Pendiri Tarekat Dasuqiyah adalah Syaikh Ibrahim bin Abd al-‘Aziz al-Dasuqi al-Quraisyi. Beliau lahir di Dasûq, Mesir pada tahun 653 H/1255 M dan wafat di Damaskus, Suriah pada tahun 696 H/1296 M pada usia sangat muda yaitu 43 tahun (A’lâm al-Shûfiyah, halaman 514-515).
Ibu beliau bernama Fâtimah binti Abû al-Fath al-Wasithi salah seorang waliyullah yang termasuk sahabat dari Syaikh Ahmad al-Rifa’i pendiri tarekat Rifa’iyah, salah seorang guru dari Abul Hasan al-Syadzili, (A’lâm al-Shûfiyah, halaman 514).
Secara lengkap silsilah beliau adalah Ibrahîm bin Abû al-Majd bin Quraisy bin Muhammad bin Abû al-Najâ’ bin Zain al-‘Abidîn bin ‘Abd al-Khâliq bin Abû al-Qâsim bin Ja’far al-Zaki bin ‘Ali bin Muhammad al-Jawâd bin ‘Ali al-Ridhâ bin Mûsa al-Kâzhim bin Imam Ja’far al-Shâdiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali al-Zâhid bin ‘Ali Zain al-‘Abidîn bin Husain bin ‘Ali bin Abû Thâlib al-Qursyi al-Hasyimi, (al-Thabâqat al-Kubra, halaman 256).
Konon, semenjak dalam buaian ibunya, beliau sudah berpuasa. Pada usia tujuh tahun sudah mampu melihat Lauh Mahfudz, bahkan beliau juga mampu mencapai Sidratul Muntaha, (al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 2, halaman 97).
Ikhwal Tarekat Dasuqiyah
Ibrahim al-Dasuqi mempelajari tarekat dari beberapa masyayikh imam tarekat besar diantaranya Nuruddîn ‘Abd al-Shamad al-Nazhari dan juga Abu Hasan al-Syadzili.
Tarekat Dasuqiyah biasa pula disebut Tarekat Ibrahimiyah, sebutan yang berasal dari nama pendirinya Ibrahim. Juga biasa disebut Tarekat Burhaniyah, sebutan yang berasal dari nama panggilan Ibrahim al-Dasuqi, yaitu Burhanuddin.
Pada mulanya Ibrahim al-Dasuqi adalah murid setia Abu al-Hasan Ali al-Syadzili (w. 1258 M), pendiri Tarekat Syadziliyah. Ia belajar kepada al-Syadzili bersama Abul Abbas al-Mursi (pengganti al-Syadzili, w. 1287 M) sampai memperoleh ijazah untuk mengajarkan tarekat Syadziliyah.
Kehausan jiwanya untuk mereguk piala kerohanian membuat ia tidak puas mempelajari satu tarekat saja. Oleh sebab itu, ia pun mempelajari Tarekat Ahmadiyah kepada pendirinya, Sayyid Ahmad al-Badawi (Maroko, w. 1276 M), yang bertempat tinggal di Thanta (Mesir), sehingga ia pun memperoleh ijazah untuk mengajarkan tarekat ini.
Bahkan ia mempelajari Tarekat Rifa’iyah yang sedang popular di Mesir ketika itu, terutama sekali karena keunikannya dalam mengajarkan permainan debus dan kekebalan terhadap benda-benda tajam. Tarekat Rifa’iyah dipelajari al-Dasuqi dari Abul Hasan Ali al-Syadzili, yang mempelajari tarekat ini dari kakek al-Dasuqi sendiri, yaitu Abul Fath al-Wasithi (w. 1234 M).
Di samping itu, al-Dasuqi juga mempelajari tarekat itu dari Sayyid Ahmad al-Badawi, yang menerima baiat tarekat ini secara langsung dari pendirinya Syaikh Ahmad bin Alî Abû al-‘Abbas al-Rifa’i. Menurut sebuah sumber, al-Dasuqi juga mempelajari Tarekat Suhrawardiyah dari Najmuddin Mahmud al-Isfahani, seorang sufi dari Isfahan.
Dari kajian panjang tentang tarekat yang telah dipelajarinya itu, al-Dasuqi merumuskan tarekat tersendiri, yang mengajarkan zikir, doa, dan hizib (sejenis wirid) yang dirangkainya sendiri. Ajaran inilah yang disebut Tarekat Dasuqiyah. Tarekat ini berkembang di Mesir dan pada abad ke-19 telah meluas ke Suriah, Hijaz, dan Hadhramaut.
Dari tarekat ini kemudian muncul sempalan, yaitu Syarnubiah dan Sa’idiyah Syarnubiyah. Dewasa ini Tarekat Dasuqiyah masih didapati di wilayah tersebut di atas dan masih mendapat banyak pengikut di Mesir.
Salawat Dasuqiyah
Syaikh Ibrahim al-Dasuqi juga meninggalkan beberapa shalawat di antaranya Shalawat Dzatiyah Ahadiyah:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى الذَّاتِ الْمُحَمَّدِيَّةِ اللَّطِيْفَةِ الْأَحَدِيَّةِ شَمْسِ سَمَاءِ الْأَسْرَارِ وَمَظْهَرِ الْأَنْوَارِ وَمَرْكَزِ مَدَارِ الْجَلاَلِ وَقُطْبِ فَلَكِ الْجَمَالِ اللَّهُمَّ بِسِرِّهِ لَدَيْكَ وَبِسَيْرِهِ إِلَيْكَ أَمِنْ خَوْفِيْ وَأَقِلَّ عَثْرَتِيْ وَأَذْهِبْ حُزْنِيْ وَحِرْصِيْ وَكُنْ لِيْ وَخُذْنِيْ إِلَيْكَ مِنِّيْ وَارْزُقْنِيْ الْفَنَاءَ عَنِّيْ وَلَا تَجْعَلْنِيْ مَفْتُوْنًا بِنَفْسِيْ مَحْجُوْبًا بِحِسِّيْ وَاكْشِفْ لِيْ عَنْ كُلِّ سِرٍّ مَكْتُوْمٍ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ
Nasihat-nasihatnya yang masyhur:
- Di antara yang wajib bagi murid adalah penelaahan terhadap sesuatu yang di dalamnya terdapat manâqib para shalihin dan peninggalan-peninggalan mereka berupa ilmu dan amal.
- Barangsiapa yang tidak bersifat ‘iffah (menjaga kehormatan diri), bersih dan mulia, maka dia bukanlah anakku walau dari tulang rusukku
- Barangsiapa yang menetapi tarekat, agama, zuhud, wira’i dan sedikit tamak, maka dialah anakku sekalipun dari negeri yang jauh
- Demi Allah swt., tidaklah seorang murid itu benar-benar mahabbahnya kepada tarekat kecuali akan tumbuh hikmah di dalam hatinya.
Itulah antara lain wasiatnya kepada para muridnya, yang merupakan pondasi tarekatnya, di samping sejumlah zikir, wirid, dan doa untuk taqarrub kepada ‘Allâm al-Ghuyûb (Allah).