Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Penolak(an) Anugerah Sastra: dari Pramoedya Ananta Toer hingga Eka Kurniawan

Kita memiliki ingatan orang-orang menolak dan mengembalikan hadiah, penghargaan, atau anugerah sastra. Ingatan terkuat tentu Jean-Paul Sartre (Prancis) menolak saat diumumkan mendapat Nobel Sastra (1964). Penolakan memiliki argumentasi berlandaskan sastra, filsafat, dan ideologi berlatar situasi zaman. Sartre tetap pengarang dan filosof besar, tak perlu memiliki catatan di biografi sebagai penerima Nobel Sastra.

Di Indonesia, kita mengingat dua nama: Mochtar Lubis dan Pramoedya Ananta Toer. Pada suatu masa, dua orang itu tercatat menerima Hadiah Magsaysay. Mochtar Lubis duluan menerima penghargaan dan merasa itu kepantasan.

Pada 1995, panitia di Filipina memilih Pramoedya Ananta Toer menerima penghargaan pula. Mochtar Lubis bereaksi dengan penolakan dan berharap agar panitia berpikir ulang untuk membatalkan pemberian penghargaan. Pramoedya Ananta Toer tetap dianggap berhak menerima hadiah berdalih kerja kesusastraan dan dampak.

Sementara Mochtar Lubis memutuskan mengembalikan hadiah pernah diterima. Ia sanggup mengembalikan jumlah uang hadiah secara mencicil. Kita bisa membaca dalam buku berjudul Polemik Hadiah Magsaysay (1997) dengan editor AS Laksana, diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi. Peristiwa itu masuk di album kehebohan sastra Indonesia berkaitan dengan pemberian penghargaan dari negara asing.

Sekian tahun lalu, heboh pun bersumber dari anugerah, penghargaan, atau anugerah. Sekian pengarang menerima Bakrie Award. Sekian pengarang memilih menolak gara-gara pihak pemberi penghargaan belum bisa membereskan tanggung jawab berpokok lumpur. Penerima dan penolak memiliki tumpukan argumentasi.

Sikap-sikap itu tetap saja berkaitan gengsi dan jumlah uang. Dalih dan dampak politik, estetika, HAM, dan kemanusiaan tentu berlaku di pembacaan kritis dan udar argumentasi. Kita pun semakin mengerti bahwa sastra bergejolak gara-gara hadiah, anugerah, atau penghargaan, dari masa ke masa.

Sekian hari lalu, Eka Kurniawan dipilih oleh pemerintah untuk menerima anugerah. Pengarang kondang di Indonesia dan dunia itu dianggap berhak menerima anugerah di kategori “pencipta, pelopor, dan pembaru”.

Di kancah sastra internasional, Eka Kurniawan itu nama penting dan berpengaruh. Pemerintah ingin turut memberi anugerah. Anggap saja itu telat. Eka Kurniawan justru telah menerima pengakuan dari pelbagai pihak dengan argumentasi bermutu dan bermartabat. Pada 2019, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah membuat pertimbangan memberikan anugerah di acara Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni 2019, dilaksanakan di Jakarta, 10 Oktober 2019.

Baca juga:  Kearifan Lokal Sebagai Ideologi dan Identitas Bangsa

Sehari sebelum acara, Eka Kurniawan menulis surat penolakan. Surat terbaca publik dan dikutip di berita-berita sekian koran. Di Media Indonesia, 11 Oktober 2019, Radhar Panca Dahana mendukung sikap Eka Kurniawan. Kita mengutip dari surat penolakan:

“Seserius apa negara memberi apresiasi kepada pekerja sastra dan seni, dan pegiat kebudayaan secara umum? Memberi penghargaan kepada penulis macam saya memang tak akan menjadi berita heboh, apalagi trending topic di media sosial. Tapi, terlepas dari kekesalan dan perasaan di-anak-tiri-kan macam begitu, selama beberapa hari saya mencoba mengingat dan mencatat dosa-dosa Negara kepada kebudayaan, setidaknya yang masih saya ingat.” Eka Kurniawan membaca (ulang) hubungan negara, sastra, perbukuan, HAM, pajak, dan lain-lain.

Radhar Panca Dahana mengaku setuju dan mendukung Eka Kurniawan. Kritik tambahan pun dilancarkan: “… selama ini pemerintah keliru melihat kebudayaan dan hanya melakukan selebrasi seperti merayakan festival kebudayaan, menyelenggarakan pameran produk kebudayaan yang menghamburkan uang.” Kita bisa mengingat sekian tahun terakhir, ratusan festival diselenggarakan di desa dan kota. Festival dicap kebudayaan diadakan pemerintah dan komunitas-komunitas partikelir. Gengsi festival kadang ingin di taraf internasional dengan penamaan acara berbahasa asing atau melibatkan kehadiran seniman dari negeri-negeri asing. Festival seperti jadi puncak pengertian kebudayaan di Indonesia masa sekarang. Kita bakal sulit mencatat dan memberi argumentasi atas ratusan festival di seantero Indonesia. Sekian festival sengaja diadakan pemerintah. Misi besar adalah membuat kerumunan dan menghasilkan ribuan foto. Misi “picisan” dan “mutlak” adalah pariwisata, belum kebudayaan.

Festival-festival sastra mungkin dipaksakan pula berkaitan pariwisata oleh pemerintah. “Kemarahan” Radhar Panca Dahana sebagai sikap mendukung penolakan Eka Kurniawan atas anugerah dari pemerintah memang masuk akal. Pemerintah ingin membuktikan tanggung jawab kebudayaan atau kesusastraan melulu dengan anugerah. Orang memahami anugerah itu berupa pin, piagam, piala, medali, dan uang. Tanggung jawab itu berkebalikan dengan tugas-tugas pemerintah dalam urusan perbukuan sastra, hak-hak pengarang, pengadaan fasilitas, dan pembuatan kebijakan di sekian institusi bermaksud memajukan sastra.

Baca juga:  Wabah Corona, Momentum Memperkuat Keluarga dan Kekeluargaan

Kita kembali ke pamrih pemerintah. Sebutan “anugerah kebudayaan” mungkin membuat kita kagum atas pilihan kata dan sikap pemerintah. Kata “anugerah” bisa melenakan bagi orang-orang selalu memiliki anggapan untuk pengertian-pengertian baik atau mulia. Kita membuka saja Kamus Besar Bahasa Indonesia (2018). Di halaman 99, anugerah berarti “pemberian atau ganjaran dari pihak atas (orang besar dsb) kepada pihak bawah (orang rendah dsb).” Pengertian itu pasti “mengganggu” bagi seniman atau sastrawan saat diumumkan bakal mendapat anugerah dari pihak pemerintah. Kita masih harus membaca pengertian lain untuk anugerah: “karunia dari Tuhan”. Eka Kurniawan membuktikan penolak(an) anugerah memang hak dan argumentasi pantas disodorkan ke pemerintah dan publik.

Ingat sastra, ingat tanggung jawab. Sejak masa 1930-an, pengarang rajin bicara tanggung jawab sastra adalah Sutan Takdir Alisjahbana. Perkara tanggung jawab itu membesar dan memicu sengketa ideologi di masa 1950-an dan 1960-an. Sekian pihak berbeda pemahaman dan terapan atas tanggung jawab sastra. Pemerintah bisa saja ditiadakan dalam pembuktikan tanggung jawab. Kita sengaja menghindari dulu “anugerah” demi mengingat dan membaca ulang tanggung jawab sastra. Dulu, Sutan Takdir Alisjahbana menginginkan sastra membuktikan tanggung jawab untuk memajukan Indonesia atau membentuk Indonesia baru berbeda dari corak lawas dan bentukan kolonial. Sastra pun gampang memuat amanat, slogan, seruan, dan perintah berdalih kemajuan Indonesia. Kita mengingat Sutan Takdir Alisjahbana sebagai pengarang berpropaganda tanggung jawab meski perlahan kehilangan “pengikut”.

Pada masa berbeda, tanggung jawab sastra memusat ke ibadah, bukan anugerah. Bersastra itu ibadah sering disampaikan oleh Kuntowijoyo. Pemaknaan memuncak dengan tulisan dijuduli Maklumat Sastra Profetik. Segala kehendak dan laku di sastra dimaksudkan sebagai ibadah, tak tergesa sebagai kerja politik, raihan komersialitas, atau pembesaran gengsi. Kita memang tak gamblang menemukan perkara tanggung jawab dengan mengacu ke Sutan Takdir Alisjahbana dan Kuntowijoyo di surat buatan Eka Kurniawan. Surat untuk pemerintah, belum terlalu mengurusi kedirian pengarang. Di akhir surat, kita membaca: “Saya tak ingin menerima anugerah tersebut, dan menjadi semacam anggukan kepala untuk kebijakan-kebijakan negara yang sangat tidak mengapresiasi kerja-kerja kebudayaan, bahkan cenderung represif. Suara saya mungkin sayup-sayup, tapi semoga jernih didengar. Suara saya mungkin terdengar arogan, tapi percayalah, Negara ini telah bersikap jauh lebih arogan, dan cenderung meremehkan kerja-kerja kebudayaan.”

Baca juga:  Membaca Riwayat Ahmad Tohari

Di Indonesia, pengarang atau penerbit memiliki kebiasaan memberi satu atau sekian halaman untuk biografi pengarang. Bukalah buku-buku sastra di rak atau lemari! Di setiap buku, kita bakal membaca biografi pengarang sering dicantumkan pelbagai penghargaan, anugerah, atau hadiah. Data diri itu panjang. Kita kadang terpukau. Pengarang terasa besar dan kondang dengan deretan penghargaan diterima sebagai pengarang, selama puluhan tahun. Penerbitan buku baru Eka Kurniawan nanti dipastikan tak bakal ada sebutan menerima “anugerah kebudayaan” di halaman biografi.

Penolak(an) anugerah justru membuat kita insaf atas harga diri sastra Indonesia. Kita abaikan dulu masalah pin dan uang. Selama puluhan tahun, HB Jassin tekun “menggembala” dan mendokumentasi sastra Indonesia. Ia pun menulis teks sastra meski sedikit. Kedirian HB Jassin mengajarkan kita bahwa urusan besar belum sanggup dibuktikan adalah “harga diri sastra Indonesia”. Kasus penolak(an) “anugerah kebudayaan” mungkin mengembalikan kita berpikir lagi “harga diri”. Dami N Toda (2000) mengingatkan bahwa HB Jassin itu teladan bagi misi harga diri sastra Indonesia dengan ketekunan menggubah dan mengedarkan teks sastra ketimbang kesibukan meraih gengsi dan membuat catatan panjang di biografi untuk anugerah, hadiah, dan penghargaan. Harga diri itu mengandung niat dan tanggung jawab melampaui uang dan tepuk tangan. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top