Takwa adalah merasa takut untuk melakukan hal/perbuatan yang dilarang oleh Allâh SWT, sehingga memilih untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan oleh Allâh SWT.
berikut ini adalah macam-macam perilaku orang yang takwa:
وَالتَّقْوَى وَهِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: تَقْوَى الْعَامِّ بِالِّلسَانِ وَهُوَ إِيْثَارُ ذِكْرِ مَنْ لَمْ يَزَلْ وَلَا يُزَالُ عَلَى ذِكْرِ مَنْ لَمْ يَكُنْ فَكَانَ، وَتَقْوَى الْخَاصِّ بِاْلأَرْكَانِ وَهِيَ إِيْثَارُ خِدْمَةِ مَنْ لَمْ يَزَلْ وَلاَ يُزَالُ عَلَى خِدْمَةِ مَنْ لَمْ يَكُنْ فَكَانَ، وَتَقْوَى اْلأَخَصِّ بِالْجِنَانِ وَهِيَ إِيْثَارُ مَحَبَّةِ مَنْ لَمْ يَزَلْ وَلاَ يُزَالُ عَلَى مَحَبَّةِ مَنْ لَمْ يَكُنْ فَكَانَ. (جامع الأصول في الأولياء، ص 76)
Taqwâ ada tiga macam. Takwanya orang awam dengan lisan, yaitu lebih mendahulukan menyebut Allâh daripada menyebut makhluk. Takwanya orang khash dengan anggota tubuh, yaitu lebih mendahulukan untuk melayani Allâh daripada melayani makhluk. Takwanya orang akhash dengan hati, yaitu lebih mendahulukan cinta kepada Allâh daripada cinta kepada makhluk, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 76).
Syaikh Abû Yazîd berkata jika seorang laki-laki telah menghamparkan sajadahnya di atas air, dan duduk bersila di atas udara, maka janganlah kamu terperdaya hingga kamu melihat bagaimana dia menjalani perintah dan menjauhi larangan Allâh SWT, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 280).
Tangisan Orang yang Takut kepada Allâh
Menangis karena takut kepada Allâh memang benar adanya, dan hal itu dijelaskan di dalam Alquran;
وَيَـخِرُّوْنَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعًا (الإسراء: ١٠٩)
“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu‘”, (Q.S. al-Isra’: 109).
خَرُّوْا سُجَّدًا وَبُكِيًّا (المريم: ٥٨).
Mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis, (Q.S. Maryam: 58).
Dan berikut ini adalah penjelasan Nabî SAW ketika ditanya tentang perihal keselamatan dan tangisan.
وَقَالَ أَبُوْ أُمَامَةُ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَاالْنَجَاةُ؟ فَقَالَ:(أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ، وَلِيَسَعْكَ بَيْتَكَ، وَابْكِ عَلَى خَطِيْئَتِكَ)، وَقَالَ عَلَيْهِ وَالسَّلَامِ: (حُرِّمَتْ النَّارُ عَلَى ثَلَاثِ أَعْيُنٍ: عَيْنٍ سَهَرَتْ فِى سَبِيْلِ اللهِ، وَعَيْنٍ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ)، وَسَكَتَ الرَّاوِىْ عَنِ الثَّالِثَةِ. وَقَالَ: (يَاأَيُّهَا النَّاسُ اَبْكُوْا، فَإِنْ لَمْ تَبْكُوْا فَتَبَاكُوْا. فَإِنَّ أَهْلَ النَّارِ يَبْكُوْنَ فِى النَّارِ حَتَّى تَسِيْلَ دُمُوْعُهُمْ فِى وُجُوْهِهِمْ كَأَنَّهَا أَنْهَارٌ، فَإِذَا فَرَغَتْ دُمُوْعُهُمْ تَسِيْلُ الدِّمَاءُ فَلَوْ أَنَّ سُفُنًا أُرْسِلَتْ فِى مَجَارَي دُمُوْعِهِمْ لَجَرَتْ) .(وَاعْلَمْ) أَنَّ الْبُكَاءَ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ مِنْ أَدَلِّ الْأَدِلَّةِ عَلَى الْخَوْفِ مِنَ اللهِ تَعَالَى وَالْمَيْلِ اِلَى الآخِرَةِ. وَالْجَالِبُ لِلْبُكَاءِ شَيْآنِ: الْخَوْفُ مِنَ اللهِ، وَالنَّدَمُ عَلَى مَا سَلَفَ مِنَ التَّفْرِيْطِ وَالتَّقْصِيْرِ، وَأَعْظَمُ سَبَبِهِ الْمَحَبَّةُ. (جامع الأصول فى الأولياء، ص 263-264)
Abu Umamah bertanya kepada Rasulullah SAW: “Apa keselamatan itu?”. Nabî menjawab: “Jagalah lisanmu, luaskanlah rumahmu, menangislah atas kesalahanmu”. Nabi bersabda: “Tiga mata yang diharamkan masuk neraka; mata yang terjaga fi sabilillah, mata yang menangis karena takut kepada Allâh SWT”, dan perawi Hadis tidak meneruskan pada bagian yang ketiga. Nabi juga bersabda: “Wahai manusia menangislah engkau, jika engkau tidak bisa menangis maka paksalah untuk menangis, karena sesungguhnya ahli neraka itu menangis di neraka sehingga air matanya mengalir di wajahnya bagaikan aliRAn sungai, ketika air matanya habis maka mengalirlah darah (sebagai ganti air mata), seandainya sebuah kapal yang dilepas pada aliRAn air matanya maka kapal akan berlayar”.
Ketahuilah bahwa menangis karena takut kepada Allâh SWT itu merupakan bukti Rasa takut kepada Allâh SWT dan condongnya diri untuk lebih memilih akhirat. Dua hal yang bisa menyebabkan menangis, yaitu takut kepada Allâh SWT, menyesal terhadap perilaku yang melampaui batas dan kecerobohan yang telah lalu. Dan penyebab utamanya adalah mahabbah (rasa cinta), (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 263-264).
Berikut ini adalah kisah para sahabat menangis ketika mengingat kematian dan akan adanya hari kimat;
وَكَانَ عُمَرُ بْنُ عَبْدُ الْعَزِيْزِ يَجْمَعُ الْفُقَهَاءَ فَيَتَذَاكَرُوْنَ الْمَوْتَ وَالْقِيَامَةَ ثُمَّ يَبْكُوْنَ حَتَّى كَأَنَّ بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ جَنَازَةً، وَمَنْ أَكْثَرَ مِنْ ذِكْرِهِ أُكْرِمَ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: تَعْجِيْلِ التَّوْبَةِ، وَقَنَاعَةِ الْقَلْبِ، وَنَشَاطِ الْعِبَادَةِ. وَمَنْ نَسِيَ الْمَوْتَ عُوْقِبَ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ تَسْوِيْفِ التَّوْبَةِ، وَعَدَمِ الرِّضَا بِالْكَفَافِ، وَالتَّكَاسُلِ فِى الْعِبَادَةِ. (تنوير القلوب ص 451)
‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz mengumpulkan para ahli fiqih, kemudian mereka saling mengingatkan tentang mati dan kiamat, kemudian mereka menangis seakan-akan di depan mereka tertapat jenazah. Barangsiapa yang banyak mengingat mati maka akan diberi kemuliaan dengan tiga hal; mempercepat taubat, hati yang menerima, giat dalam ibadah. Dan barangsiapa yang lupa dengan mati maka akan disiksa dengan tiga hal: menunda-nunda taubat, tidak senang dengan kecukupan, malas dalam ibadah, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 451).
Sabar, Tawakal, dan Tawadhu‘
Menurut Imam Junaid, sabar adalah menahan kepahitan tanpa bermuram wajah, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 271).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْا وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allâh SWT supaya kamu beruntung, (Q.S. Ali ‘Imran: 200).
Makna dari kata ayat di atas adalah;
- اصْبِرُوْا, sabar yang berarti mengajak nafsu untuk taat dan patuh kepada Allâh SWT
- صَابِرُوْا, sabar dengan perubahan hati (dari akhlak yang buruk menuju akhlak yang baik) untuk menghadapi cobaan Allâh SWT
- رَابِطُوْا, persambungan sirri dengan Rasa rindu kepada Allâh SWT
مَا رُزِقَ عَبْدٌ خَيْرًا لَهُ وَلَا أَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
Tiada rizki yang diberikan kepada seorang hamba itu lebih baik dan lebih luas daripada sabar, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 271).
Dari segi perilaku, sabar dikelompokkan menjadi tiga golongan;
وَالصَّبْرُ وَهُوَ عَلىَ ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: صَبْرُ الْعَامِّ وَهُوَ عَنِ الْمَعْصِيَةِ، وَصَبْرُ الْخَاصِّ وَهُوَ عَلَى الطَّاعَةِ، وَصَبْرُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ مَعَ الْحَقِّ مَعَ الْمَعِيَّةِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 77).
Tiga golongan tersebut adalah; sabar-nya orang ‘awam yaitu dari kemaksiatan, sabar-nya orang khâs yaitu atas ketaatan, dan sabar-nya orang akhâs yaitu bersama Allâh SWT
Sementara itu, dari segi maqâm, sabar terbagi menjadi lima.
(وَالصَّبْرُ) عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ: صَبْرٌ لِلهِ، وَصَبْرٌ فِى اللهِ، وَصَبْرٌ بِاللهِ، وَصَبْرٌ مَعَ اللهِ، وَصَبْرٌ عَنِ اللهِ. فَالصَّبْرُ لِلهِ عَنَاءٌ، وَالصَّبْرُ فِيْهِ بَلَاءٌ، وَالصَّبْرُ بِهِ بَقَاءٌ، وَالصَّبْرُ مَعَهُ وَفَاءٌ، وَالصَّبْرُ عَنْهُ جَفَاءٌ، (جامع الأصول فى الأولياء، ص: 272).
Lima sabar itu adalah; 1) Sabar Lillâh (tunduk, patuh kepada Allâh SWT), 2) Sabar Fillâh (cobaan), 3) Sabar Billâh (tetap untuk selalu bersama Allâh SWT), 4) Sabar Ma‘allâh (menepati janji setia), dan 5) sabar ‘Anillâh (jauh dari Allâh SWT), (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 272).
Dan orang-orang yang bersabar atas perilaku buruk orang lain dikategorikan sebagai orang-orang yang shiddiq (terpercaya). Itulah kisah, as-Syadzili membiarkan perilaku orang-orang/musuh yang menyakiti beliau.
(إِنَّمَا أَجْرَى اْلأَذَى عَلَى أَيْدِيْهِمْ كَيْلَا تَكُوْنَ سَاكِنًا إِلَيْهِمْ أَرَادَ أَنْ يُزْعِجَكَ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى يُشْغِلَكَ عَنْهُ شَيْءٌ) وُجُوْدُ أَذَى النَّاسِ لِلْعَبْدِ نِعْمَةٌ عَظِيْمَةٌ عَلَيْهِ لَا سِيَّمَا مِمَّنْ اِعْتَادَّ مِنْهُ الْمُلَاطَفَةَ وَالْإِكْرَامَ وَالْمُبَرَّةَ وَالْاِحْتِرَامَ لِأَنَّ ذَلِكَ يُفْقِدُهُ عَدَمَ السُّكُوْنِ إِلَيْهِمْ وَتَرْكَ اْلاِعْتِمَادِ عَلَيْهِمْ وَفَقْدَ اْلأُنْسِ بِهِمْ فَيَتَحَقَّقُ بِذَلِكَ عُبُوْدِيَّتُهُ لِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ سَيِّدِيْ أَبُو الْحَسَنِ الشَّاذِلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ آذَانِيْ إِنْسَانٌ مَرَّةً فَضَقْتُ ذَرْعًا بِذَلِكَ فَنِمْتُ فَرَأَيْتُ يُقَالُ لِيْ مِنْ عَلَامَةِ الصِّدِّيْقِيَّةِ كَثْرَةُ أَعْدَائِهَا ثُمَّ لَا يُبَالِيْ بِهِمْ، (شرح الحكم، ج 2، ص: 57-58).
Allâh SWT memberikan potensi kepada makhluk untuk berbuat yang menyakitkan, agar engkau tidak merasa tentRAm dengan mereka. Allâh SWT menghendakimu agar menjauhi segala sesuatu yang dapat menyibukkan dirimu sehingga jauh dari Allâh SWT Perbuatan manusia yang menyakitkan atas seorang hamba merupakan sebuah kenikmatan yang besar bagi dirinya. Apalagi perbuatan yang menyakitkan itu dari orang yang biasa menyayanginya, memuliakannya, berbuat baik padanya, dan menghormatinya. Karena perbuatan itu akan menjadikan dirinya tidak merasa tentram, tidak tergantung, dan tidak terhibur dengan mereka.
Jika sudah demikian, maka akan menjadi nyata ubudiyahnya kepada Allâh SWT Abu Hasan al-Syadzili RA. berkata: “Seorang manusia menyakitiku, dan aku tak mampu membalasnya. Lalu aku tertidur, kemudian aku bermimpi”, dan dikatakan kepadaku “Termasuk dari tanda-tanda orang yang shiddiq (yang berbakti kepada Allâh SWT) adalah orang yang banyak musuh, namun dia tidak mempedulikan mereka”, (Syarh al-Hikam, juz 2 halaman: 57-58).
Orang yang bersabar juga harus mengetahui, macam-macam bala’ (ujian/cobaan dari Allâh SWT), itulah sebabnya ada tiga kategori bala’ yang diberikan oleh Allâh SWT kepada hambanya sesuai dengan tingkat dan kemampuan.
وَالْبَلَاءُ وَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: بَلاَءُ الْعَامِّ وَهُوَ لِلتَّأْدِيْبِ، وَبَلاَءُ الْخَاصِّ وَهُوَ لِلتَّهْذِيْبِ، وَبَلاَءُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ لِلتَّقْرِيْبِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 77).
Ketiga bala’ itu adalah; 1) Bala’-nya orang ‘awam, sebagai bentuk pelajaran, 2) Bala’-nya orang khâs, sebagai bentuk perbaikan etika, dan 3) Bala’-nya orang akhâs sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri kepada Allâh SWT), (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 77).
Berikutnya mengenai tanda-tanda orang yang tawakkal.
(وَعَلاَمَةُ الْمُتَوَكِّلِ) أَنْ لَايَسْأَلَ وَلَايَرُدَّ وَلَا يَحْبِسَ (وَأَكْمَلُ) أَحْوَالِهِ أَنْ يَكُوْنَ بَيْنَ يَدَيِ اللهِ تَعَالَى كَالْمَيِّتِ بَيْنَ يَدَيِ الْغَاسِلِ يُقَلِّبُهُ كَيْفَ أَرَادَ لَايَكُوْنُ لَهُ حَرَكَةٌ وَلاَ تَدْبِيْرٌ. قَالَ أَبُوْ الدَّرْدَاءِ ذَرْوَةُ اْلإِيْمَانِ اْلإِخْلاَصُ وَالتَّوَكُّلُ وَاْلاِسْتِسْلاَمُ لِلرَّبِّ عَزَّ وَجَلَّ (وَلَيْسَ) فِى الْمَقَامَاتِ أَعَزُّ مِنَ التَّوَكُّلِ فَإِنَّ التَّوَكُّلَ عَلَى اللهِ يُحَبِّبُ الْعَبْدَ وَأَنَّ التَّفْوِيْضَ إِلَى اللهِ يَهْدِيْهِ وَبِهُدَى اللهِ يُوَافِقُ الْعَبْدُ رِضْوَانَ اللهِ وَبِمُوَافَقَةِ رِضْوَانِ اللهِ يَسْتَوْجِبُ الْعَبْدُ كَرَامَةَ اللهِ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ وَيُسَلِّمْ لِقَضَائِهِ وَيُفَوِّضْ اَلْأَمْرَ إِلَيْهِ وَيَرْضَ بِقَدَرِهِ فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنَ وَأَحْسَنَ اْلإِيْمَانَ وَالْيَقِيْنَ وَفَرَّغَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ لِكَسْبِ الْخَيْرِ وَأَقَامَ اْلأَخْلاَقَ الصَّالِـحَةَ الَّتِيْ تُصْلِحُ لِلْعَبْدِ أَمْرَهُ وَمَنْ طَعَنَ فِى التَّوَكُّلِ فَقَدْ طَعَنَ فِى اْلإِيْمَانِ لِأَنَّهُ مَقْرُوْنٌ بِهِ وَمَنْ أَحَبَّ أَهْلَ التَّوَكُّلِ فَقَدْ أَحَبَّ اللهَ تَعَالَى، (تنوير القلوب، ص: 479).
Orang yang bertawakal, adalah mereka yang tidak meminta, tidak menolak, dan tidak menahan. Keadaan yang paling sempurna dari tawakal ini adalah seorang sâlik menghadapkan dirinya kepada Allâh SWT seakan-akan dia adalah mayat yang ada di hadapan orang yang memandikannya, tubuhnya dibolak-balikkan dia tetap diam dan menerima apa adanya. Abu Darda’ menyatakan bahwa buah imân adalah ikhlâs, tawakal, dan pasrah sepenuhnya kepada Allâh ‘Azza wa jalla. Tidak ada maqâm (tempat) yang lebih mulia dibandingkan dengan tawakal. Karena tawakal menjadikan hamba mencintai Allâh SWT Dengan kepasrahan ini, sâlik memperoleh hidayah, sehingga dia pun memperoleh keridhaan-Nya. Jika Allâh SWT telah meridhainya, maka kemuliaan dari Allâh SWT akan diperolehnya.
Oleh karena itu, barangsiapa bertawakal kepada Allâh SWT, menyerahkan segala urusan kepada-Nya, ridha dengan qodar-Nya, maka dia benar-benar telah menegakkan agama, dan memperbaiki iman dan keyakinannya. Sehingga kedua tangan dan kakinya hanya tergerak untuk kebajikan. Dia benar-benar menjadi orang yang berakhlak mulia, yang dengan akhlak mulia tersebut segala urusannya pun menjadi baik. Sebaliknya, barangsiapa menghina terhadap tawakal, maka dia menghina keimanannya, karena keimanan selalu bersamaan dengan tawakal. Barangsiapa mencintai orang-orang ahli tawakal, maka dia mencintai Allâh SWT, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 479).
Berikut ini adalah macam-macam tawakal:
وَالتَّوَكَّلُ وَهُوَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ: تَوَكَّلُ الْعَامِّ وَهُوَ عَلىَ الشَّفَاعَةِ، وَتَوَكَّلُ الْـخَاصِّ وَهُوَ عَلَى الطَّاعَةِ، وَتَوَكَّلُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ عَلَى الْعِنَايَةِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 76).
Tawakal terbagi menjadi tiga; 1) Tawakalnya orang ‘awâm yaitu tawakal atas syafa‘at, 2) Tawakalnya orang khâsh yaitu tawakkal atas ketaatan, dan 3) Tawakalnya orang akhâsh yaitu tawakkal atas pertolongan, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 76).
Selanjutnya adalah pembahasan tentang tawaddhu‘:
أَمَّا التَّوَاضُعُ فيِ اِصْطِلَاحِهِمْ: اَلْإِسْتِسْلَامُ لِلْحَقِّ وَتَرْكُ الْإِعْتِرَاضِ عَلَى الْحُكْمِ (الطرق الصوفية، ص: 265).
Tawaddhu‘ menurut istilah ahli ‘Ulama’ Sufî adalah menyerahkan diri kepada kebenaran dan meninggalkan berpaling pada hukum, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 265).
وَقِيْلَ: هُوَ اَلْـخُشُوْعُ لِلْحَقِّ وَالْإِنْقِيَادُ وَقَبُوْلُهُ مِنَ الْغَنِيِّ وَالْفَقِيْرِ وَالْكَبِيْرِ وَالصَّغِيْرِ وَالشَّرِيْفِ وَالْوَضِيْعِ (الطرق الصوفية، ص: 266).
Dikatakan juga: “Tawaddhu‘ adalah tenangnya hati pada kebenaran, mengikuti dan menerima kebenaran itu, baik dari orang kaya, fakir, orang tua, anak kecil, orang mulia maupun orang yang rendah”, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 266).
Mengenai dasar Tawaddhu‘,di dalam Alquran dijelaskan;
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ (الشعراء: 215)
Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman, (Q.S. al-Syu‘arâ’: 215).
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً (الفرقان: 63)، مَعْنَاهُ: خَاشِعِيْنَ مُتَوَاضِعِيْنَ.
(Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati) (Q.S. al-Furqan: 63), maknanya: “Dengan khusyu‘, dengan tawaddhu‘”.
Rasûlullah SAW bersabda;
قَالَ النَّبِيُّ: لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ.
Nabi SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebiji SAWi dari sifat sombong”, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 311).
قَالَ النَّبِيُّ: مَا تَوَاضَعَ رَجُلٌ للهِ اِلَّا رَفَعَهُ اللهُ.
Nabi SAW bersabda: “Tidaklah tawaddhu‘ seorang laki-laki kepada Allâh SWT, kecuali Allâh SWT mengangkat derajatnya”, (Tanbîh al-Ghâfilîn, halaman: 67).
Sementara itu Barangsiapa yang melihat dirinya memiliki nilai-nilai (kelebihan), maka tidak ada baginya sikap tawaddhu‘.
وَقِيْلَ: عَلَامَةُ التَّوَاضُعِ أَنْ يَعْتَقِدَ الْإِنْسَانُ أَنَّ كُلَّ مُسْلِمٍ خَيْرٌ مِنْهُ.
Abû Sulaimân al-Dârâni berkata: “Tanda-tanda tawaddhu‘ adalah apabila seseorang meyakini bahwa sesungguhnya orang lain itu lebih baik dari dirinya”, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 270).
قَالَ أَبُوْ يَزِيْدَ: اَلتَّوَاضُعُ مَنْ لَايَرَى فِي الْخَلْقِ شَرًّا مِنْهُ.
Abu Yazid al-Busthami berkata: “Tanda-tanda tawaddhu‘ adalah seseorang yang tidak melihat makhluk lebih jelek dirinya”, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 270).
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ آدَمِيٍّ إِلاَّ فِي رَأْسِهِ حِكْمَةٌ بِيَدِ مَلِكٍ فَإِذَا تَوَاضَعَ قِيْلَ لِلْمَلِكِ إِرْفَعْ حِكْمَتَهُ وَإِذَا تَكَبَّرَ قِيْلَ لِلْمَلِكِ ضَعْ حِكْمَتَهُ. أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِيُّ عَنْ أَبِيْ عَبَّاسٍ، (الطرق الصوفية، ص: 267).
Nabi SAW bersabda: “Tidaklah ada anak cucu Adam, kecuali mempunyai sebuah hikmah dari Allâh SWT Ketika dia tawaddhu‘, maka dilaporkan kepada Allâh SWT”. Lalu Allâh SWT berfirman: “Tampakkan hikmahnya!”. Dan ketika dia sombong maka dilaporkan kepada Allâh SWT: “Hilangkan hikmahnya!”, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 267).
قَالَ (عم): مَنْ تَوَاضَعَ لِلهِ رَفَعَ اللهُ
Barangsiapa tawaddhu‘ kepada Allâh SWT maka Allâh SWT akan mengangkat derajatnya, (al-Thuruq al-Shûfiyah, halaman: 267).