama untuk mengawal aspirasi warga NU agar tidak tersebar kemana-mana mengingat Nahdlatul Ulama sudah kembali ke khittah sehingga tidak lagi menjadi partai politik. Berdirinya PKB jelas sangat merugikan bagi partai PPP yang mana pentolan-pentolan PPP banyak yang menyeberang ke partai yang dilahirkan oleh PBNU.

Di Rembang KH. Cholil Bisri masuk dalam jajaran deklarator PKB sehingga secara otomatis ia sah berpindah dari gerbong yang lama (PPP) ke gerbong yang baru (PKB). Semantara KH. Maimoen Zubair tetap istiqomah di gerbong yang lama yaitu PPP. Kedua kiai pesantren tersebut memiliki barisan tersendiri, di belakang Mbah Maimoen ada KH. Thoyfur (Lasem), KH. Haizul Ma’ali (Sedan), KH Muthi (Pamotan), KH. Nur Salim (Kragan).

Baca juga:  Ensiklopedia Saintis Junior: Matematika itu Indah

Sementara di belakang Mbah Cholil Bisri ada KH. Khazim Mabrur (Rembang kota), KH. Roghib Mabrur (Sarang), KH.M Zainal Amroni (Rembang kota) dan KH. Ahmad Sunarto (Rembang kota). Beberapa kiai-kiai di atas adalah para kiai pesantren yang memiliki santri dan pengaruh yang sangat besar di kancah perpolitikan lokal hingga nasional.

Kiai Rofiq Mahfudz menuturkan, dari perbedaan pandangan politik tersebut uniknya tidak ada kerusuhan dan perpecahan di lapisan bawah masyarakat. Masyarakat Rembang melalui para kiai-kiai tersebut berhasil menghargai perbedaan pilihan politik.

Dua tokoh besar tersebut bisa menjadi contoh dalam pergulatan politik kekuasaan di era modern ini. Mereka berpolitik dengan pertukaran ide dan gagasan sehingga nuansa politik terkesan bermartabat dan memberikan kesejahteraan secara umum. Hal ini tentu berbeda dengan beberapa kota lainya misalnya di Jepara dan Pekalongan yang terjadi kerusuhan akibat perbedaan pilihan politik antara PPP dan PKB.

Buku karya Kiai Rofiq Mahfudz ini sangat cocok untuk dibaca menjelang pesta demokrasi 2024 ini. Banyak manfaat yang bisa dipetik diantaranya adalah  teladan kiai dalam memakna politik dan mengontrol masyarakat untuk meminimalisasi konflik. Buku tersebut mendapatkan apresiasi dari Gus Yaqut Cholil Qoumas (Mantri Agama RI) dan Gus Ghofur Maimoen (Rais Syuriah PBNU) sebagai representasi dari begawan politik KH. Cholil Bisri dan KH. Maimoen Zubair.

Resensi Buku: Begawan Politik: Pergulatan Politik Kiai dalam Misi Keutamaan, Kemandirian dan Kesejahteraan.

Penulis: Dr. Rofiq Mahfudz, M.Si.

Peresensi: Abdullah Faiz

Penerbit: Lawwana

Tebal:158 halaman cetakan pertama 2023

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top