Sedang Membaca
Tidak Fanatik di Tahun Politik: Belajar dari “Ahlul Kitab”
Muchammad Qosim FN
Penulis Kolom

Lahir di Lamongan, 5 Juli 1998. Saat ini mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan belajar jurnalistik di komunitas Baitul Kilmah Yogyakarta. Dua bukunya Biografi Ustadz Abdul Somad (Melvana: 2019) dan Biografi Tuan Guru Bajang Zainul Majdi (Istana Agency: 2018)

Tidak Fanatik di Tahun Politik: Belajar dari “Ahlul Kitab”

Tahun 2019 disebut-sebut sebagai puncak tahun politik. Sebelumnya, tahun 2018 juga dikatakan tahun politik, karena momen pemilihan kepada daerah (pilkada) di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten secara langsung. Mengapa disebut puncak? Tentu, karena pada tahun 2019 ini digelar pesta demokrasi untuk memilih presiden dan wakil presiden. Perhelatan itu tidak hanya menghangatkan namun memanaskan jagat perpolitikan Tanah Air.

Menurut Yudi Latif,  saat ini bangsa Indonesia sepertinya sedang memasuki peradaban dangkal, yang senang memuja apa yang terlihat luar biasa, meski penuh kepalsuan. Pasalnya, Dinamika komunikasi politik Indonesia saat ini diwarnai oleh gambaran buram yang dipenuhi oleh perilaku aktor politik yang nyaris mendominasi kita setiap detik, setiap menit, setiap jam, bahkan setiap hari dengan mengumbar kata-kata bohong, meniru-niru, membujuk, dan seringkali tidak memberi inspirasi bermakna.

Realitas politik yang seperti ini menjadikan masyarakat awam bingung dalam memaknai realitas yang nyata atau maya. Asli atau manipulatif dalam dunia yang melebur penuh kegaduhan yang disumbang oleh para politisi. Belum lagi konflik yang berkembang di media sosial. Betapa mudahnya aktor politik mengumbar makian, umpatan dan kata-kata kotor lainnya hanya untuk mengungkapkan perbedaan pandangan, pendapat, bahkan orientasi politiknya terhadap lawannya yang seolah tanpa norma dan aturan.

Bukan hanya perilaku dari aktor politik yang harus diperhatikan. Para pendukung mereka pun harus diamati. Karena, dari sinilah awal munculnya sikap fanatik, yaitu fanatik terhadap dukungannya/golongannya (aktor politik) itu. Seseorang yang sudah bersikap fanatik (ta’ashub) terhadap dukungannya (ta’ashub hizbi) cenderung akan berafiliasi (menisbatkan diri) kepadanya.

Mereka akan mensifati dukungan/golongannya tersebut dengan kesempurnaan, kesakralan, dan seolah terjaga dari kesalahan. Mereka mengagung-agungkannya, serta menyebutkan kelebihan-kelebihannya, serta menyerang siapa pun yang dianggap lawannya dengan menyebutkan keburukan, kecacatan, dan merendahkannya.

Baca juga:  Siapkah Kita Menjadi Muslim?

Dijelaskan dalam teori psikologi, sikap fanatik bermula dari rasa kagum terhadap suatu dukungan/golongan, kemudian membanggakan kelebihannya. Perasaan ini kemudian berkembang sedemikian rupa hingga ia menjadi frustasi. Frustasi akan menumbuhkan rasa takut dan tidak percaya kepada lawannya.

Selanjutnya, perasaan itu berkembang menjadi rasa benci terhadap lawannya. Sebagai orang yang merasa terancam, maka secara psikologis mereka terdorong untuk membela diri dari ancaman, dan dengan prinsip lebih baik menyerang lebih dahulu daripada diserang, maka orang itu menjadi agressif. Sikap ini merupkan perwujudan dari egoisme yang sempit.

Rasulullah: Jangan Fanatik

Dalam kitab Al-Ghuluw Wa Atsaruhu Fil Irhab Wal Mujjtama’ (Fanatisme dan dampaknya terhadap teror masyarakat) karya Sayyid Muhammad Al-Malik yang diterbitkan sendiri sebanyak 78 halaman, dijelaskan bahwa sikap fanatik itu sudah mengakar sejak umat terdahulu. Rasulullah sendiri juga selalu mengingatkan umatnya untuk tidak bersikap fanatik dalam beragama maupun berpolitik dan agar belajar dari kesalahan umat sebelumnya (ahlul kitab) yang celaka karena bersikap fanatik terhadap dukungan/golongannya (HR. Ahmad).

Sayyid Muhammad Al-Maliki memberikan contoh mengenai praktik sikap fanatik yang pernah terjadi di masa hidup Rasulullah agar dijadikan pelajaran hidup untuk umat zaman sekarang.  Disebutkan dalam Shahih Bukhari, suatu hari ada tiga orang laki-laki mendatangi rumah Nabi Muhammad SAW. Mereka datang hendak menanyakan tentang ibadah beliau.

Begitu dikabari, mereka terkejut setelah mengetahui bahwa ibadah yang dijalankan Rasulullah ternyata tak seperti yang mereka bayangkan. Orang pertama berkata, “aku selalu salat sepanjang malam setiap hari”. Dan kedua, berkata “aku selalu berpuasa setiap hari tanpa berbuka”, dan yang ketiga, berkata “aku menjauhi wanita dan tidak menikah”.

Baca juga:  Musyawarah Sufi di Meja Makan

Mereka berpikir bahwa ibadah mereka melawan nafsu benar-benar maksimal dan menganggapnya sebagai sebuah kebaikan. Rasulullah kemudian mendatangi mereka dan berkata,

Apakah kalian yang mengatakan telah berbuat begini dan begitu? Demi Allah, aku adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian dan paling takut kepada Allah. Meski begitu, aku berpuasa lalu berbuka, salat malam juga beristirahat, dan aku juga menikah. Maka siapa saja yang membenci jalan (sunnahku) bukanlah termasuk golonganku” (Hadist 5063 Tentang Anjuran Untuk Menikah)”.

Bersungguh-sungguh dalam beribadah  merupakan perintah syariat seperti yang sudah dijelaskan dalam Alquran surat Al-Ahzab ayat 41-42 dan Al-Ankabut ayat 69. Namun perlu digaris bawahi, Hadis tersebut menekankan umat Islam agar tidak berlebihan dalam beribadah hingga melalaikan tuntutan kebutuhan hidup lainnya. Bagaimana pun, keseimbangan hidup merupakan hal penting yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Apabila seseorang telah bersikap fanatik terhadap dukungan/golongannya, maka dikhawatirkan akan timbul perpecahan, permusuhan, saling fitnah, saling membenci, dan hal negatif lainnya. Lebih mirisnya lagi, apabila itu terjadi antara sesama umat muslim itu sendiri. Jika hal ini terus dibiarkan menjamur, maka dapat dipastikan sikap toleransi antar sesama akan menjadi pudar dan akan mengakibatkan lemahnya persatuan dan kesatuan umat Islam.

Menurut Webster’s New American Dictionary, arti toleransi adalah liberty toward the opinions of others, patients with others (memberi kebebasan atau membiarkan) pendapat orang lain, dan berlaku sabar menghadapi orang lain. Pentingnya sikap toleransi antar umat sudah di tegaskan Rasulullah, “Irhamuu man fil ardhi yarhamukum man fis sama’i” (sayangilah orang yang ada di bumi, maka akan sayang pula mereka yang di langit kepadamu).

Baca juga:  Kitab Tafsir tanpa Huruf Bertitik

Bersikap toleran antarumat Islam dan antaragama di tahun politik ini sangat penting guna membangun persatuan dan kesatuan. Hal itu juga menjadi modal yang cukup bagus sebagai pondasi kejayaan Islam.

Hugh Kennedy menguraikan sesuatu yang menarik dalam pengantar bukunya The Great Arab Conquest How The Spread of Islam Changed the World We Live In. Pada tahun 680-an, seorang pendeta bernama John Bar Penkaye sedang mengerjakan ringkasan tentang sejarah dunia di biaranya di tempat terpencil yang berada di tepi sungai Tigris yang mengalir deras, di pegunungan yang kini disebut Turki Tenggara.

Ia tertunduk tegun dan merenung setelah mengetahui perihal sejarah penaklukan bangsa Arab di Timur Tengah. Bagaimana bisa, orang-orang tanpa senjata, beruda tanpa baju baja atau perisai, berhasil memenangkan pertempuran dan berhasil meruntuhkan semangat kebanggaan diri orang-orang Persia.

Ia semakin terjekut, bahwa dalam periode yang singkat seluruh dunia diambil alih orang-orang Arab. Mereka menguasai seluruh kota yang dikelilingi benteng, mengambil alih pengawasan dari laut ke laut, dan dari Timur ke Barat meliputi Mesir, Suriah dan Persia.

Apa kuncinya? Kunci dari keberhasilan orang-orang Arab waktu itu adalah toleransi dan memberikan semangat satu sama lain walaupun berbeda latar belakang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top