Ada apa dengan Ulil Abshar Abdalla? Apakah dengan terbitnya buku Menjadi Manusia Rohani (2019), dapat ditafsirkan sebagai penanda bahwa ia kini mengalami fase transformasi pemikiran?
Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan kewajaran, sebab Ulil dikenal luas sebagai tokoh utama gerbong liberalisme Islam di Indonesia, pelopor lahirnya Jaringan Islam Liberal (JIL).
Namun sekarang, kesan itu seolah sirna, lenyap dengan sendirinya. Ulil yang dulu lantang menyuarakan pemikiran-pemikiran Islam kritis, hermeneutika Alquran, memperkenalkan pemikir-pemikir Islam kontemporer, advokasi hak-hak minoritas yang tertindas, sekarang justru lebih memilih “pasif”, cenderung menarik diri dari isu dan wacana aktual itu, sibuk oleh kopi darat (kopdar) ngaji online, di mana ia bertindak sebagai lurah pondok.
Pada diri Ulil yang kekinian, tidak lagi dijumpai pernyataan-pernyataannya yang seperti pada tahun 2002 menulis di Harian Kompas, “Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai “patung” indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah… Sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk menandingi kecenderungan ini.”
Apakah Ulil benar-benar bertransformasi, memasuki fase sufistik, atau ada yang bertanya-heran dalam bahasa teologis, apakah ia “bertaubat”? Menurut saya, dari aspek pemikiran, tidak ada yang berubah dari Ulil, min utan kayu ila era fesbukiyah (dari masa-masa di Utan Kayu hingga era facebook). Yang berubah hanyalah metode dan objek kajiannya saja. Persis seperti yang dikritik oleh A. Mustofa Bisri (Gus Mus) kala itu, yang mempersoalkan cara menantunya itu dalam menyampaikan pikiran, tetapi secara substansial masih bisa diterima.
Kontroversi dahsyat yang ditimbulkan oleh Ulil, hingga pernah difatwakan halal darahnya oleh Ketua Forum Ulama Umat Islam (FUUI), KH. Athian Ali, berbanding terbalik dengan kondisi sekarang. Ulil terlihat lebih soft mengemukakan pendapat-pendapatnya, tidak lagi memilih konfrontasi langsung dengan mereka yang berbeda pandangan, terlihat lebih bijak dan “dewasa”. Kok bisa?
Ulil pendengar dan pembaca yang baik. Dugaan saya, ia mengamalkan pesan Gus Mus, saat dulu diminta pendapat mengenai kecaman dari banyak orang kepada menantunya itu. Gus Mus mentolerir pemikiran Ulil dengan catatan, yang penting jangan berhenti membaca.
Buku Menjadi Manusia Rohani, mestinya diberi pengantar oleh Gus Mus untuk mengetahui dinamika pemikiran Ulil dari jarak dekat. Berawal dari keputusannya di tahun 2015 Ulil mengaji secara online kitab al-Hikam, karya Syekh Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari atau lebih dikenal Ibnu Atha’illah, seorang ulama sufi legendaris dari Mesir, yang hidup pada abad ke-13, membuat publik terkejut—meski keterkejutan ini sebenarnya ahistoris jika tahu latarbelakang pendidikan Ulil yang merupakan perpaduan antara santri-tradisional dengan pelajar-modern. Dan Ulil, menurut pengakuannya, sangat menikmati “sihir” teks al-Hikam (hlm. xii).
Ibnu Atha’illah merupakan mursyid (guru) generasi ketiga dalam lingkaran tarekat Syadziliyah setelah Abu al-Hasan al-Syadzili (pendiri) dan Abu al-Abas al-Mursi (generasi kedua). Ia dikenal luas sebagai seorang yang alim, bersih akhlaknya, dan luas wawasannya, meliputi bidang fikih, kalam, hadis, dan tasawuf.
Di banding karya-karya Ibnu Atha’illah yang lain, al-Hikam lebih populer dan banyak dikaji serta disyarah oleh ulama, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Ibad al-Rasyid Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad Ibnu Ajiba. Sementara di Nusantara, ada KH. Sholeh Darat, mahaguru dari ulama-ulama generasi pertama seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan.
Nama Ulil akan dicatat sejarah sebagai orang Indonesia yang berhasil melakukan syarah kepada kitab al-Hikam, meski hanya 50 bait, jauh di bawah KH. Sholeh Darat yang mencapai 137 bait, dua pertiga dari keseluruhannya. Dalam menjelaskan aforisme al-Hikam, Ulil tetap berpegang pada apa yang telah ditulis oleh Ibnu Ajibah, sambil juga melakukan improvisasi bahasa yang lebih aktual dan mileneal, sehingga penjelasannya pun terasa kontekstual.
Tentang bait ke-11 misalnya, Ibnu Atha’illah menulis, idfun wujudaka fi ardhi al-khumul fama nabata mimma lam yudfan la yatimmu natajahu (kuburlah dirimu di dalam bumi ketidak-nampakan, sebab sesuatu yang tumbuh dari benih yang tidak ditanam di balik ketidak-nampakan tidak akan sempurna buahnya. Apa makna dari aforisme ini?
Ulil menafsirkannya dengan sangat tepat, bahwa itu kebijaksanaan yang berlaku baik dalam kehidupan sufistik maupun kehidupan sehari-hari. Keberhasilan usaha seseorang biasanya dimulai dari tahap-tahap awal yang tersembunyi, ketekunan yang tak terlihat oleh orang banyak, dari tahap khumul, seperti dikatakan oleh Ibnu Atha’illah. Tanpa tahap ini, yang muncul adalah kesuksesan instan yang tak tahan lama (hlm. 73).
Sampai di sini, menyebut Ulil seorang liberal di masa lalu dan sekarang bagi saya sangat problematis. Liberal dari mana? Berbeda pendapat mengenai persoalan tertentu, yang meskipun oleh banyak orang dituduh keluar dari mainstream, tidak secara otomatis disebut liberal. Aktivitas berpikir secara radikal merupakan kreativitas yang abstrak, dan karenanya tidak bisa diberi hukuman, apalagi dianggap berdosa, sehingga menyatakan Ulil telah bertaubat tidaklah logis.
Justru apa yang dilakukan oleh Ulil sekarang, ngaji kitab sufi, merupakan pengkayaan khazanah, bagian dari ardhi al-khumul, yang semula berdimensi rasional, disempurnakan oleh unsur spiritualitas di dalam dirinya. Situasi ini, memang, sedikit berbeda dengan saat dirinya berada di puncak rasionalitas, mempopulerkan Islam liberal.
Dan saya, pecandu berat baca tulisan-tulisan Ulil sejak di pesantren. Soal setuju atau tidak, urusan lain. Kala itu, saya sering baca via rubrik Kajian Utan Kayu di Harian Jawa Pos. Cara membacanya juga sembunyi-sembunyi. Maklum, pengasuh pondok kurang merestui.
Karena itulah, meski saya sadar “perubahan” pada Ulil seperti sekarang, saya tetap rindu dengan tulisan maupun retorika lisannya era Utan Kayu, hehehe.