Sedang Membaca
Cium Tangan: Sebuah Ritual Politik yang Dahsyat
Abdul Gaffar Karim
Penulis Kolom

Dr. Abdul Gaffar Karim. Dosen FISIPOL UGM dengan minat riset utama tentang politik dan agama. Lahir di kota santri Sumenep, Madura, menyelesaikan pendidikan di Indonesia dan Australia.

Cium Tangan: Sebuah Ritual Politik yang Dahsyat

Cinta Gus Dur pada Pati

Bagi kebanyakan orang Indonesia, cium tangan pada orang tua atau orang yang dituakan itu lumrah. Pamit mau sekolah, cium tangan. Pulang sekolah, cium tangan.

Anak zaman sekarang melakukannya sedikit berbeda dari generasi saya. Kalau saya cium tangan orang tua, ya benar-benar dicium punggung tangannya. Hidung dan bibir menyentuh tangan. Anak jaman sekarang membawa tangan orang tua ke kening, atau ke pipi, bukan ke area hidung dan mulut. Katanya, begitu tata cara cium tangan dalam hadis.

Prinsipnya sih sama, yakni membawa tangan orang tua ke wajah kita. Memang kalau dipikir-pikir, cara anak zaman sekarang lebih sehat daripada kita. Persentuhan tangan ke hidung dan mulut kita sebenarnya berpotensi menularkan sesuatu, kalau tangan itu tidak bersih.

Tapi mari kita abaikan isu kesehatan dalam kebiasaan cium tangan itu. Biarkanlah lain kali ada dokter yang menulis tentang itu. Keahlian saya bukan soal kesehatan, melainkan ilmu politik. Coba kita lihat cium tangan itu dari sudut pandang ilmu politik.

Perhatian utama dalam ilmu politik adalah relasi kuasa antar aktor. Orang awam mungkin melihat politik itu hanya urusan pemilihan presiden, quick count, people power, dan semacamnya. Iya memang, itu adalah urusan politik. Tapi ilmu politik sendiri menjangkau semua urusan kekuasaan, bukan hanya urusan kekuasaan formal. Nah bagi pembelajar ilmu politik seperti saya, cium tangan pun adalah urusan politik. Mengapa?

Sebab dalam cium tangan itu ada gejala relasi kekuasaan yang sangat jelas.

Dalam tiap cium tangan, setidaknya ada dua aktor: orang yang mencium tangan dan orang yang dicium tangannya. Relasi mereka pasti tidak setara. Kalau setara, mereka akan salaman biasa atau cipika-cipiki. Kalau tidak setara tapi tak mungkin dilakukan cium tangan, minimal ada satu pelaku yang salaman sambil merunduk, dan satu lagi salaman sambil berdiri tegak.

Baca juga:  Nenek yang Diasingkan dalam The Red Riding Hood

Lihat saja salamannya menteri pada presiden. Lihat juga salaman “siap presiden” itu, baik versi asli maupun versi parodi.

Nah, kalau orang cium tangan, pasti yang mencium tangan berada dalam strata lebih rendah (atau meletakkan diri secara tawaduk sebagai lebih rendah) daripada yang dicium tangannya.

Santri, pasti cium tangan pada kiai. Murid, cium tangan pada gurunya. Anak, cium tangan pada orang tuanya. Adik, cium tangan pada kakaknya. Mana ada yang sebaliknya. Istri ada juga yang cium tangan pada suaminya. Tapi saya risih dicium tangan oleh istri. Ini adalah kebiasaan yang saya hindari. Saya mending mencium pipinya kalau salah satu dari kami pamitan mau jalan.

Kalau pada para kiai, sama seperti kebiasaan orang-orang di komunitas santri, saya biasanya tak ragu-ragu untuk cium tangan, apalagi kalau itu adalah kiai sepuh. Kalau mudik ke Sumenep, jika bertemu dengan Kiai Said Abdullah (bedakan dengan Said Abdullah yang politisi PDIP), atau dulu dengan Kiai Basyir dan Kiai Warits, saya pasti cium tangan.

Kalau kiai yang agak muda apalagi rada sepantaran, ya saya merasa agak canggung kalau cium tangan. Bukan karena saya tidak mau melakukannya, namun karena tak ingin yang bersangkutan dianggap sepuh.

Kepada Gus Ulil Abshar Abdalla, misalnya, ya saya salaman saja, sambil mengakui dengan sungguh-sungguh betapa hebatnya kiprah dakwah yang dia lakukan selama ini. Kalau saya cium tangan, nanti dia malah ngakak mengira saya sedang nyindir…

Tapi kalau kepada mertua Gus Ulil, ya jelas tak ada keraguan lagi. Tiap kali ketemu KH Ahmad Mustofa Bisri, pasti saya cium tangan beliau dengan takzim, merunduk dalam-dalam secara zahir dan batin. Hati saya maknyes tiap kali cium tangan, dan beliau komat-kamit entah membaca selawat, atau seringnya mengucap “alhamdulillah” dengan pelafalan yang kadang terdengar seperti “hamdulillah” lirih.

Baca juga:  Nalar Publik, Pandemi Corona, dan Kehidupan Masyarakat Sipil Indonesia

Nah suatu ketika, saya sowan ke Leteh bersama beberapa orang teman. Ketika itu saya ingat, bahwa saya sama sekali tak punya foto sedang cium tangan pada Gus Mus. Itu tidak baik bagi reputasi saya.

Beliau adalah salah satu kiai yang paling dihormati di kalangan umat Islam Indonesia, khususnya para Nahdliyin, dan saya tak punya foto sedang cium tangan beliau. Karena itu, sambil menunggu di ruang tamu dalem beliau di Leteh itu, saya pesan ke teman-teman: “Tolong siapkan HP ya. Kalau saya sedang salim Gus Mus, potret dengan angle terbaik. Jepret sebanyak mungkin agar dapat yang bagus.”

“Beres Massss…” Mereka menjawab mantap.

Saya pun lega mendengar jawaban itu. Sambil menyeruput teh dan menikmati suguhan, saya sesekali curi pandang ke arah mereka, untuk memastikan bahwa HP siaga di tangan. Saya makin lega tiap kali mereka tampak sibuk dengan HP masing-masing.

Saya yakin mereka sedang menyetting kamera agar dapat pencahayaan yang bagus. Posisi saya yang duduk bersila dekat dengan tirai yang memisahkan ruang tamu dengan area dalam rumah Gus Mus pasti amat strategis.

Setelah menunggu sekitar setengah jam, Gus Mus keluar dari balik tirai, dan dengan sangat kharismatik menyapa tetamu:

“Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikumussalam…”

Saya berdiri dan dengan penuh hormat mencium tangan beliau. Harum. Dan seperti biasa terdengar suara serupa “hamdulillah,” tapi kali ini disertai pertanyaan: “Sehat-sehat?”

“Alhamdulillah,” jawab saya.

Setelah itu beliau menyalami orang-orang lain di ruangan itu. Sesekali tampak beliau menggerakkan tangan agak cepat. Mungkin ada yang salaman sambil menyelipkan bisyarah. Kali lain beliau menyodorkan uang kepada anak kecil yang ikut salim (anak saya si Nida pernah dapat angpau dari beliau).

Baca juga:  Awal Ramadan 2019, NU, Muhammadiyah dan Pemerintah Kompak. Mengapa?

Usai salam-salaman, eh salim-saliman itu, beliau lalu duduk dan melayani hajat banyak orang. Saya yang niat pokoknya adalah sowan saja tanpa hajat khusus apapun, hanyak duduk menyimak di sisi kanan beliau. Sambil menyimak, saya berdoa dalam hati semoga teman-teman berhasil menjepret saya sedang salim pada beliau, dan semoga hasil jepretannya instagramable. Aamiin…

Setelah pamitan pada Gus Mus untuk kembali ke Yogya, kami segera masuk ke mobil. Hal pertama yang saya tanyakan pada teman-teman begitu mobil jalan adalah: “Mana, mana fotonya. Kirim ke saya ya.”

“Foto apa Mas?”

“Loh ya foto saya salim Gus Mus itu tadi loh.”

“Duhh…” Lah ini. Jawaban kalau sudah pakai duh itu pertanda buruk.

“Duh gimana?”

“Tadi itu saya lupa mau jepret,” kata yang satu.

“Saya ya sama,” timpal yang lain.

“Aku yo hooh,” game over dari yang satunya lagi.

“Lahh kok bisaaa…” Saya meratap.

“Tadi itu begitu Gus Mus keluar dari balik tirai, saya langsung rada panik, dan malah masukkan HP je.” Satu teman berapologi.

“Aku ya iya. Malah nyiapin tangan buat salim. Rada panik tadi.” Satunya lagi melengkapi kesedihan.

“Halahh…” saya pun protes. “Urusan salim loh kok pakai panik segala.”

“Loh lah iya. Minimal ndredeg.” Hakdezzzzz…

Dan sampai sekarang pun saya tak punya foto sedang salim pada Gus Mus. Ini semua karena bagi teman-teman yang saya mintai bantuan menjepret itu, cium tangan pada kiai “khos” adalah sebuah tindakan yang memerlukan konsentrasi penuh. Mereka tak bisa melakukannya sambil jeprat-jepret.

Bagi mereka, dan saya juga sejatinya, cium tangan pada kiai khos itu adalah sebuah ritual politik yang dahsyat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top