Sedang Membaca
Qiraah Sab’ah 7: Imam Hamzah dan Kisah Mimpinya
M. Tholhah Alfayad
Penulis Kolom

Lahir 15 Agustus 1996. Pendidikan: alumni Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Lirboyo, Kediri. Sedang menempuh S1 Jurusan Ushuluddin Univ. Al Azhar al Syarif, Kairo, Mesir. Asal Pesantren An Nur I, Bululawang, Malang, Jawa Timur.

Qiraah Sab’ah 7: Imam Hamzah dan Kisah Mimpinya

Cf8e4050 E33b 4c6d A233 32612940bbc4

Imam Hamzah adalah salah satu pendiri qiraah sab’ah. Nasab beliau adalah Imam Hamzah bin Hubaib bin Ammarah bin Ismail. Imam Hamzah lahir di kota Kuffah pada tahun 80 H. Dirunut dari silsilah keluarga, Imam Hamzah masih tergolong sepupu dari Imam Abu Hanifah, pendiri madzhab Hanafi dalam ilmu Fiqh.

Imam Hamzah berprofesi sebagai pedagang minyak zaitun karena itu beliau dikenal dengan Hamzah Az-Zayyat (sang penjual minyak zaitun). Tak jarang Imam Hamzah menjajakan minyak zaitun dari perkotaan negeri Iraq hingga daerah Hulwan. Dalam beberapa beberapa kesempatan, Imam Hamzah menjual keju dan wortel dari daerah Hulwan ketika singgah di kota Kuffah.

Imam Hamzah mengambil sanad Al-Qur’an diantaranya kepada Sulaiman al-‘Amasy, Thalhah bin Mashrif, Abu Ishaq as-Sabi’i, Ibnu Abu Laila, Himran bin A’yun, dan Ja’far ash-Shadiq.

Diantara muridnya yang paling dicintainya adalah Sulaim bin Isa. Kelak, Sulaim bin Isa inilah yang akan mengajarkan qiraah warisan imam Hamzah az-Zayyat.

Hamzah seringkali larut dalam isak tangis. Kala Sulaim bin Isa bertamu padanya, kedua pipi Hamzah basah dengan air mata. “Mengapa engkau menangis, Guru?”

“Aku sedang memohon perlindungan kepada Allah.”

Sulaim bin Isa masih penasaran, “Apa yang membuatmu sedemikian takut dan sedih?”

“Semalam, aku bermimpi seolah-olah hari kiamat benar-benar terjadi.”

Kemudian diceritakannya mimpi yang panjang itu:

“Saat itu, dipanggil lah seluruh Ahlul Quran. Termasuk diriku. Dalam sayup-sayupnya kegelapan terdengar suara yang menggelegar, ‘Jangan ada seorang pun dari ahlul Quran yang masuk surga kecuali mereka yang mengamalkan isi Al-Qur’an.’

Baca juga:  Catatan Perjalanan Ibnu Jubair: Inklusifitas Mazhab Fikih di Masjidil Haram (4-Habis)

Mendengar suara itu, bergetar seluruh tubuhku. Hingga kemudian dipanggil namaku, ‘Di manakah Hamzah az Zayyat?’

Tiba-tiba seorang malaikat datang kepadaku. Ia berjalan dengan tergesa-gesa dan memberi perintah padaku, ‘Katakan,لبيك اللهم لبيك (aku mendatangi panggilanmu duhai tuhanku).’

Aku pun mengucapkannya sesuai yang ia perintahkan.

Setelahnya, malaikat itu memasukkanku ke dalam sebuah rumah. Aku mendengar di dalam rumah itu gemuruh suara bacaan Al-Qur’an. Saat itu, sungguh aku terheran-heran, tubuhku bergemetar. Aku mendengar seorang mengatakan kepadaku, ‘Jangan takut, bacalah Al-Qur’an dan naiklah ke derajat tertinggi.’ Aku pun membalikkan wajahku—seketika itu—aku berada di sebuah mimbar yang sangat indah: terbuat dari permata, tangganya dari Zabarjad hijau, kedua penyangganya dari Yaqut kuning.

‘Bacalah Al-Qur’an dan naiklah ke derajat tertinggi.’ Maka naiklah derajatku. Suara itu berturut-turut memberi perintah padaku. ‘Bacalah surah al An’am.’ Kubaca surah itu. Hingga pada ayat (وهو القاهر فوق عباده) terdengar suara, ‘Wahai Hamzah, bukankah aku (Allah) dzat yang berkuasa atas hamba-hambaku?’

Kujawab, ‘Benar, wahai tuhanku,’ lalu kuselesaikan bacaanku.

‘Bacalah Al-Qur’an,’ perintah itu kembali menggema. Kubaca surah al ‘Araf. Saat sampai di akhir surah al ‘Araf, aku bersiap hendak melakukan sujud tilawah.

Suara itu datang kembali, ‘Cukuplah bagimu. Kepada siapa engkau membaca Al-Qur’an?’

Baca juga:  Bahaya Belajar Al-Qur'an Tanpa Guru: Rasulullah Saja Berguru

‘Dari Sulaiman.’

‘Sungguh benar (bacaan Sulaiman). Lalu kepada siapakah Sulaiman membaca Al-Qur’an?’

‘Kepada Yahya.’

‘Sungguh benar (bacaan Yahya). Lalu kepada siapakah Yahya membaca Al-Qur’an?’

‘Kepada Abi Abdurrahman as Sulami.’

‘Benar. Lalu kepada siapakah Abi Abdurrahman as Sulami membaca Al-Qur’an?’

‘Kepada putra paman nabimu, Ali bin Abi Thalib.’

‘Benar. Lalu kepada siapakah Ali bin Abi Thalib membaca Al-Qur’an?’

‘Kepada nabimu Muhammad Saw.’

‘Kepada siapakah nabiku membaca Al-Qur’an?’

‘Kepada malaikat Jibril.’

Ketika tiba pada pertanyaan terakhir, ‘Dari siapakah Jibril mengambil bacaan Al-Qur’an?’ aku terdiam.

Dikatakan kepadaku, ‘Katakanlah wahai Hamzah, ‘dari engkau (Allah), malaikat jibril mengambil bacaan Al-Qur’an.’

Lalu kuucapkan kalimat yang diperintahkan itu. Suara itu kemudian menjawabku, ‘Sungguh benar engkau wahai Hamzah. Telah menjadi hak Al-Qur’an agar aku memuliakan ahlul quran. Terlebih kepada ahlul quran yang mengamalkan isi Al-Qur’an.’

‘Wahai Hamzah,’ lanjut suara itu, ‘Al-Qur’an adalah kalamKu. Dan aku tak mencintai seseorang pun melebihi kecintaanku kepada ahlul quran.’

‘Wahai Hamzah, kabarkanlah rasa cintaku ini kepada ahlil quran dan kebaikan yang akan aku berikan kepada mereka. Sungguh mereka adalah golongan yang mulia nan terpilih.’

‘Wahai Hamzah, demi kemulianKu dan keagunganKu, sungguh tak akan pernah aku siksa lisan-lisan yang membaca Al-Qur’an dengan api neraka. Tak akan pernah kusiksa hati yang terisi Al-Qur’an. Tak akan pernah kusiksa telinga-telinga yang khusyuk mendengar Al-Qur’an. Tak akan pernah kusiksa mata yang melihat Al-Qur’an.’

Baca juga:  Kebahagiaan Sang Eco-Fascism di Tengah Pandemi Covid-19

Suara itu lalu mengakhiri penghormatannya kepada ahlul quran, ‘Sungguh aku tinggikan mereka dengan setiap ayat-ayat Al-Qur’an.’

“Wahai Sulaim,” Hamzah mengakhiri ceritanya. “Bagaimana mungkin aku tak menangis dan tersungkur setelah bermimpi seperti ini?”

Imam Hamzah memiliki derajat keistimewaan seperti ini karena perjuangan kerasnya dalam mempelajari Al-Qur’an. Ia memiliki prinsip yang sangat kuat, yang tidak bisa ditolerir.

Ia pernah berkata, “Sungguh melatih ketepatan (tahqiq) bacaan Al-Qur’an mempunyai batasan. Seperti halnya kulit yang putih terlihat indah. Tetapi bila berlebihan (terlalu putih) akan terlihat buruk laksana kulit yang terkena penyakit barash (penyakit belang).”

Imam Hamzah az-Zayyat akhirnya wafat pada umur 76 tahun. Beliau dimakamkan di daerah Hulwan pada tahun 156 Hijriah. Hingga berabad-abad lamanya makam Imam Hamzah selalu ramai diziarahi oleh umat Islam di negera Iraq.

Dari kisahnya, Imam Hamzah adalah seorang yang sangat bersahaja tapi sangat dirindukan oleh penduduk langit. Dimana sangat banyak seseorang yang sangat sederhana hidupnya di atas bumi tapi ketika ia menengadahkan tangan langit pun secepat kilat mengabulkan doanya. Semoga kisah hidup Imam Hamzah bisa menjadi teladan bagi kita semua. (RM)

Referensi:
Kitab Tahdzib al-Kamal karya Imam al Muhaddits al Mizzi.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top