Tak terelakkan lagi bahwa al-Quran itu memiliki makna lahir dan batin. Hal ini diamini oleh Nabi sendiri, sebagaimana sabdanya yang tersebar dengan beragam redaksi; Dari jalur Ibn Mas’ud Nabi pernah bersabda, “Alquran diturunkan dengan tujuh huruf, setiap ayatnya mengandung makna lahir dan batin.” Sedangkan dari jalur ‘Abd Rahman bin ‘Auf mencatat nabi pernah berkata, “Alquran berada di atas ‘Arsy baginya memiliki makna lahir dan batin.” Dan dari jalur Ibn ‘Ubayd dari Hasan meriwayatkan, “Setiap ayat terdapat makna lahir dan batin, dan setiap huruf memiliki batasan (hadd) dan setiap hadd memiliki mathla’.” Dan masih banyak lagi riwayat yang menunjukan bahwa Alquran memiliki dimensi lahir dan batin.
Kalau kita telisik ke berbagai kitab tafsir sufi seperti Tafsir al-Tustari, Tafsir al-Qusyairi, Tafsir Ibn Arabi (Ta’wilat al-Kasyani), Ta’wilat al-Najmiyyah, dll kita akan menemukan di dalam muqadimah kitab tersebut terdapat segudang riwayat terkait makna batin Alquran.
Sebegitu pentingnya menguak makna batin al-Quran, Imam as-Suyuthi di dalam al-Itqan menyandingkan sebuah riwayat yang dilaporkan oleh Abu Darda’ yaitu, “Seorang tidaklah disebut sebagai faqih hingga ia mampu menjadikan Alquran memiliki wujuh (makna) yang beragam.”
Lalu apa penyebab yang membuat kita sebagai pembaca Alquran tak mampu memperoleh makna batin yang sebegitu pentingnya itu?
Menjawab pertanyaan tersebut, dalam kitab Ihya’ tepatnya pada pembahasan tentang Adab Tilawah Alquran, pada pasal ketiga Imam al-Ghazali menjelaskan secara detail terkait penyebab manusia tertutup pemahamannya dalam menyingkap makna batin Alquran. Hal ini disebabkan karena adanya setan yang sengaja menutupi pintu hati manusia sebagaimana diisyaratkan oleh hadis Nabi Muhammad saw.
قال صلى الله عليه وسلم : لولا أن الشياطين يحومون على قلوب بني آدم لنظروا إلى الملكوت
“Seandainya setan tidak merancaukan hati manusia, niscaya mereka mampu menyingkap keterhijaban alam malakut.” (HR. Imam Ahmad)
Menjelaskan hadis di atas, Imam Al-Ghazali percaya akan makna hakiki Alquran yaitu meliputi alam malakut. Yaitu alam yang tidak terjangkau dengan panca indra, dan hanya bisa diketahui lewat kebeningan cahaya hati (nurul bashirah).
Lebih spesifik lagi Imam Al-Ghazali mengeksplor bahwa, menurutnya ada 4 penyebab utama yang membuat pembaca Alquran terhijab dalam mereguk makna batin Alquran yaitu:
Pertama, pembaca Alquran tersibukkan pada perihal eksoteris Alquran seperti; makharij al-huruf, tajwid, serta qira’ah (irama membaca Al-Quran). Di sini, perlu dicatat, dalam menjelaskan sebab pertama, al-Ghazali tidak menegasikan sama sekali pentingnya ilmu-ilmu yang telah disebutkan, karena apabila kita tengok sebelum pembahasan ini dalam Ihya’ al-Ghazali membahas secara komprehensif terkait 10 Adab/Amaliyah Dhahir Membaca Alquran yang meliputi pentingnya membaca Alquran secara tartil dan memiliki kesesuaian dengan kaidah-kaidah tajwid yang berlaku.
Atas dasar itu, Imam al-Ghazali menekankan bahwa mufasir selamanya tidak akan mampu melihat keindahan dan keluasan makna batin Alquran apabila ia berhenti dan tersibukkan dengan keindahan lahiriyah semata. Untuk itu mufasir/pembaca/pengkaji Alquran tidak dianjurkan berhenti pada dimensi lahir semata, melainkan ia harus terus menerus berjalan ke ranah yang lebih dalam yaitu batin Alquran.
Kedua, Taklid buta pada mazhabnya. Terkait dengan ini al-Ghazali mengutip ungkap Sufyan al-Tsauri ra yang pernah berujar, “Terkadang ilmu itu akan menjadi hijab bagi mereka yang dibutakan oleh sikap taklid.” Menurut Al-Ghazali yang dimaksud dengan ilmu dalam konteks ini ialah kepercayaan (mazhab) yang diikuti secara membuta.
Ketiga, terus menerus melakukan kemaksiatan/dosa, watak kesombongan, takluk akan nafsu dunia. Semuanya itu adalah penyebab hati menjadi gelap dan berkarat. Ketika dosa dan hasrat akan duniawi ini semakin bertambah saat itulah hakikat makna Alquran semakin tersembunyi. Sebaliknya ketika hati telah jernih, maka penyingkapan akan makna Alquran semakin terang nan nampak.
Di sini, penting bagi kita untuk melakukan mujahadah (perang besar dengan penuh kesungguhan menundukkan hawa nafsu), tazkiyyah al-nafs (penyucian jiwa/hati dari sifat-sifat tercela) Jika kita telah sukses di tahap ini, hati kita akan menjadi bening dan saat itu juga cahaya Alquran mulai merasuki ke relung kalbu kita yang terdalam.
Keempat, memiliki keyakinan untuk menegasikan makna batin Alquran dan hanya menerima, mengakui makna lahir semata. Di dalam kitab Misykat al-Anwar Imam al-Ghazali menyebutkan kelompok ini dengan sebutan kelompok Hasyawiyyah. Paham ini selamanya tidak akan mampu menguak makna batin Alquran.
Semoga kita semua diberikan kemampuan dan kesiapan untuk menerima pancara Ilahi, sehingga kita mampu merasakan keindahan, kedahsyatan, dan keluasan akan makna Alquran baik lahir dan batin.