Di koran-koran edisi akhir pekan, para pembaca sastra sering menemukan puisi dan cerita pendek gubahan para pengarang berlatar pesantren. Mereka sregep bersastra. Mereka di pesantren mungkin sudah keranjingan membaca buku dan ngobrol sastra. Mereka terduga memiliki kiai-kiai berlangganan koran dan majalah. Para kiai tentu rajin membeli buku-buku baru.
Pada masa berbeda, pesantren memang “pasar” bacaan. “Santri di bulan Ramadhan ini bisa juga berdakwah lewat media cetak,” kalimat di Tempo, 23 Mei 1987. Kalimat itu biasa saja. Hal tak biasa adalah penerbitan Berita Pesantren di Solo, Jawa Tengah. Koran dengan harga Rp 150 diedarkan ke pesantren-pesantren. Laku! Perusahaan mencatat oplah Berita Pesantren, 60.000-7000 eksemplar.
Di pelbagai kota, terbitan koran atau buletin di pesantren sudah berlangsung lama. Kita mungkin menunduk sedih bila tak menemukan daftar panjang terbitan-terbitan di pesantren seluruh Indonesia: buletin, koran, dan majalah. Semua terbitan itu wajib dicatat dan dikoleksi lengkap untuk ditaruh di ruangan mengungkap sejarah kaum pembaca di pesantren, dari masa ke masa. Dulu, kita memang pernah mengetahui dan membaca majalah Pesantren berselera Prisma. Majalah itu sulit langgeng. Keinginan memiliki dokumentasi semua terbitan pers di pesantren anggaplah mimpi lawas.
Ramadhan abad XXI terpahamkan para santri dengan peristiwa-peristiwa berbeda, tak lagi memegang Berita Pesantren atau sekian terbitan. Ikhtiar meningkatkan iman dan takwa mulai dimanjakan gawai. Buku-buku terus terbaca para santri. Kita cuma menduga ada pengabaian untuk buletin dan koran. Zaman tak lagi menginginkan ada kerepotan dengan terbitan edisi cetak. Kita memaklumi saja. Ramadhan, para santri di Indonesia masih membaca. Pahala berlimpahan untuk mereka bila kebablasan menjadi penulis atau bergerak di industri penerbitan buku dan pers.
Kini, kita ingin mengenang “bapak buletin asal Malang, Jawa Timur. Tokoh tak lagi dikenali oleh kaum sregep pengajian dan serius memikirkan agama di gawai. Tokoh itu bernama Roestam Hardjodipoero. Pada masa kolonial, ia bergabung di Sarekat Islam. Roestam menulis untuk Sedio Tomo dan Fajar Asia. Ia berguru pada HOS Tjokroaminoto. Pada usia tua, ia semakin rajin beribadah ke masjid. Jadilah pengamat model dakwah berlangsung di masjid-masjid pada masa setelah malapetaka 1965. Roestam berpikir dan menunaikan janji besar.
Pada 1970, ia mengalami Lebaran bersejarah. Di Tempo, 27 Agustus 1977, kita membaca pemenuhan janji Roestam dalam dakwah: “Dan jadilah apa yang diidamkannya. Tanggal 1 Syawal tahun itu juga (1970) terbit Mimbar Jumat dalam bentuk sederhana. Oh, ia menerbitkan buletin dakwah! Lebaran diartikan dengan buletin. Misi penerbitan buletin: “membantu pemerintah dalam memberikan penerangan dan pembangunan umat bermental agama dengan jalan memberikan penyegaran pengetahuan agama.” Di Malang, umat memberi sambutan dan sokongan untuk terbitan Mimbar Jumat. Laris dan berpengaruh dalam dakwah agar tak melulu lisan. Buletin ditaruh di puluhan masjid setiap Jumat.
Roestam bahagia. Tahun demi tahun, ia pantang leren meski semakin tua. Roestam malah menerbitkan sekian buletin: Mimbar Bacaan, Mimbar Dakwah Subuh, Mimbar Mesjid, Mimbar Penggugah, Mimbar Raya, dan Mimbar Pengetahuan. Pada masa 1970-an, umat Islam rajin beribadah di masjid dan rajin membaca buletin dakwah. Mereka tak cuma memberi telinga dalam pengajian-pengajian. Di masjid, kehadiran buletin-buletin itu “kesegaran” dan ajakan berpikir meski sederhana. Kita memberi pujian tapi ragu meneruskan ikhtiar berdakwah menggunakan buletin di abad XXI. Kita mendingan malu. Begitu.