Dulu, semasa KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur masih sugeng, utamanya periode beliau menjadi ketua umum PBNU, yakni 1984-1999, ada lelucon begini, “Tak ada yang mengalahkan kesibukan Gus Dur, kecuali Malaikat yang paling sibuk.” Itu saking sibuknya, saking banyaknya tugas yang diamanatkan kepada cucu pendiri NU ini.
Sebagai ketua umum PBNU, jadwal Gus Dur padat merayap. Sebagai cendekiawan, jadwal seminarnya tak terkendali. Sampai-sampai seorang kiai menyebutnya “tukang seminar”. Sebagai pemimpin umat, tamu Gus Dur harus sabar mengantri. Sebagai tokoh pubik, jadwal wawancara dengan media, bikin repot sekretarisnya. Sebagai mubalig, rutenya seperti bus antarkota-antarprovinsi. Pokoknya, sibuknya tidak bisa digambarkan dengan kata-kata, hingga akhirnya muncul lelucon di atas.
Tapi, sesibuk apapun, Gus Dur tetap menulis. Inilah kegiatan yang bikin banyak intelektual geleng-geleng kepala. Sejak muda, Gus Dur rajin sekali menulis dan membaca. Kegiatan itu dilakoninnya hingga keduamatanya tidak terlalu berfungsi dengan baik, bahkan mengalami kebutaan. Sangat beruntung kita memiliki pemimpin seperti beliau, presiden seperti beliau, memiliki ulama seperti beliau, karena jejaknya mudah kita baca, yakni melalui ratusan karya tulisanya. Berikut ini tujuh buku karya Gus Dur yang perlu kita baca denan baik:
Pertama, Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Melalui buku ini, Gus Dur mengajak kita untuk, antara lain, untuk menghindari satu sudut pandang saja dalam melihat banyak hal, termasuk dalam melihat agama Islam. Katanya, tidak ada satu Islam, Islam adalah multiwajah, wajah manusiawi.
Pluralitas dalam melihat Islam dan kehidupan, dengan bersandar pada etika dan spiritualitas, itulah yang diusulkan Gus Dur, termasuk untuk mengelola dunia yang terus bergerak ke arah globalisasi untuk perdamaian abadi dan saling menghormati antar bangsa dan antar manusia.
Benang merah pemikiran gus dur terdapat dalam buku ini yaitu penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam. Karena “Islamku (Islam Gus Dur)” merupakan hasil dari rentetan pengalaman pribadi yang perlu diketahui oleh orang lain, tetapi tidak dapat dipaksakan kepada orang lain.
Sementara “Islam Anda” merupakan apresiasi gus dur terhadap kepercayaan dan tradisi keagamaan sebagai “kebenaran” yang bukan berangkat dari pengalaman namun berangkat dari keyakinan. Keberagamaan ini diformalisasikan oleh Gus Dur sebagai “Islam Anda” yang perlu diapresiasi, sedangkan “Islam kita” lebih merupakan derivasi keperihatinan terhadap masa depan Islam berdasarkan kepentingan bersama.
Kedua, Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan. Karya ini diterbitkan pada tahun 2001 oleh penerbit Desantara, di dalamnya dijelaskan, negara tidak pernah ada dan tidak seharusnya berhubungan dengan kebudayaan. Karena kebudayaan merupakan seni hidup atau kehidupan sosial manusiawi yang terbangun dari interaksi antar manusia; individu maupun kelompok.
Kebudayaan, kata Gus Dur, adalah representasi emansipasi manusia ke arah yang lebih survive. Intervensi negara atas –meminjam istilah Gus Dur, birokratisasi– kebudayaan hanya akan memutarnya ke arah kebalikan, yakni pembekuan daya cipta masyarakat yang sedang berada dalam perubahan besar-besaran.
Dalam buku ini juga menjelaskan tentang “Islam Nusantara”, Gus Dur pada zamanya memakai Istilah “pribumisasi Islam”, agama (Islam) dan budaya memang sesuatu yang berdiri sendiri. Namun keduanya mempunyai wilayah yang tumpang tindih. Agama (Islam) bersumber dari wahyu bersifat normatif dan memiliki aturannya sendiri, cenderung permanen.
Sedangkan budaya adalah buatan manusia yang berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung selalu berubah, Istilah sederhananya seperti konsep menutup aurat dalam shalat, orang arab menutup aurat dengan cara memakai jubbah sedangkan orang Indonesia menutup aurat dengan memakai sarung dan baju takwa. Menutup aurat merupakan wilayah agama, sedangkan model menutup aurat diserahkan kepada budaya masing-masing.
Ketiga, Tuhan Tidak Perlu Dibela. Buku ini merupakan kumpulan dari kolom-kolom Gus Dur yang dimuat majalah Tempo pada kurun waktu 1970-an dan 1980-an. Kolom-kolom tersebut mewakili suatu fase dari kehidupan Gus Dur, yakni fase murni intelektual. Dari sini, dapat pula dilihat betapa luas spektrum yang menjadi konsen Gus Dur. Dalam buku ini disebutkan bahwa Tuhan itu Maha Besar, Maha segalanya jadi tidak perlu dibela yang perlu dibela adalah mereka yang diperlakukan tidak adil.
Keempat, Islam Kosmopolitan, Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. Dalam artikel-artikel yang dikumpulkan menjadi buku ini, Gus Dur menginginkan agar Islam memberikan kesempatan lebih luas kepada semua orang untuk berkarya tanpa dibatasi oleh apapun.
Buku dirangkai dengan gaya yang lugas dan mudah dipahami oleh banyak kalangan, Gus Dur sesungguhnya tengah melakukan diagnosa situasi nasional dan problem keumatan yang melalui tulisannya pula ia melempar gagasan yang berani dan konstruktif. Yang Gus Dur lakukan, tidak lain sebagai ikhtiar membingkai kehidupan bermasyarakat dan bernegara di masa depan yang lebih baik, ada jaminan hukum yang adil dan terciptanya harmonisasi di antara sesama umat manusia. Keisalaman Gus Dur dalam buku ini merekomendasikan pentingnya harmonisasi di antara sesama umat manusia, meski dengan latar belakang yang berbeda.
Baca juga:
- Persamaan Abraham Lincoln dengan Soekarno dan Gus Dur
- Bung Karno dan Gus Dur sebagai Penulis Esai
- Gus Dur Kecil, Membaca dan Bermain
Empat buku di atas saya golongkan sebagai buku yang orang di luar pesantren bisa menikmatinya. Sementara tiga buku di bawah ini, saya golongkan sangat wajib dibaca oleh kaum pesantren dan orang-orang yang menelitia dunia pesantren. Dan sangat layak tiga buku ini masuk semacam “ekskul” pesantren.
Kelima, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah. Buku ini tipis saja, hanya berisi 26 artikel Gus Dur tentang kiai, tentnag ulama, tentang guru Gus Dur, tentang teman-teman Gus Dur sesama kiai. M. SObary dalam pengantarnya menyebut buku ini sebagai “antropologi kiai”. Meskipun tipis, tapi buku ini mengabarkan kepada kita, bahwa Gus Dur demikian luas dan dalam menguasai dunianya: pesantren.
Keenam, Khazanh Kiai Bisri Syansuri. Inilah mungkin buku Gus Dur yang utuh, ditulis dengan panjang dan detil. Bicara fikih, bicara soisologi, bicara komplesitas seorang ulama, yakni Kiai Bisri Syansyuri. Di sini Gus Dur juga seperti sedang bercerita tentang leluhurnya. Buku ini termasuk tulisan awal-awal Gus Dur.
Ketujuh, Menggerakkan Tradisi Pesantren. Jika dua buku di atas mengulas dunia pesantren dari sisi kiainya, buku ini mengulas pesantren dari sisi institusinya, tradisinya, keilmuannya, yakni pesantren itu sendiri.
Masih ada beberapa buku lagi buku-buku berisi kumpulan tulisan Gus Dur, antara lain Melawan dengan Lelucon, Prisma Pemikiran Gus Dur, Mengurai Hubungan Agama dan Negara. Masih banyak buku-buku yang relevan hingga saat ini. Tema-tema agama, politik, demokrasi, seni, hingga berdebatan para ulama dibahasnya dengan menarik. Sayangnya memang, unsur humor dalam tulisan Gus Dur tidak terlalu tampak.
Di tengah membaca semua, saya kadang bertanya, buat apa Gus Dur menghabiskan waktunya menulis itu semua? Tak jarang, saya menjawab sendiri pertanyaan itu, tapi dengan pertanyaan juga, “Jangan-jangan Gus Dur menulis untuk mempersiapkan diri menjadi presiden?”
Alfatihah…
Mas, gimana bisa beli buku Gus Dur dalam beberapa judul…