Cirebon merupakan daerah yang dihuni banyak etnis, agama, keyakinan, bahasa, ideologi, dan sebagainya. Dilihat dari sejarahnya, masyarakat di daerah ini memang dikenal beragam. Cirebon, dengan begitu, adalah cermin dari karakter masyarakat Nusantara yang bineka.
Perbedaan menjadi hal lumrah bahkan menjadi modal untuk mencapai kesejahteraan bersama. Meski dalam perkembangan banyak gerakan-gerakan radikal, Cirebon hari ini masih menunjukkan wajahnya yang toleran.
Banyak orang bertanya kepada saya tentang asal kata Cirebon. Banyak pula sumber yang memberikan jawaban bahwa Cirebon berasal dari ‘cai’ dan ‘rebon’ yang berarti ‘air’ dan ‘udang kecil-kecil’. Tapi menurut hemat saya, yang lebih tepat adalah apa disebutkan dalam naskah Purwaka Caruban Nagari. Dalam naskah tersebut dikatakan, Cirebon berasal dari kata ‘caruban’ atau ‘sarumban’ yang berarti campuran. Penduduk Cirebon adalah campuran berbagai bangsa, penduduknya beragam.
Pengarang naskah Purwaka Caruban Nagari, Pangeran Arya Carbon mengatakan bahwa sejak mulanya di wilayah pesisir utara Jawa Barat ini sudah bermukim banyak orang dari berbagai belahan negara. Ada orang pribumi, ada orang Sunda, orang Tiongkok, Arab, India dan sebagainya. Sebagai daerah pelabuhan, Cirebon lahir dari percampuran dan pertemuan banyak orang dengan latar yang beraneka ragam.
Saya bukan ahli naskah, tapi kebetulan mendapat keberuntungan bisa membaca naskah tersebut dalam bentuk sudah ditransliterasi dan diterjemahkan. Saya baca dua edisi transliterasi dan terjemahan masing-masing dari Atja (Carita Purwaka Caruban Nagari: 1968) dan AH Dasuki (Purwaka Caruban Nagari, 1978). Kalau pembaca yang budiman masih sangsi bahwa dari asal mulanya Cirebon adalah daerah plural, bisa langsung membaca naskah tersebut.
Nah, untuk pembaca yang ingin tahu tentang bagaimana isi naskah tersebut selengkapnya akan saya tulisakan dalam blog ini menurut pembahasan yang relevan. Anggap saja tulisan ini sebagai pembuka dan salam perkenalan.
Sejarah juga mencatat bahwa pendiri Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati, yang merupakan seorang penyebar agama Islam juga seorang wali, menikah dengan salah seorang putri asal Tiongkok, Putri Ong Tin Nio yang memeluk agama yang berbeda. Sependek pengetahuan saya, dia satu-satunya anggota Walisongo yang mempunyai istri non-muslim.
Kalau pembaca pernah ziarah ke komplek Makam Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pasti tahu di sebelah kiri lantai ziarah pasujudan terdapat tempat ziarah bagi orang Tionghoa. Tempat itu disebut Balai Mergu. Para peziarah Tionghoa biasa membakar hio untuk Putri Ong Tin, tepat di samping orang muslim berdoa untuk Sunan Gunung Jati. Begitu indah pemandangan ziarah seperti ini.
Putri Ong Tin dikenal oleh masyarakat Cirebon dengan nama Nyai Rara Sumanding. Salah satu istri Sunan Gunung Jati ini kerap didoakan masyarakat muslim Cirebon –terutama orang nahdliyin—dalam bacaan tawasul. Tawasul adalah memberikan hadiah Surat Fatihah, biasanya dibacakan sebelum membacakan tahlil. Jadi, orang muslim mendoakan orang non-muslim di Cirebon adalah hal biasa, lumrah saja.
Kalau Anda mau membaca lebih jauh tentang ziarah ini bisa membaca bukunya Pendeta Supriyatna, Ziarah Makam Sunan Gunung Jati di Mata Orang Kristen. Dia sekarang menjadi pendeta di gereja di daerah Tangerang. Saat bertugas di Cirebon, dia menulis sebuah buku tersebut sebagai tugas akhir studinya.
Bukti lain betapa masyarakat Cirebon sudah sangat biasa dengan keberagaman adalah dari banyaknya catatan dalam naskah kuno dan peninggalan benda-benda bersejarah serta benda arkeologis lainnya. Dalam naskah dan artefak tersebut jelas sekali, Cirebon adalah rumah bagi semua orang. Salah satu artefak yang saya maksud adalah Paksi Nagaliman. Sebuah kereta kencana yang berbentuk seekor hewan imaginatif.
Hewan tersebut merupakan gabungan dari paksi (hewan bersayap seperti buroq) yang disebut orang-orang Cirebon sebagai representasi tradisi dan budaya Islam; Naga yang merupakan representasi dari tradisi dan budaya Tiongkok; Dan liman (gajah) yang merupakan representasi dari tradisi dan budaya Hindu. Simpulannya, simbolisasi keagungan dalam sejarah dan kultur Cirebon adalah persatuan unsur budaya yang berbeda.
Tidak cukup sampai di situ, rupa-rupanya kesadaran keberagaman masyarakat Cirebon sudah sangat mendarah daging sehingga banyak sekali hasil-hasil kebudayaan yang mencerminkan keberagaman, bahkan dalam hal kecil seperti kuliner. Orang Cirebon tentu sudah familiar dengan sega lengko, sega jamblang, docang, dan lainnya. Banyak makanan Cirebon merupakan hasil percampuran bahan-bahan dari unsur-unsur budaya berbeda.
Tugas kita hari ini – di saat ideologi-ideologi radikal masuk merangsek tanpa tedeng aling-aling—adalah terus merawat dan memastikan Cirebon, kota kita yang tercinta, ini agar selamanya menjadi rumah bagi siapa saja, tanpa melihat suku, agama, bahasa, atau pun perbedaan lainnya. Tugas ini tidak mudah, tapi ikhtiar harus terus dilakukan.