Abd. Moqsith Ghazali menekuni bidang fikih dan ushul fikih. Menyelesaikan program doktoralnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain mengajar di beberapa perguruan tinggi di Jakarta dan pengurus LBM PBNU, dia banyak menyampaikan ceramah keagamaan untuk umum.

Ulil Abshar Abdalla dan Saya

Saya mengenal Ulil Abshar Abdalla sejak tahun 1993. Saat itu usia Mas Ulil, demikian saya memanggil, belum masuk kepala tiga, sedangkan usia saya terpaut agak jauh darinya.

Saya masih menjadi santri, sementara Mas Ulil sudah menjadi intelektual gagah dengan menulis artikel di koran dan majalah.

Di Jakarta, Mas Ulil sudah malang melintang dari satu diskusi ke diskusi lain, dari pengajian Cak Nur ke kajian Gus Dur, dari LIPIA ke STF Driyarkara.

Pertama kali bertemu Mas Ulil di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Ia ditugasi PP Lakpesdam NU berangkat ke Probolinggo sebagai panitia seleksi program kaderisasi syuriah-keulamaan disebut PPWK (Program Pengembangan Wawasan Keulamaan).

Waktu itu, ia duduk di samping KH Abdul Wahid Zaini, kiai pesantren yang ditunjuk PBNU untuk mengetes kemampuan baca kitab calon peserta dari Jawa Timur Selatan yang meliputi Banyuwangi, Situbondo, Probolinggo, dan Jember.

Saya dengan calon peserta lain masuk satu per satu ke ruangan Kiai Wahid. Kitab Fathul Wahhab dan Ushul Fikih Abu Zahrah sudah terhampar di atas meja.

Grogi juga dites baca kitab oleh kiai sealim Kiai Wahid. Oleh Kiai Wahid saya diminta membaca “babul ijarah” dalam Fathul Wahhab dan mengurai mashlahah mursalah dalam Ushul fikih Abu Zahrah. Ditanya mulai dari soal nahwu-sharaf hingga pengertian tekstual dan kontekstual dari satu “ta’bir” kitab. Tahun-tahun itu para kiai NU memang lagi gandrung mengkampanyekan pentingnya memahami kitab kuning secara kontekstual sebagai keputusan halaqah “Pengembangan al-Ulum al-Diniyah Melalui Telaah Kitab Secara Kontekstual (Siyaqi) di Pondok Pesantren Watucongol Muntilan Magelang, 15-17 Desember 1988.

Baca juga:  Pengalaman Spiritual Ibramsyah Amandit

Singkat cerita, alhamdulillah, saya dinyatakan lulus seleksi. Entah, berapa yang daftar, saya tidak tahu.

Selama satu tahun lebih, saya harus wira-wiri Situbondo-Jakarta. Saat itu tiket pesawat sangat mahal, sulit dijangkau. Untuk sampai ke Jakarta, kadang saya naik bus antar provinsi yang langsung menghubungkan Situbondo-Jakarta. Kadang juga naik kereta api Surabaya-Jakarta, setelah sebelumnya naik bus selama lima jam dari Situbondo ke Surabaya. Paling cepat, waktu tempuh Situbondo-Jakarta 20 jam.

Ini mmungkin bagian dari jihad fi sabilillah; menempuh perjalanan sangat jauh untuk mencari ilmu.

Dalam program kaderisasi keulamaan yang diselenggarakan PBNU itulah saya terlibat dalam diskusi intens dengan dua puluh lima peserta PPWK dari kalangan kiai dan nyai muda.

Di forum itu, saya menjadi peserta paling belia. Namun, saya merasa beruntung melalui PPWK ini bisa terhubung langsung secara intelektual dengan genius raksasa seperti Gus Dur, Cak Nur, Harun Nasution, Munawir Sjadzali, Arif Budiman, Sritua Arif. Juga dengan para kiai alim seperti Kiai Sahal Mahfudh, Kiai Tolhah Hasan, Ustadz Quraish Shihab, Prof. Ibrahim Hosen, Dr Satria Effendi M. Zain, dan lain-lain.

Adalah Kiai Said Aqil Siroj dan Kiai Masdar F Mas’udi yang menjadi menjadi fasilitator utama program ini.  Keduanya, saat itu, sedang terus menaiki tangga popularitas. “Kiai Muda”, sebutannya saat itu. Mas Ulil tentu saja belum disebut kiai. Jangankan kiai, panggilan “Gus” saja, waktu itu “mahal” sekali, tidak seperti hari ini.

Baca juga:  Kitab Kuning, Teman Tidur Kiai Afifuddin Muhajir

Perdebatan demi perdebatan di forum PPWK sering berlangsung hangat. Kang Jalaluddin Rahmat yang pernah diundang menjadi salah satu nara sumber misalnya rajin mengintroduksi dalil dari buku-buku Syiah yang kemudian dibantah para peserta seperti Kiai Muhyiddin Abdusshomad Jember dan Kiai Ubaidullah Shodaqah Semarang.

Pak Harun Nasution yang mengutip buku-buku Muktazilah juga mendapat sanggahan dari peserta seperti Kiai Imam Ghazali Said Surabaya dan Kiai Najib Muhammad Denanyar Jombang.

Diskusi berlangsung seru. Tak kalah serunya, ketika diskusi kelompok dan sidang pleno berlangsung. Silang pendapat antar peserta tak terhindarkan.

Saat itu kalau bukan Kiai Said dan Pak Masdar yang menetralisir perbincangan, maka Mas Ulil yang tampil ke depan; memimpin sidang.

Dari para senior ini, saya yang tiap hari di pesantren hanya mengunyah kitab-kitab fikih klasik, tiba-tiba oleh mereka dibawa mengembara ke bidang-bidang lain seperti Kalam, Filsafat, Sejarah, dan Politik.

Mas Ulil saat itu sudah mengutip para pemikir Islam kontemporer. Ia menyebut nama-nama intelektual seperti Hassan Hanafi yang tak pernah saya dengar sebelumnya. Ia sudah bicara demokrasi dan HAM dikaitkan dengan turats Islam.

Karena itu, di awal-awal halaqah, banyak peserta yang kepo tentang Mas Ulil, “Siapa anak muda pintar yang duduk di depan itu?”

Baca juga:  Perjuangan Kemerdekaan oleh Santri-Santri Nusantara dari Kairo (Bagian 3)

Setelah diketahui bahwa Mas Ulil adalah santri Kiai Sahal Mahfudh, para peserta pun kian kagum. Setelah itu juga, “sanad” keilmuan Mas Ulil tiada yang meragukan lagi.

Usai mengikuti program PPWK, saya melanjutkan studi di IAIN Jakarta. Di Jakarta saya makin sering berjumpa dengan Mas Ulil bahkan pernah beberapa tahun satu kantor dengannya.

Banyak suka duka yang saya lalui bersama Mas Ulil. Fitnah dan cacian sudah pasti. Demonstrasi apalagi. Dikirimi bom buku juga pernah. Dan kita sempat membaca hizb di bawah pohon mangga. Namun, peristiwa itu sudah berlalu. Waqa’a ma waqa’ wa hadatsa ma hadats. ‘Afa Allah ‘amma salaf.

Waktu terus berjalan dan air mengalir sampai jauh, tak terasa Mas Ulil Abshar Abdalla sudah memasuki kepala lima, Kamis kemarin, 11 Januari 2018.

Selamat ulang tahun, Mas. Sehat dan sukses terus. Beberapa tahun terakhir kita memang jarang bertemu. Tapi saya senang, sampeyan masih istikamah berbagi ilmu; mengaji Ihya’ Ulumuddin secara virtual. 

Sampeyan orang alim dan baik, hanya banyak orang yang belum mengenal Sampeyan. Bukan hanya itu, tapi kelewat sederhana, bajunya, makannya, gayanya, kendaraannya. Dari dulu begitu-begitu saja. Kecuali hobinya yang suka nonton tenis, pengalaman tinggal di Amerika selama sekian tahun pun sepertinya tidak ada yang menempel.

Panjang umur, Mas!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top