Sedang Membaca
Cara Nabi Muhammad Berinteraksi dengan Penganut Agama Lain
Satrio Dwi Haryono
Penulis Kolom

Pegiat Komunitas Dianoia sembari mukim di PP al-Musthofa Ngeboran Boyolali.

Cara Nabi Muhammad Berinteraksi dengan Penganut Agama Lain

makan nasi kepungan

 “Peringatan Maulid Nabi SAW mengandung makna yang dalam bagi Indonesia. Sosok Rasulullah mengingatkan kita akan pentingnya persatuan dan kesatuan di tengah keberagaman,” demikian pesan Gus Yaqut, Menteri Agama RI yang membawa kita pada masa lalu Kenabian yang kaya akan hikmah yang kontekstual dengan zaman ini.

Dalam konteks hubungan horizontal manusia antar manusia, untuk memenuhi hajat kerukunan perlunya kita menengok bagaimana Nabi Muhammad SAW berinteraksi dengan penganut agama lain. Tindak lampah dan ajaran Sang Rasul terhadap penganut agama lain menjadi bukti nyata dalam hal dialog lintas iman di tengah keberagaman masyarakat majemuk pada masa itu. Dalam hal ini, melalui sejarah, banyak kisah yang memuat nilai bagaimana Nabi Muhammad SAW berinteraksi dengan penganut agama lain.

Tak hanya itu, secara lebih mendasar, konsepsi mengenai kerukunan pun dapat ditemukan dalam nash al-Qur`an. Salah satunya ialah dalam Surat al-Kafirun ayat 6 yang berbunyi “bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Selain itu, Surat al-Baqarah ayat 256 pun memiliki nada serupa, ayat tersebut berbunyi “Tidak ada paksaan dalam (ber) agama)”. Tak sedikit pula hadis Nabi yang menuturkan hal serupa. Salah satunya ialah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Sang Rasul bersabda “Barang siapa yang menyakiti dzimmi (non-Muslim yang dilindungi), maka ia menyakitiku”.

Baca juga:  Meminjamkan Utang untuk Allah

Setidaknya melalui kedua ayat dan satu penggalan hadis ini mengafirmasi kerukunan dalam Islam yang ditopang dengan prinsip toleransi termasuk kepada non-Muslim.

Salah satu bukti konkrit mengenai sikap toleransi terhadap penganut agama lain yang diajarkan Sang Rasul ialah Piagam Madinah (Shahifah al-Madinah). Secara garis besar Piagam ini merupakan perjanjian yang disepakati Nabi Muhammad dengan berbagai komunitas (agama) lain di Madinah, seperti Yahudi, Nasrani, dan Pagan. Piagam ini menggarisbawahi hak yang sama dan hidup penuh cinta damai di bawah negara dengan syarat tidak melakukan tindakan yang merugikan terhadap komunitas lain.

Karen Armstrong, peneliti agama-agama kuno, melalui karyanya Muhammad: A Biography of the Prophet (1992) menuturkan bahawa Piagam Madinah merupakan satu dari banyaknya konstitusi yang mengakui hak warga negara tanpa melihat latar belakang agama. Secara lebih lanjut, Armstrong pun menyebut bahwa Islam tidak menindas kaum minoritas, Islam justru hadir untuk melindungi dan menghormati mereka (kaum minoritas).

Dalam Sirah Nabawiyah yang dikarang oleh Imam Ibn Hisham pun menyebutkan bahwa Piagam Madinah menekankan jaminan kebebasan beragama kepada semua komunitas, dengan syarat mematuhi hukum yang berlaku dan tidak menghianati negara. Dengan itu, Sang Rasul tidak memaksakan penganut agama lain untuk masuk Islam, justru yang dilakukan ialah menciptakan hubungan sosial yang penuh dengan cinta damai antar penganut agama lain.

Baca juga:  Sigmund Freud, Al-Qur'an, dan Perilaku Manusia Modern

Sementara itu, dalam Ihya Ulumuddin magnum opusnya Imam al-Ghazali menyebut Sang Rasul hidup berdampingan dengan damai bersama komunitas Yahudi dan Nasrani di Madinah serta tidak menyebarkan agama Islam secara paksa.

Dalam al-Majmu` Syarh al-Muhadzdzab garapan Imam Nawawi pun digambarkan hal serupa. Beliau menuturkan bahwa Sang Rasul tidak hanya bersikap adil dan hormat keapda penganut agama lain. Sang Rasul justru sering membantu penganut agama lain dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika Sang Rasul menerima tamu Nasrani dari Najran di Madinah pun memperlakukan hal yang serupa. Bahkan kaum Nasrani dari Najran tersebut berdialog dengan Sang Rasul mengenai ajaran Islam dan Nasrani. Uniknya, Sang Rasul mengizinkan kaum Nasrani tersebut untuk beribadah di Masjid Nabawi.

Menurut Syed Hossein Nasr, dalam karyanya yang berjudul Islam: Religion, History and Civilization (2001) beranggapan bahwa persitiwa tersebut tidak hanya menggambarkan toleransi pasif yang berhenti pada penghormatan terhadap agama lain melainkan toleransi aktif dengan menghormati penganut agama lain yang beribadah di Masjid Nabawi.

Selain itu, ketika awal mula perjalanan Piagam Madinah setelah disepakati bersama munculah pemberontakan dari beberapa komunitas Yahudi sepeti Bani Quraizah dan Bani Nadir. Pemberontakan yang berujung pada pelanggaran atas kesepakatan tersebut tidak berada dalam tataran negara tidak mengakomodasi mereka melainkan mereka melakukan penghianatan dan mengancam keselamatan umat Muslim pada waktu itu. Lantas, Sang Rasul mengambil sikap berdialog dengan mereka dan ternyata gagal baru kemudian bersikap tegas untuk mengusir mereka tanpa kekerasan.

Baca juga:  Bahasa Indonesia dan Perangai Ilmiah

Maka dari itu, kiranya kita menengok masa lalu Kenabian untuk mengaktualisasikannya pada kehidupan hari ini. Terlebih dalam konteks dialog lintas iman yang mana akhir-akhir ini kerap kali terjadi pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Sebut saja kasus penutupan tempat Gereja Yasmin di Bogor, Politik Agama kasus Ahok, insiden di NTT antara muslim dan Kristen, dan kasus-kasus lainnya adalah segelintir kasus intoleransi. Belum lagi kasus penodaan agama dan intoleransi dalam media maya yang marak berseliweran di tampilan gawai kita.

Dialog lintas iman yang merupakan tonggak dari toleransi beragama yang diajarkan oleh Sang Rasul perlu kita baca dan garis bawahi sebagai pelajaran yang begitu berharga terlebih dalam konteks hari ini yang begitu banyak isu dan kasus yang mengarah pada konflik lintas iman. Ajaran perdamaian Sang Rasul tidak hanya sekadar untuk menghindari konflik, tetapi suatu upaya aktif guna menciptakan masyarakat yang adil dan damai serta mengakui hak-hak individu tanpa memandang latar belakang agama.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top