Sedang Membaca
Benang Kusut Politik dan Agama
Satrio Dwi Haryono
Penulis Kolom

Pegiat Komunitas Dianoia sembari mukim di PP al-Musthofa Ngeboran Boyolali.

Benang Kusut Politik dan Agama

Menyoal agama kerap kali kita jatuh dalam determinisme sakralistik. Agama hanya dianggap sebagai wahyu Tuhan yang diturunkan melalui nabi lalu dirapikan menjadi kitab suci. Memang tidak salah definisi tersebut. Namun, sebenarnya lebih dari itu, agama tidak hadir secara bebas nilai melainkan penuh dengan nilai yang dapat membentuk beragam dimensi kehidupan manusia. Definisi agama harus ditarik dari langit menuju bumi, tidak hanya menyoal surga dan neraka melainkan juga menyoal manusia dan negara.

Sedikitnya, Departemen Agama merupakan lembaga yang memiliki otoritas dalam mendefiniskan agama. Meminjam istilah Smith (1964), proses yang dilakukan oleh Departemen Agama merupakan suatu kerja-kerja pelembagaan agama. Hal tersebut berimplikasi pada masyarakat yang dipaksa untuk menyesuaikan definisi yang telah ada.

Hefner dalam Mengelola Keragaman dan Kebebsan Beragama di Indonesia: Sejarah, Teori, dan Advokasi Buku I (2014) mencontohkan bahwa kaum Abangan dipaksa untuk memenuhi standar Islam dengan dalih tidak sesuai dengan ajaran pokok agama Islam. Proses pengagamaan ini berdalih bahwa Abangan memiliki struktur yang belum otentik dari komunitas Islam yang lebih besar. Proses agamaisasi ini bekerja dengan sangat kompleks yang memerlukan berbagai agensi dari berbagai sektor. Dengan begitu, politik agama sangat kentara dengan melakukan pendisiplinan terhadap kaum liyan.

Samsul Maarif dalam Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur (2018) membeberkan bahwa politik agama mengilustrasikan bagaimana masyarakat dan negara bekerja untuk membentuk kehidupan sosial dan politik yang saling bersaing. Memang, masyarakat kerap kali memandang agama secara an sich tanpa ada balutan apapun di dalamnya. Namun lebih dari itu, agama sarat dengan berbagai aspek, bukan lagi ‘agama ditinjau dari berbagai aspeknya’ namun agama menyimpan berbagai aspek di dalamnya.

Baca juga:  Faksionalisme di NU dan Era Baru Islam Politik

Praktek politisasi agama menjadi fakta tak terbantahkan bagaimana agama menyimpan aspek politik di dalamnya. Begitu pula, kebijakan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama. Alhasil, agama dan politik sulit dibedakan dan dipisahkan. Maka tak diragukan lagi, jika agama berkuasa maka agama akan menguasai berbagai lini kehidupan masyarakat bahkan politik.

Namun, penguasaan agama atas politik tak jarang pula berujung pada tindak diskriminatif dimana kelompok mayoritas berusaha untuk menciptakan kehidupan yang selaras dengan gagasannya sedangkan kelompok minoritas harus menderita dan dipaksa untuk menyesuaikan nilai-nilai yang diberikan oleh kelompok mayoritas. Melalui politik agama, kelompok mayoritas melakukan berbagai upaya untuk menjadikan agama sebagai kontrol, alat legitimasi serta kontrol atas warga negara. Kerap kali upaya tersebut hanya berpihak pada kelompoknya sendiri dengan mengesampingkan kelompok minoritas.

Negara melalui Kementerian Agama belakangan meluncurkan ‘pengagamaan’ bagi seluruh umat beragama di Indonesia. Pengagamaan tersebut dilabeli dengan tajuk Moderasi Beragama. Program yang memiliki embrio pada masa Orba (Baca: Tri Darma Kerukunan) ini bertujuan untuk melahirkan jenis agama yang moderat dan toleran (Kawangung, 2019).  Namun, mengingat dari keragaman agama di Indonesia hanya ada 6 agama ‘resmi’ yang diakui negara. Tentu, dengan analisa bahasa, program Moderasi Beragama akan sangat terbatas pada agama ‘resmi’ yang diakui negara saja.

Baca juga:  Bertemu Gus Dur Sejak dalam Pikiran

Secara tidak langsung ‘agamaisasi’ yang dilakukan negara turut menjadi tangan panjang diskriminasi pada kelompok agama di luar agama ‘resmi’. Dalam buku Politik Moderasi dan Kebebasan Beragama (2019) Bagir, dkk. membeberkan bahwa arus politik agama ‘resmi’ memainkan peranan yang cukup besar dalam lanskap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia.

Dalam hal ini, penghayat kepercayaaan merupakan salah satu dari sekian banyak korban peminggiran yang dilakukan oleh negara. Sedikitnya, terdapat 2 ranah dalam lanskap regulasi yang berbeda dimana penghayat kepercayaan masih mendapatkan diskriminasi. Dua ranah tersebut ialah pendidikan dan administrasi penduduk.

Pada ranah pendidikan, melalui Permendikbud No. 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan. Singkatnya, regulasi ini berupaya untuk mengakomodir siswa penghayat kepercayaan dalam menempuh pendidikannya melalui mata pelajaran ‘khas’ penghayat kepercayaan. Namun, faktanya terdapat daerah yang belum mengakomodir hal tersebut.

Melalui Laporan Tahunan Kebebasan Beragama Tahun 2022 yang diterbitkan Lembaga Sosial dan Agama Semarang menyebutkan bahwa persoalan tersebut berkelindan pada tidak adanya tenaga pengajar, walaupun ada beberapa ditemukan memiliki tenaga pengajar namun masih ada suatu kendala, seperti tidak adanya honor bagi tenaga pengajar tersebut. Selain itu, pada tahun 2021, terdapat ratusan siswa penghayat kepercayaan yang dipaksa untuk mengikuti mata pelajaran agama yang telah tersedia di sekolah seperti, Islam, Kristen, dan Budha (Semarang, 2022).

Baca juga:  Muhammad Abid Al-Jabiri dan Maroko

Pada ranah yang lain, yakni administrasi penduduk, negara melalui Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kebebasan dalam mencantumkan agama atau keyakinan dalam data kependudukan. Di sisi yang lain termaktub dalam pertimbangan hakim tidak dianutnya pengertian terminologi “agama” dalam pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 UU Administrasi Kependudukan termasuk kepercayaan. Sehingga penghayat kepercayaan dapat mencantumkan kepercayaan pada kolom KTP.

Memang, kabar baik ini telah tersebar di berbagai daerah. Persoalan pengisian kepercayaan pada kolom KTP sedikitnya telah terselesaikan dengan baik. Namun, bagaimana nasibnya ketika mencari pekerjaan? Apakah masyarakat benar-benar telah menghapus stigma terhadap penghayat kepercayaan?

Benang merah tulisan ini bukan untuk menyudutkan dan menyalahkan Kementerian Agama, juga bukan untuk menuduh program Moderasi Beragama, namun untuk refleksi kita, sebagai warga negara, ternyata di luar sana masih banyak warga negara yang terpinggirkan dan belum memiliki hak dasar sebagai warga negara seperti kita.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top