Pada saat pandemi Korona menyeruak, dengan berbagai narasi dan opini yang berkembang, masyarakat menjadi panik, cemas hingga hampir putus asa. Memang salah satu karakter masyarakat kita adalah “masyarakat wacana”. Mereka, kita, cenderung mudah dipengaruhi oleh opini yang berseliweran di media konvensional dan digital, tanpa mencari tahu lebih jauh kebenarannya. Salah satu wajah kurangnya literasi kita.
Di luar dari apa pun opini yang berkembang, sebagai manusia yang berpikir dan beriman, mestinya kita tak mudah diombang-ambing oleh wacana atau keadaan. Manusia memiliki kehendak bebas untuk menentukan pilihannya dalam menyikapi apapun yang terjadi pada dirinya.
Dalam bahasa yang lain, manusia tidak ditentukan oleh faktor-faktor di luar dirinya. Tentu saja, faktor eksternal (lingkungan, pekerjaan, keluarga media sosial, dll) memengaruhi proses berpikir kita, namun hasilnya ditentukan oleh manusia itu sendiri. Di antara stimulus dan respon, manusia memiliki kebebasan untuk memilih (Baca: 7 Habits of Highly Effective People, Stephen Covey, 2013)
Ubah Mindset
Victor Frankl, psikolog keturunan Yahudi, mengalami hari-hari yang sangat buruk di penjara camp Nazi. Setiap hari ia dihina dan disiksa. Bukan hanya dia sendiri, orang-orang yang disayanginya, orangtuanya, istri dan saudara laki-lakinya juga disiksa dan meninggal di depan matanya.
Setiap hari, Frankl harus mengalami dan menyaksikan penyiksaan orang-orang di camp maut itu. Banyak di antara tahanan memilih bunuh diri karena tak sanggup menghadapi hari-hari di dalam penjara.
Lalu Frank menggunakan kehendak bebasnya, untuk memilih bagaimana respon yang akan dambil, terhadap keadaan yang melingkupinya. Bukan abra kadbra, Frankl bisa dengan mudah sampai pada titik ini. Sebelumnya, ia mengalami guncangan yang tak terkira.
Namun ia sampai pada puncak kesadaran diri sebagai manusia yang bebas berkehendak. Frankl menggunakan anugerah Tuhan yang diberikan kepadanya. Ia mengubah pola pikirnya dalam melihat keadaan. Pola pikir bahwa manusia dikendalikan oleh lingkungan, menjadi manusialah yang memilih bagaimana merespon lingkungan itu.
Bahkan di saat kita tak punya pilihan, seperti yang dialami Frankl di penjara Nazi, masih tersedia satu pilihan, yaitu bagaimana merespon dan mengendalikan pilihan itu.
“10 B” Tips Bahagia
Peristiwa buruk yang dialami Victor Frankl, mungkin sebanding bahkan lebih buruk dari wabah Corona yang sudah enam bulan ini menghantui kehidupan hampir seluruh dunia. Namun, berapa banyak diantara kita yang bisa merespon pandemi dengan kehendak bebas untuk bahagia dalam keadaan apapun? Mungkin tak banyak.
Prinsip kebahagiaan sejatinya datang dari dalam diri setiap manusia (state of mind). Ia bukan sesuatu yang given. Bahagia adalah hasil dari pergulatan stimulus dan respon terhadap keadaan tertentu. Wujud bahagia itu bisa jadi relatif. Tergantung bagaimana setiap orang mengartikannya.
Tapi bagaimana caranya bahagia menghadapi pagebluk maha dahsyat yang mengubah semua sendi kehidupan ini?
Lagi-lagi bukan pekerjaan mudah jika kita belum memahami prinsip dan caranya. Saya merumuskan “10 B” tips bahagia di masa pandemi.
Pertama, bersyukur. Bagian ini paling klasik, namun tak bisa dihindari. Bersyukur artinya, mengapresiasi bahwa sampai hari ini, kita dan orang-orang terdekat kita masih hidup, dalam keadaan sehat, dan masih bisa beraktivitas, meski dalam ruang terbatas. Jutaan orang di dunia, tak mendapatkan itu. Mereka telah lebih dulu meninggal karena Covid 19.
Jutaan orang lainnya, kehilangan penghasilan, terseok-seok agar bisa sekedar makan atau membeli susu untuk anaknya. Menurut penelitian, salah satu cara bersyukur yang baik adalah dengan mengekspresikannya ke dalam ucapan, tulisan atau karya tertentu.
Kedua, berpikir positif. Semasa pandemi, kita diberi banyak waktu berefleksi mengenal diri, berkumpul bersama keluarga, melakukan banyak kegiatan, lebih dekat dengan lingkungan, yang mungkin sebelumnya hampir tak sempat kita lakukan karena kesibukan di luar rumah.
Ketiga, beri waktu pada diri (me time). Terlalu lama di rumah, bersama orang-orang yang sama, bukan tanpa masalah. Beberapa penelitian menunjukkan meningkatnya stres selama di rumah. Salah satu cara menyiasatinya adalah melakukan me time, yaitu memberi waktu pada diri kita dengan memberikan haknya untuk tenang, senang, dan santai.
Baca buku, nonton, ngemil, telepon teman, teman, bermain tik tok, adalah beberapa cara yang bisa dilakukan dalam me time. Lakukan apa saja yang membuat kita merasa lebih baik dan bersemangat untuk kembali ke aktiifitas lainnya.
Keempat, Bobo nyenyak. Penelitian psikolog dan Nature Communication merilis bahwa orang yang kurang tidur cenderung lebih rapuh dan lebih tersakiti oleh kesepian. Mereka yang tidurnya cukup, lebih gampang mengelola emosinya, mudah berkomunikasi, berteman dan berempati pada orang lain.
Kelima, bersama keluarga (family time). Kapan terakhir kali berkumpul dan mengenal betul setiap anggota keluarga kita? Sebelum pandemi, rasanya hal itu terasa sulit di tengah kesibukan pekerjaan dan kebisingan kota besar. Bagi keluarga yang aktif di luar rumah, mungkin hanya akhir pekan atau makan malam saja pertemuan antar anggota keluarga terjadi.
Enam bulan terakhir ini, teras, dapur, kebun belakang rumah, dan ruang keluarga, menjadi tempat-tempat perjumpaan antar angora keluarga. Momen ini harus dirayakan.
Bermeditasi, adalah tips keenam. Sederhananya, meditasi berarti berusaha tenang dan fokus pada satu waktu dan tempat di mana kita berada saat itu. Biasanya dilakukan sambil duduk bersila dan menutup mata. Namun bisa juga sambil duduk santai atau berbaring.
Intinya, fokus pada keluar masuknya nafas sambil berusaha tenang dan tidak terganggu oleh apa pun. Mereka yang rajin bermeditasi memiliki tingkat stres yang lebih sedikit dibanding yang tidak (penelitian Georgetown University Medical centre, AS).
Ketujuh, olahraga. Bukan hanya agar sehat atau cantik, namun berolahraga apapun jenisnya, membantu bahagia. Sebab ketika berolahraga, cairan endorphin (yang menghasilkan rasa senang) keluar dari dari tubuh. Kedelapan, berkarya (stay productive).
Dalam pengalaman saya, di masa pandemi inilah puncak produktivitas itu. Banyaknya waktu di rumah, di tengah tekanan dalam berbagai hal, justru makin memacu untuk melakukan banyak hal positif. Selama pandemi, saya sudah menerbitkan tiga buku dan satu modul.
Ini adalah waktu yang baik untuk mengasah ide, mengembangkan ilmu dan melatih keterampilan-keterampilan baru. Banyaknya aktivitas yang positif membantu kita mengalihkan perhatian pada pandemi, dan meningkatkan tingkat kepercayaan pada kemampuan diri.
Tips selanjutnya, berhubungan dengan dunia luar (stay connected). Physychal distancing yes, loss connecting, no! Cukup fisik kita yang tak berjumpa, namun hati dan pikiran harus selalu terhubung dengan keluarga jauh, teman main, rekan kerja, dan komunitas sosial kita. Tetap terhubung dengan orang lain membantu kita merasa tidak kesepian atau sendiri menghadapi pandemi. Berhubungan dengan orang-orang positif tentu memotivasi kita menjadi positif pula.
B berikutnya adalah berempati. Selama pandemi, banyak beredar video orang-orang di Eropa bernyanyi dan bertepuk tangan di atas balkon masing-masing, untuk mengapresiasi para dokter dan tenaga medis yang sudah berjuang selama pandemi. Beredar juga video beberapa selebriti dunia yang mengucapkan terima kasih pada tenaga medis.
Itu adalah contoh empati yang tumbuh selama pandemi. Di Indonesia sendiri, sejak Maret, komunitas, covil society, perusahaan, dan individu, juga berlomba-lomba memberikan donasi kepada pedagang kaki lima, driver ojol dan masyarakat di perkampungan. Dalam banyak penelitian disebutkan bahwa berbuat baik, termasuk berempati pada orang lain, membantu meningkatkan rasa bahagia.
Tips terakhir, berbinneka tunggal ika. Penelitian psikologi terbaru menyebutkan orang yang hidup dalam lingkungan beragam, cenderung lebih penolong, ramah dan berpikir terbuka. Tak heran, di masa pandemi tingkat gotong royong masyarakat Indonesia lebih tinggi sebab kita merasa senasib dan sepenanggungan, sebagaimana awal mula bangsa ini terbentuk.
Tips-tips di atas hanya akan berguna jika dilakukan dan dilatih terus-menerus, hingga kita menjadi pribadi yang memiliki resilient tinggi, dalam kondisi apa pun. (SI)