Sedang Membaca
Sabilus Salikin (150): Ajaran Tarekat Syathariyah (1)
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (150): Ajaran Tarekat Syathariyah (1)

Syathariyahpeta

Syaikh Ahmad Qusyairi menerangkan sesuatu yang mengharukan dalam kitab al-Simth al-Majid halaman 143-144 yang mengutip dari Risalah Raikhan al-Qulub Fi al-Wushul Ila al-Mahbub karya Syaikh Jamaluddin Abi al-Mahasin Yusuf bin Abdullah bin Umar bin Ali bin Khidzir al-Kurani. Disebutkan, Nabi Muhammad Saw mentalqin (menuntun) zikir لا اله إلا الله kepada sayyidina Ali Krw secara individu.

Syaikh Jamaluddin Abi al-Mahasin Yusuf bin Abdullah bin Umar bin Ali bin Khidzir al-Kurani menjadi mahaguru dalam rantai silsilah al-Hamdaniyah yang berasal dari tarekat al-Ghoust dan Uwaisiyah. Dalam satu naskah terdapat tulisan Syaikh Abdurrahman bin Muhammad al-Qurasyi al-Syibrisyi yang menceritakan bahwa sayyidina Ali Krw bertanya kepada nabi Muhammad “Wahai Rasulullah Saw tunjukkanlah kepadaku jalan dekat menuju kepada Allah”.

Rasul bersabda, ‘Wahai Ali, tetapkanlah dirimu dengan melanggengkan zikir (ingat) kepada Allah dalam melakukan khalwat’, lalu sayyidina Ali berkata ‘Zikir itu mempunyai faidah yang banyak dan semua manusia melakukannya’, kemudian Rasul bersabda , “Jangan begitu wahai Ali, hari kiamat tidak akan melanda bumi selama ada seseorang yang berucap Allah Allah.

Sayyidina Ali bertanya lagi “Bagaimana caranya saya berzikir?”, Rasul menjawab, “Pejamkan kedua matamu lalu dengarkanlah ucapanku 3 kali, kemudian tirukanlah 3 kali’. Sementara aku mendengarkannya, Rasulullah berkata لا اله إلا الله لا اله إلا الله لا اله إلا الله sambil memejamkan kedua matanya dan mengeraskan ucapannya. Sementara sayyidina Ali mendengarkannya, kemudian sayyidina Ali menirukan ucapan dan keadaaan (tindakan) nabi, sementara nabi mendengarkannya”.

Baca juga:  Mengapa Imam al-Ghazali Bersinar?

سَالَ عَلِى رَضِىَ اللهُ عَنْهُ النَّبِىَّ صَلْعَمْ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ دُلَّنِيْ عَلَى اَقْرَبِ الطُّرُقِ اِلَى اللهِ وَ اَسْهَلِهَا عَلَى عِبَادِهِ وَ اَفْضَلِهَا عِنْدَ اللهِ. فَقَالَ يَا عَلِى عَلَىْكَ بِمُدَاوَمَةِ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى فِي الْخَلْوَاتِ فَقَالَ عَلَى هَكَذَا فَضِيْلَةُ الذِّكْرِ وَ كُلُّ النَّاسِ ذَاكِرُوْنَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلْعَمْ يَا عَلِى لَا تَقُوْمُ السَّاعَةُ وَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَنْ يَقُوْلُ اَللهُ اَللهُ فَقَالَ كَيْفَ اَذْكُرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْ غَمِّضْ عَيْنَيْكَ وَاسْمَعْ مِنِّيْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قُلْ اَتَتْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَ اَنَا اَسْمَعُ فَقَالَ النَّبِىُّ صَلْعَمْ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مَغْمَضًا عَيْنَيْهِ رَافِعًا صَوْتَهُ وَ عَلِى رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يَسْمَعُ ثُمَّ قَالَ عَلِى لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مَغْمَضًا عَيْنَيْهِ رَافِعًا صَوْتَهُ وَ النَّبِىُّ صَلْعَمْ سَيْمَعُ.

Kemudian sayyidina Ali mentalqin kalimat dengan cara tersebut kepada Hasan Basri, kemudian Hasan Basri mentalqin Habib al-Ajami, kemudian al-Ajami mentalqin Daud Tho’i, Daud Tho’i mentalqin al-Ma’ruf al-Karkhi, al-Ma’ruf al-Karkhi mentalqin Sari al-Siqthi, Sari al-Siqthi mentalqin Abu Qasim al-Junaidi, Abu Qasim al-Junaidi mentalqin Mamsyud al-Dainuri, Mamsyud al-Dainuri mentalqin Ahmad Aswad al-Dainuri.

Ahmad Aswad al-Dainuri mentalqin Muhammad Suhrowardi, Muhammad Suhrowardi mentalqin Qadhi Wajihuddin, Qadhi Wajihuddin mentalqin Abu Najib al-Suhrowardi, Abu Najib al-Suhrowardi mentalqin syaikh Syihabuddin al-Suhrowardi, syaikh Syihabuddin al-Suhrowardi mentalqin syaikh Najihuddin Ali bin Buzghusy al-Syirozi, syaikh Najihuddin Ali bin Buzghusy al-Syirozi mentalqin syaikh Nuruddin Abdussomad al-Nadhmiri.

Baca juga:  Sabilus Salikin (181): Rabitah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Syaikh Nuruddin Abdussomad al-Nadhmiri kepada syaikh Badruddin al-Thusi dan syaikh Najmuddin Muhammad al-Ashfihani, keduanya mentalqin syaikh Khusnan al-Syasyiri, syaikh Khusnan al-Syasyiri mentalqin syaikh Najmuddin, syaikh Najmuddin mentalqin syaikh Abu al-Mahasin Jamaluddin Yusuf bin Syaikh Abu Muhammad Abdullah al-Kurani (al-Simth al-Majîd, halaman 143-145)

Disamping harus ada izin dari guru yang berhak dan sah, bagi yang bersangkutan (yang berkehendak memperoleh ilmu), harus ada niat yang kuat dan mantab.

Maksud dan kandungan niat minta petunjuk ilmu Syathariyah, biasanya diniatkan dengan ungkapan sebagai berikut:

نَوَيْتُ لِدُخُوْلِ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

atau

نَوَيْتُ أَنْ أَدْخُلَ طَرِيْقَ الصَّالِحِيْنَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى

”Saya berniat untuk ‘masuk’ mohon petunjuk ilmunya guru yang shaleh fardhu karena Allah Ta’ala.”

Diterjemahkan sebagaimana di atas karena mempunyai maksud dan tujuan agar para pengamal ilmu ini akan menjadi orang-orang yang benar-benar bermujâhadah (memerangi hawa nafsunya sendiri) hingga membentuk diri menjadi orang yang sabar dan tawakkal supaya dapat mencapai tingkat dan martabat rasa.

Tingkat dan martabat rasa yaitu relanya hati untuk melaksanakan lakon (ibadah yang dapat dilaksanakan oleh jasad) dan pitukon (amal jariah, zakat, infaq dan sejenisnya) untuk tujuan mendekat kepada-Nya (berjuang, berkorban dan berbakti dalam memenuhi taatnya kepada guru) dengan ikhlas yang seikhlas-ikhlasnya. Rasa hati yang tulus ikhlas karena Allah SWT., dengan Allah SWT., di jalan Allah SWT., Untuk Allah SWT., sehingga dia” tidak merasa” bahwa dirinya berkorban dan berbakti.

Baca juga:  Kita Masih Berbahasa Indonesia dengan Buruk Sekali Secara Akademis

Perlu diketahui bahwa yang demikian itulah perjalanan hidup hamba-hamba Allah SWT. yang shaleh. Perjalan hidup hamba yang dicintai oleh-Nya.

Perlu diketahui bahwa ilmu ini adalah ilmu tentang Tuhan, ilmu untuk mengenal diri-Nya, Dzat yang al-Ghaib wajib wujud-Nya, dekat sekali dalam Rasa hati, Allah asma’-Nya. Ilmu Syathariyah adalah ilmu yang menjadi pingitan  Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Jîn: 26-27.

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً ﴿٢٦﴾ إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً ﴿٢٧﴾ (الجن: 26-27)

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya, (QS. al-Jîn: 26-27).

Bahwa hanya dialah yang mengetahui al-Ghaib itu, maka Dia tidak sama sekali memperlihatkan (dalam mata hati) tentang keberadaan dirinya yang al-Ghaib itu kepada seorang pun, kecuali bagi orang yang diridai-Nya (ilmu tersebut hanya diperoleh) dari Rasul-Nya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top