Sedang Membaca
Gus Ulil dan Wisata Akidah bersama Al-Ghazali
Achmad Dhani
Penulis Kolom

Mahasantri Mahad Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta; alumnus pesantren Al-Isti'anah Plangitan Pati.

Gus Ulil dan Wisata Akidah bersama Al-Ghazali

Gus Ulil dan Wisata Akidah bersama Al-Ghazali

Betapa datarnya hidup, bila segala hal di dunia ini mampu kita simpulkan dengan mudah tanpa misteri yang menyertai. Tampaknya akan sama sekali tidak menarik. Sama tidak menariknya tatkala hidup ini terlalu mudah untuk dilalui atau malah sebaliknya, hidup ini terlalu berat  jika beban selalu berdatangan silih berganti.

Sayangnya, antara hidup bahagia dengan hidup yang penuh derita, pasti manusia memilih hidup dengan tenang tanpa beban. Mengharap penderitaan tidak pernah singgah menggampirinya.  Bahkan jika perlu, kita tidak perlu menghadapi penderitaan. Itulah yang selama ini diinginkan banyak orang di muka bumi ini.

Kita tidak perlu menghakimi siapapun jika ada yang mengeluhkan masalah yang dihadapinya. Tentu itu tidak urusan kita.

Namun sebagai orang yang mempercayai Tuhan dan segala ketetapan yang dikehendaki-Nya, kita perlu meyakini bahwa kebahagiaaan dan kesengsaraan itu adalah mutlak dilalui setiap insan. Lantas semua yang ditakdirkan oleh-Nya, kadang tidak sejalan dengan keiginan kita. Perlu kiranya kita menjadi pribadi yang legowo dan merenggangkan pikiran atas segala entitas di kehidupan ini. karena hal inilah yang menjadi pembeda antara hamba beriman dan yang tidak.

Gus Ulil dan Al-Ghazali

Hidup bak panggung sandiwara. Dimana aktor dan aktrisnya saling berlaga, meruntut naskah cerita dengan sederet konflik yang mendera. Selalu ada masalah pelik yang dihadapi mereka, dengan penyelesaian masing-masing tokoh yang beragam.

Kurang lebih seperti itulah gambaran kehidupan kita di dunia ini. Bila saja sandiwara yang diperagakan itu tidak ada konflik yang muncul, maka monoton, tidak ada pesan yang bisa kita ambil darinya.

Baca juga:  Sabilus Salikin (87): Ajaran Tarekat Suhrawardiyah

Banyak hal tidak berjalan seperti yang kita harapkan. Hidup senantiasa berputar, dan membuat kita berada di posisi yang berubah-ubah. Tak jarang kita mendapati hidup yang ruwet, penuh dengan penderitaan dan tekanan. Kadang hal itu membuat kita gundah dan bertanya-tanya soal Tuhan yang menciptakan takdir manusia. Tentang ketidak adilan hidup yang mereka rasakan oleh sebagian kalangan.

Dimana letak kasih sayang Tuhan? Mengapa penderitaan hamba-Nya itu tak segera dicabut? Bukanhan Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang?

Pertanyaan purba yang senantiasa bergelayut itu masih saja muncul di benak kita bersama. Gus Ulil mengutip argumentasi al-Ghazali dalam menjawab pertanyaan skeptis semacam ini. Menurutnya, pertanyan semacam ini adalah pertanyaan besar dan abadi, yang tidak mampu dituntaskan sampai kapanpun. Karena adanya Tuhan dan keber-ada-an manusia sangatlah berbeda. Akal manusia tidak mampu menjangkau hal-hal itu.

Tulisan Ulil Abshar Abdalla dalam bukunya “Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita?” perlu dibaca setiap orang agar tidak salah beraqidah. Dalam karya tersebut, ia mencoba mongkontekstualisasi  gagasan atau ajaran-ajaran teologis yang ditulis dan dikemukakan oleh al-Ghazali.

Sudah sejak lama secara rutin Gus Ulil membacakan kitab Ihya ‘Ulumuddin karya al-Ghazali setiap pekannya. Bersama para jamaah ngajinya, pengajian itu diaksanakan secara daring yang merupakan pembacaan dan pemaparan ulangnya atas aqidah Islam yang telah dirumuskan oleh al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin.

Baca juga:  Supaya Mendapatkan Ilmu yang Bermanfaat dan Berkah, Baca Kitab Bustanul Azaim Karya Kiai Romzi

Membaca karyanya ini, kita akan mendapatkan pencerahan atas kemusykilan terhadap akidah ketuhanan. Terlebih di zaman “hyper modern” (sebagimana pengistilahan Gus Ulil) yang rentan akan ringkihknya keyakinan beragama.

Ujian terberat untuk memegang doktrin keadilan Tuhan ini adalah pada saat seseorang berhadapan dengan situasi liminal –penderitaan ekstrem melebihi kemampuan normal.

Ketika menghadapi situasi semacam ini, seseorang bisa memilih di antara dua alternatif ini”: bersikap nihilistik total, atu menaruh kepercayaan total bahwa apapun yang terjadi adalah karena suatu tujuan baik. Yang terakhir itu adalah sikap iman yang tanpa syarat.

Iman tanpa syarat adalah ekspresi keimanan dimana manusia menggunakan akal sehatnya untuk berfikir tentang ketuhanan. Sebab sejatinya keimanan tidak dapat dipisahkan dari berfikir. Saat memikirkan itulah kita terdorong dan menimbulkan keyakinan tentang keber-Ada-an Allah Swt.

Membaca buku ini, pembaca sekalian akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan skeptis pada judul. Sebuah argumentasi al-Ghazali yang disitir Gus Ulil sebagai jawaban adalah bahwa dunia yang ada saat ini merupakan dunia dalam bentuk yang paling baik. Oleh sebab itu, kita musti percaya tidak ada dunia yang sempurna selain dunia yang ada sekarang, dengan segala kekurangannya termasuk penderitaan. Penjelasan yang sungguh butuh waktu untuk diterima.

Dengan kata lain, apa yang dalam skala kecil kita anggap penderitaan, dalam skala besar, bisa jadi merupakan berkah.

Baca juga:  Hamzah Muhammad: Puisi dan Sains

Seorang yang beriman selalu menaruh husnuzzan, kepercayaan bahwa di balik segala penderitaan dalam skala kecil, ada hikmah besar dalam skala besar yang mungkin baru diketahui belakangan. Dengan sikap hidup semacam ini, ia tak akan putus harapan, dalam keadaan apapun. Dia akan selalu melihat terang di ujung lorong! (hlm.23)

Sementara itu, bagian lain pada buku ini juga mengajak pembaca agar senantiasa mengukuhkan akidah dan menjernihkan akal fikiran kita.

Pada zaman modern ini manusia semakin hebat dan maju dengan teknologi yang ada. Cara manusia beragama kian hari semakin deras tantangannya. Bagi umat  Islam, seusai wafatnya Baginda Nabi Saw. maka terputuslah wahyu Allah Swt. terhadap manusia. Jadi bagaimana manusia dapat meneruskan legasi kanjeng Nabi? Bagaimana manusia ingin hidup berlandaskan syariat kanjeng Nabi jika wahyu terputus?

Tuhan utus Nabi sebagai rahmat sekalian alam. Tidak lain tidak bukan, manusia harus menggunakan anugerah akal. Karena akal lah yang menjadi wahyu manusia pada zaman modern ini.

Buku ini sangatlah cocok dibaca dikala dirudung masalah pelik nan krusial. Paling tidak, ia membawa kita untuk merenggangkan pikiran dan mengukuhkan akidah.

Identitas Buku

Judul : jika Tuhan Mahakuasa, Mengapa Manusia Menderita?: Memahami Akidah Islam Bersama Al-Ghazali

Penulis : Ulil Abshar Abdalla

Penerbit : Buku Mojok

Tahun Terbit : 2020

Tebal : vii+ 186 halaman

ISBN : 978-623-7284-37-6          

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top