Sedang Membaca
Kisah Muazin di Masjid Krapyak

Lahir di Gresik, 19 Oktober 1996. Riwayat Pendidikan: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Sosiologi Agama, Pondok Pesantren Almunawwir Krapyak Yogyakarta. Aktif di Lembaga: Lingkar Studi Pengembangan Pondok Pesantren (LSP3), ISAIs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Institute For Humankind and Political Studies Yogyakarta. Media Sosial: FB: Afrizal Qosim Sholeh, IG : @afrizalqosim, Twitter: @afrizal_ahmad

Kisah Muazin di Masjid Krapyak

Mencoba dekat dengan Tuhan adalah impian setiap orang beriman. Jangankan hanya ingin dekat, memanggil-Nya dalam azan pun, terkadang diidam-idamkan. Bahkan bisa menjadi kompetisi.

Yang keliru itu ketika merasa paling dekat dengan Tuhan, lantas setiap tindak tanduknya diiringi dengan gema takbir bahkan takbiran. Di sini saya teringat kelakar Gus Dur, “Orang Islam itu boro-boro dekat dengan Tuhan, manggil namaNya saja harus pakai toa”.

Tapi ini bukan soal bersenandung enak di bawah lindungan payung azan. Sama sekali bukan. Ini persoalan penghargaan terhadap hak publik. Kalau soal berazan saja, anak kecil juga bisa.

Ada perbedaan mencolok ketika kita mencoba azan sendiri dalam kamar misalnya, dengan mengumandangkan azan di masjid.

Kedua-duanya sama-sama mengumandangkan azan, tapi yang satu di ranah privat sedangkan satu yang lain di ranah publik.

Ketika di ranah publik secara otomatis pertimbangan-pertimbangan publiklah yang fardu terlebih dahulu diselesaikan. Jadi sebelum Anda azan, mbok dikiro-kiro, apakah azan Anda sudah enak dan pantas didengarkan khalayak.

Bukan malah semestinya jika Anda langsung nyelonong menyalakan mikropon dan lantas mengumandangkan azan. Kecuali, kalau tidak terpaksa juga, misal sudah menanti lama, tapi muazin tak kunjung datang.

Kita susah menyadari bahwa telinga kita adalah organ pertama yang sanggup kita gunakan sejak pertama kali dilahirkan. Pendengaran akan merespons penglihatan serta mulut untuk bekerja. Akan sia-sia bila kita mencoba untuk menahan telinga kita untuk tidak mendengar, barang terhadap suara yang sangat lirih pun, kita tetap kesulitan.

Baca juga:  Mengenal Tradisi Bahtsul Masail di Lingkungan NU

Meskipun kita fokus pada satu hal, pasti hal lain di sekitar kita akan terdengar pula. Orang yang berbicara lebih dari lima meter, sedikit banyak akan kita dengar. Bahkan dalam kondisi tidur pun, telinga masih bisa berfungsi.

Seperti yang dialami oleh Srintil yang diceritakan oleh Ahmad Tohari dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Srintil yang meskipun dalam kondisi tubuh yang lemas, matanya  terlelap, dia tertidur di area Pasar Dawuan musabab hanyut mendengarkan Wirsiter yang sedang bersenandung Asmara Dahana. Pun ketika dia bangun, juga musabab telinganya yang memang rentan menangkap suara dari Wirsiter tersebut.

Lain dengan mata dan mulut yang bisa ditahan dan atau dibatasi fungsinya dengan menutup. Karenanya kita diazani di telinga sebelah kanan dan diiqomahi di sebelah kiri.

Pun tatkala kita sensitif lantas agresif dengan omongan orang, itu sebab kita mendengarkan. Pendengaran adalah kunci. Agresifitas kita itu bukan semata karena mereka yang berbicara. Melainkan kita yang benar-benar tidak bisa menahan telinga untuk tidak mendengar. Inilah makna puasa dalam kalibrasi pendengaran.

Sejalan dengan itu, di Krapyak ada hal yang sedemikian menarik, yang telah ada dan hampir pasti dilakukan, yaitu sikap ketidakseganan bila ada santri azan di Masjid pusat atau di sekitaran kompleks Pesantren Krapyak yang kebetulan terdengar ‘kurang nyaman’ di telinga.

Lantas azan yang terdengar seketika itu, mengundang reaksi santri lain dengan cara berkoar-koar, “Mudun kang! mudun!”, “Suoromu elek, Kang!”, “Jo baleni maneh, Kang!”, “azan nang masjid liyo wae kang!”, bahkan sindiran seperti “Azano maneh kang! azanmu enak dewe!”.

Kecaman-kecaman seperti ini wajar jika mencuat. Sebab publik merasa haknya untuk mendengar keindahan telah dirampas.

Baca juga:  Gus Dur dan Proyek Arkeologi Kebudayaan

Sebenarnya, saya dulu sempat syok dan gumun, “Ini ada orang azan kok malah dibalas kek gini. Mending dia, mau azan meskipun ya suaranya seperti itu. Daripada kalian yang hanya sanggup berkoar-koar,” batinku dulu pas awal lihat fenomena itu.

Jelas lain cerita jika azannya bagus dan enak. Umpatan-umpatan ‘macam mencegah kezaliman’ seperti itu, mustahil terdengar (Sebentar, ini bukan soal umpatannya. Tetapi soal reaksi mencegah kezaliman). Berganti dengan suasana yang tenang, adem ayem.

Bahkan, sekarang ini tidak sedikit pula, santriwati-santriwati yang kagum, hingga menjadikan azannya sebagai status di WA ataupun Instagram. Eh.

Dan tidak jarang pula, azan itu mengantarkannya pada tangga ketenaran dan fans yang melimpah ruah, seperti yang dialami teman sekamarku yang rempong ngurusi para fansnya. Hehe

Namun, keresahan itu akhirnya mendapatkan jawabannya. Pernah suatu ketika, dikala Mbah Zainal Abidin Munawwir masih hidup, ada santri azan di Masjid Krapyak, ketika azan, ekspresi dia terlihat tenang, santai, dan menjiwai. Pembawaannya terlihat seperti muazin yang sering tampil di televisi.

Tapi, ternyata di luar itu, para santri yang kebetulan kompleksnya berada di sekeliling masjid, berkoar-koar kurang bersahabat. Memekakkan. Kemudian, semua itu berubah ketika ada seorang santri yang menghampirinya tatkala ia selesai azan, dan berbicara dengan lirih,

Baca juga:  Tradisi Al-Azhar: Muazin Harus Tunanetra

“Kang, sampean dipadosi Mbah Zainal. Ken rawuh ten ndalem. Sakniki.”.

Sontak dia kaget. Ekspresinya berubah antara bingung dan sumringah.

“Wah, tumben-tumben Mbah Zainal manggil saya. Jangan-jangan mau….”

Setelah menuruti apa kata santri itu, muazin tadi beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ndalem Mbah Zainal, yang tempatnya persis bersebelahan dengan Masjid Krapyak. Tak disangka-sangka, sekembalinya dari ndalem, wajah muazin itu sangat lusuh, pucat dan diam seribu bahasa.

Usut punya usut, ternyata Mbah Zainal tidak menghendaki dia untuk azan di Masjid Krapyak lagi. Alasan Mbah Zainal kurang menghendaki azan santri itu antara lain: Pertama, kurang sepaham dengan makhorijul huruf-nya.

Kedua, kualitas suaranya tidak untuk konsumsi umum. Ya bagaimana lagi, mafhum mukholafah-nya demikian, azan merupakan panggilan salat. Jika panggilan menyerukan sembahyang tersebut kurang menarik perhatian, jangan salahkan bila masyarakatnya pun enggan menerima panggilan tersebut.

Masjid pun menjadi sepi. Nah, dari sini persoalan azan pun, harus memafhumi publik.

Belajar dari peristiwa itu, istri Mbah Zainal yakni Ibu Nyai Ida Fatimah Zainal pun melakukan semacam penashihan bagi para calon muazin di Masjid Krapyak hingga saat ini. Semacam tes untuk bisa menjadi muazin tetap di Krapyak.

Diam-diam, musabab ini pula yang membuat saya menghindar untuk mengumandangkan azan di Masjid Krapyak lagi. Saya menyadari, ternyata tidak mudah menjadi muazin Masjid Krapyak. Lahul fatihah! (atk)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top