Politisasi agama di tempat ibadah, khususnya sembahyang Jumat bagi umat muslim, sesungguhnya bukanlah fenomena baru dalam panggung sejarah Indonesia. Di Kerajaan Aceh masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), adalah contoh yang paling menarik untuk kita teroka.
Prosesi ritual ini digunakan untuk menimbulkan rasa kagum rakyat dan tamu-tamunya kepada sang raja. Bahkan untuk kegiatan berkala tiap pekan ini pun Adat Aceh menelatah dengan panjang lebar cara-cara mengatur iring-iringan gajah, pembesar dan prajurit, dan ragam tabuhan apa yang harus dimainkan pada tambur dan genderang, tatkala iring-iringan berarak sepanjang jalan.
Iring-iringan ke masjid tampaknya sudah menjadi kegiatan rutin dan para pedagang Inggris pimpinan Thomas Best diberitahu untuk ikut hadir pada Jumat, 2 Juli 1613. Sulit dipercaya rasanya, bahwa sekitar 5.000 prajurit dikerahkan tiap minggu sepanjang tahun untuk melakukan arak-arakan, tetapi dari uraian Ralph Coft ihwal dua acara Jumatan berturut-turut (26 Juni dan 2 Juli) dapat disimpulkan, bahwa pada masa itu arak-arakan semacam itu merupakan kegiatan rutin. Arak-arakan ini kemungkinan diadakan besar-besaran, terutama karena kesempatan itu juga digunakan untuk mengucapkan selamat jalan kepada duta besar Siam (Reid, 2005: 121).
Kami bertemu dengan baginda raja dalam suasana paling agung dalam perjalanan ke masjid dengan penuh khidmat. Dia diiringi, sebagai pengawalnya, oleh 200 gajah, 2000 tombak panjang, 200 tombak, 100 pemanah; 20 pedang terhunus dari emas yang dibawa di depannya; 20 pendekar anggar berjalan di depan dia, sambil bermain anggar dan memburu sasaran. Seekor kuda dituntun di depan raja, sekujur tubuhnya ditutupi selimut berlapis emas, kekangnya berlapis batu-batu mulia; di pelananya tegak tersusun terarah ke langit anak-anak panah dari batang emas yang dipipihkan dan bertabur batu-batu mulia. Di depan raja berjalan kedua putranya, 8 atau 9 tahun, bertutup perhiasan dan batu-batu mulia yang serba mahal dari ujung rambut ke ujung jari kaki. Paduka Yang Mulia menunggang sekor gajah berpelana emas murni; budaknya di belakang raja dengan pakaian nan indah, dengan kotak pinang dan sirih dan sebuah kipas dari emas dalam genggamannya, untuk dikibas-kibaskan mengusir lalat dari raja. Jubah raja luar biasa indah dan rumit, sehingga saya tidak dapat melukiskannya dengan detail. Sultan Iskandar Muda mengenakan turban bertaburkan mutu manikam dan batu-batu mulia yang tak tepermanai nilai harganya; keris dan pedang dari emas murni, sarung pedang bertatahkan batu mulia. Di depannya berjalan seekor gajah dengan sebuah sebuah takha kerajaan di punggungnya, berselimutkan selimut dari perak, jika turun hujan, dia dapat berganti gajah. Pada kedua gading gajah itu, bergantungan kotak-kotak kecil dari emas (Croft, 1934: 171-2).
Menurut Croft, dari masjid, Iskandar Muda kembali ke suatu tempat hiburan yang telah disiapkan untuk menghiburnya. Di mana, baginda raja duduk, ke situlah semua kaum bangsawan, sesuai tata cara istana, dipanggil, dan semua duta besar asing, sesuai dengan kemasyhuran masing-masing negara yang diwakili, dipersilahkan duduk di antara para bangsawan. Pasca itu, semua hadirin menyaksikan adu gajah jinak dan liar, dan adu kerbau, dan adu kambing.
Iskandar Muda lebih bangga dengan emas berlian harta kekayaannya tinimbang dengan gajah-gajahnya, dan arak-arakan ke masjid adalah kesempatan untuk memamerkan dan membuat kagum rakyat dan para tamunya melalui pertunjukan-pertunjukan yang diselenggarakan istana sebagai bagian dari panggung kerajaan.
Namun, tujuan dari pertunjukkan itu sebagian adalah untuk hiburan, seperti terlihat dari adu binatang yang diadakan secara berkala, yang dihadiri dengan penuh semangat setiap minggunya oleh penduduk Banda Aceh.
Drama politik, politik drama
Bila kita baca uraian panjang lebar dalam Adat Aceh, atau kisah-kisah dari para pedagang dan duta besar yang berkunjung ke Kesultanan Aceh ketika Aceh sedang jaya-jayanya, hampir tidak dapat dipercaya betapa banyaknya waktu dan tenaga kerajaan yang digunakan untuk menyelenggarakan arak-arakan, pertunjukkan, dan hiburan kerajaan. Sultan selalu menggunakan setiap kesempatan untuk menunjukkan bahwa dia adalah pusat sebuah drama besar dan dalam drama itu, dia tidak saja merepresentasikan kekuasaan, tetapi juga mewakili harta benda, semangat, kepatuhan, kemurahan hati, dan pencerahan.
Dalam tulisannya mengenai Bali sebagai “negara panggung”, Clifford Geertz mengatakan, “pertunjukan-pertunjukan” ini bukan sekadar pelampiasan keinginan hati kerajaan tanpa mengenal batas–pelbagai pertunjukkan itu adalah kerajaan itu sendiri (Geertz, 1980: 102-4). Melalui upacara-upacara megah yang terpusat pada diri raja, kerajaan pra-modern Asia Tenggara hendak menunjukkan kepada rakyat dan tetangganya, bahwa rajanya benar-benar raja sejati, dengan kekuasaan yang berlandaskan pada tatanan alam semesta aturan Ilahi yang menopangnya.
Arkian, di Banda Aceh, setidaknya dalam paruh abad ke-17, merupakan salah satu kota pantai terkaya di Asia. Duta besar dan pedagang datang ke Aceh dari Siam, Banten, Pegu (Burma), Moghul (India), Golconda (India Selatan), Persia, Inggris, Belanda, dan Prancis. Utusan-utusan dari empat negara disebut terakhir meninggalkan catatan-catatan rinci mengenai penerimaan mereka dan upacara istana. Catatan-catatan Belanda tahun 1630-an dan 1640-an sangat detail.
Karena itu, lebih daripada kerajaan Islam yang liyan manapun di Asia Tenggara pada periode ini, terbuka kemungkinan untuk membandingkan upacara-upacara di Aceh yang ditentukan dalam pelbagai catatan istana (terutama dalam kitab Adat Aceh) dengan hasil-hasil pengamatan orang luar perihal apa yang terjadi.
Hasil komparasi ini sebagian besar membenarkan adanya upacara agama dan perhelatan megah dalam paruh pertama abad ke-17, ketika Aceh berada di puncak kejayaan dalam perdagangan dan politik.