Mu'arif
Penulis Kolom

Pengkaji sejarah Muhammadiyah, kini menempuh program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Meluruskan Sejarah Muhammadiyah

Berdasarkan statuten (anggaran dasar) 1912, persyarikatan Muhammadiyah lahir pada 18 November 1912 M atau bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 H. Dalam hitungan kalender Hijriyah, usia genap seabad Muhammadiyah jatuh pada 1 Dzulhijjah 1430 Hijriyah (18 November 2009). Kini, dalam hitungan Hijriyah, Muhammadiyah telah memasuki usia 110 tahun.

Dalam hitungan kalender Masehi, Muhammadiyah kini telah berusia 107 tahun. Selama sepuluh tahun di awal abad kedua, ternyata masih banyak ditemukan sisi-sisi gelap sejarah Muhammadiyah. Salah satu di antaranya adalah problem penetapan kelahiran organisasi sosial-keagamaan modernis tertua di negeri ini.

Kelahiran Muhammadiyah

Pada awal Desember 1912, K.H. Ahmad Dahlan, Khatib Amin masjid gedhe Yogyakarta, meminta bantuan kepada Raden Sosrosoegondo, guru bahasa Melayu di Kweekschool Jetis, untuk membuatkan rancangan statuten sebuah perkumpulan. Pada tanggal 20 Desember 1912, rechtspersoon yang dilampiri rancangan statuten tersebut diajukan kepada pemerintah kolonial Belanda lewat bantuan pengurus Boedi Oetomo cabang Yogyakarta.

Pada akhir Desember 1922, Khatib Amin dan murid-muridnya mendeklarasikan perkumpulan tersebut di gedung Loodge Gebouw Malioboro (gedung DPRD DIY—menurut keterangan A.R. Fakhruddin). Di kemudian hari, perkumpulan tersebut dikenal dengan nama “Muhammadiyah.”

Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg menyikapi pendirian Muhammadiyah secara hati-hati. Dalam Statuten Muhammadiyah (versi draf pertama) disebutkan pada artikel 2, 4, dan 7 bahwa ruang gerak dan sasaran perkumpulan ini meliputi ”Jawa dan Madura.” Pada tanggal 21 April 1913, Liefrinck (Residen Yogyakarta) memberikan saran agar kata ”Jawa dan Madura” diganti dengan ”Residensi Yogyakarta” saja.

Pada tanggal 26 Januari 1914, Rinkes, Adviseur voor Inlandsche Zaken, juga memberikan saran sama. Tetapi Rinkes memberi peluang, jika Muhammadiyah akan membentuk cabang-cabang baru, hendaknya supaya mengajukan permohonan izin baru. Pada tanggal 19 Maret 1914, Direktur Van Justitie juga memberikan pendapat sama.

Baca juga:  Kisah Abdul Kahar Mudzakkir dari Sudut Pandang NU

Setelah melewati proses surat-menyurat selama 20 bulan, Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg mengeluarkan besluit tanggal 22 Agustus 1914. Berdasarkan Statuten 1912, Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912 Masehi atau 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah (Mustafa Kamal Phasa dan Adabi Darban, 2000: 116).

Sebagaimana janji Rinkes, apabila perkumpulan Muhammadiyah bermaksud akan mendirikan cabang-cabang baru di luar Residensi Yogyakarta, maka harus mengajukan surat izin baru kepada pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1914, dalam Statuten Muhammadiyah kedua (1914), ruang lingkup gerakan Muhammadiyah sudah meliputi seluruh tanah ”Hindia-Nederland.”

Sejak rechtspersoon diajukan kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda (1912), status perkumpulan ini belum legal, masih mengambang. Walaupun demikian, K.H. Ahmad Dahlan dan murid-muridnya tetap memberanikan diri mendeklarasikan perkumpulan ini di Loodge Gebouw Malioboro (akhir Desember 1912). Setelah melewati proses korespondensi selama 20 bulan, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda mengeluarkan besluit tanggal 22 Agustus 1914 sebagai bukti legalitas organisasi ini.

Itulah catatan proses kelahiran Muhammadiyah yang pada mulanya hanya sebatas perkumpulan dengan ruang lingkup “residensi Yogyakarta (Statuten 1912) hingga meluas menjadi seluruh “Hindia-Nederland” (Statuten 1914).

Kontroversi

Selama ini, deklarasi yang digelar pada akhir Desember 1912 di Loodge Gebouw Malioboro tidak pernah dianggap sebagai kelahiran (milad) Muhammadiyah. Kelahiran Muhammadiyah tetap mengacu pada besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 22 Agustus 1914. Dalam Statuten 1912 (artikel 1) disebutkan bahwa organisasi ini didirikan pada tanggal 18 November 1912 (bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 H).

Baca juga:  Tidak Ikut Muhammadiyah? Tidak Nahdlatul Ulama?

Dalam setiap forum musyawarah tertinggi di Muhammadiyah, terhitung sejak algemeene vergadering 1914 di Yogyakarta hingga muktamar ke-45 di Malang (2005), pasal ini hanya sekedar ditetapkan tanpa diubah sama sekali. Padahal, sewaktu Raden Sosrosoegondo membantu merancang dan menulis draf Statuten Muhammadiyah (dalam bahasa Melayu dan Belanda), K.H. Ahmad Dahlan dan murid-muridnya belum menentukan waktu kelahiran organisasi ini.

Lantas, atas dasar apakah penetapan tanggal 18 November 1912 sebagai kelahiran Muhammadiyah?

Berdasarkan hasil wawancara Adabi Darban dengan Haji Djilli (1988), pelaku sejarah Muhammadiyah di Kauman, penentuan tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H) dalam Statuten Muhammadiyah 1912 atas dasar “kesepakatan bulat.”

Akan tetapi, “kesepakatan bulat” atas dasar apakah dalam proses penentuan kelahiran Muhammadiyah ini?

Sampai sejauh ini, para pimpinan, aktivis, dan warga Muhammadiyah tidak pernah bisa menjawab pertanyaan ini. Jika memang arti “kesepakatan bulat” dianggap sebagai keputusan terkuat untuk menentukan kelahiran organisasi ini, lantas peristiwa atau momentum apakah yang telah membulatkan kesepakatan di antara K.H. Ahmad Dahlan dan murid-muridnya?

Sebuah sumber dari salah seorang pengurus Majlis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memberikan jawaban alternatif terhadap pertanyaan ini. Menurutnya, sejarah kelahiran harus diukur menggunakan standar kalender Hijriyah, yaitu tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H (padahal dalam Statuten 1912 tanggal 18 November 1912).

Menurut sumber ini, penetapan tanggal 8 Dzulhijjah dipilih sebagai hari kelahiran Muhammadiyah agar memudahkan dalam proses mengingatnya. Sebab, tanggal tersebut merupakan momentum penting menjelang “Hari Arafah” (hari wukuf di padang Arafah dalam ibadah haji).

Baca juga:  Abu Bakar Ash-Shuli, Ulama Sekaligus Grandmaster Catur

Jawaban ini jelas terlalu memudahkan arti penting penetapan sejarah kelahiran Muhammadiyah yang hanya sebatas untuk memudahkan dalam mengingatnya. Jawaban ini juga tidak memiliki relevansi antara peristiwa wukuf di padang Arafah dengan konteks historis kehidupan bangsa Indonesia yang sedang memasuki masa kebangkitan nasional.

Kemerdekaan bangsa Indonesia adalah titik tonggak sejarah menuju tatanan masyarakat yang memiliki identitas sendiri. Kesadaran nasionalisme sebagai bangsa merdeka, secara berangsur-angsur, telah mendekonstruksi segala pola pikir, norma-norma, dan tradisi peninggalan kolonial.

Terhitung sejak tahun 1957, para ilmuwan di tanah air telah melakukan kerja besar, berdasarkan kesadaran nasionalisme sebagai bangsa merdeka, untuk melakukan pengkajian dan penulisan ulang historiografi Indonesia. Muhammadiyah sebagai bagian dari elemen pembentuk bangsa ini, tentu harus mengikuti pula ikhtiar mengkaji dan menulis ulang sejarahnya sendiri.

Jika penentuan kelahiran Muhammadiyah masih berdasarkan pada besluit Gubernur Jenderal Hindia-Belanda tanggal 22 Agustus 1914, maka sejarah kelahiran organisasi ini masih menggunakan asas atau legalitas kolonial. Sama artinya Muhammadiyah masih menggunakan perspektif kolonialisme dalam memahami sejarahnya sendiri.

Kenyataan ini sangat ironis karena Muhammadiyah sebagai salah satu elemen pembentuk bangsa ini memiliki kontribusi besar dalam proses kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, sebagai wacana pra muktamar yang bakal digelar di Solo tahun depan, para intelektual dan aktivis Muhammadiyah perlu mempertimbangkan momentum Deklarasi Malioboro sebagai titik tolak kelahiran organisasi ini.

Dengan segala kontroversinya, selamat milad ke-110 (dalam Hijriah) Muhammadiyah….

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top