Sedang Membaca
Hubungan antara Negara dan Kiai-Pesantren pada Masa Orde Baru
Yanwar Pribadi
Penulis Kolom

Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten dan penulis buku Islam, State and Society in Indonesia: Local Politics in Madura

Hubungan antara Negara dan Kiai-Pesantren pada Masa Orde Baru

Hubungan antara negara dan Islam pada masa Orde Baru sering kali bersifat ambigu dan kompleks. Di satu sisi keduanya dapat menunjukkan hubungan yang sangat mesra. Namun, di sisi lain, mereka juga sering kali terlibat dalam hubungan yang tidak harmonis. Yang jelas, apapun bentuknya, Islam pada masa Suharto tersebut tidak jarang menampilkan kekuatannya yang menantang kewenangan negara. Hal tersebut sebenarnya tidaklah khas Indonesia, karena Islam juga kerap kali memberikan tantangan bagi negara-negara Muslim dan non-Muslim lainnya di dunia.

Tulisan ini ingin menunjukkan bagaimana pengalaman negara Indonesia pada masa Orde Baru dalam berhadapan dengan Islam dan aspek-aspek sosial-politiknya. Fokus pada Islam sendiri dalam tulisan singkat ini ada pada kiai dan pesantren. Keduanya adalah unsur-unsur utama, selain tentu saja NU, yang dianggap sebagai representasi dari kekuatan Islam yang mampu memberikan tantangan yang besar bagi pemerintahan Orde Baru di bawah rezim otoriter Suharto.

Pesantren 

Dalam sejarah Islam di Indonesia, pesantren umumnya dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional. Sebagian pesantren mencari bentuk akomodasi dengan pemerintah yang berkuasa sembari menjaga jarak tertentu darinya. Pesantren bersifat tradisional dalam hal materi pendidikannya, yang utamanya adalah pendidikan agama; dalam hal proses belajar dan mengajarnya; dan dalam manajemennya, yang utamanya berada di tangan ulama tradisional. 

Setidaknya ada tiga peran penting pesantren di dalam masyarakat Muslim: pertama, sebagai pusat transmisi pengetahuan agama; kedua, sebagai penjaga tradisi Islam; dan ketiga, sebagai pusat reproduksi ulama. Pesantren dan lembaga-lembaga serupa di Asia Tenggara, seperti surau, adalah pusat-pusat kehidupan agama pedesaan dan mereka cenderung berorientasi pada tradisi dan bersifat konservatif secara sosial (Noor, Sikand, dan Van Bruinessen 2008: 26; Azra dan Afrianty 2005: 1; Van Bruinessen 2008: 218). Pesantren telah menjadi kekuatan penting dalam budaya santri sejak abad ke-19 di Hindia Belanda. Kendati bersifat tradisional, pesantren sebagai pusat pendidikan berkembang menjadi komponen utama modernisasi.

Salah satu faktor paling penting dalam kemampuan bertahan pesantren di Indonesia adalah kemampuannya mengakomodasi keadaan yang berubah cepat tanpa kehilangan ciri khas dasarnya (Azra dan Afrianty 2005: 2). Hal tersebut pada taraf tertentu tidaklah mengejutkan, mengingat fakta historis bahwa pendidikan agama telah memainkan peran penting dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Misalnya, pesantren adalah satu-satunya bentuk pendidikan di Jawa sebelum abad ke-20 (Abdullah 1986: 100).

Baca juga:  Beberapa Perbedaan antara Idul Adha dan Idul Fitri, Apa Saja?

Setelah Suharto berkuasa, kebanyakan pimpinan pesantren mengembangkan pola pikir yang lebih dinamis dalam menjawab tantangan yang diajukan oleh pemerintah Orde Baru untuk memenuhi peningkatan tuntutan pekerjaan dalam sektor bisnis dan pemerintahan, menyusul rencana-rencana pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pesantren kemudian dimodernisasi, termasuk dalam hal sistem pendidikan; misalnya, dengan mengalokasikan 70 persen kurikulumnya untuk mata pelajaran umum. Akibatnya, banyak lulusan pesantren mampu bekerja dalam berbagai sektor dan instansi-instansi pemerintah, dan juga dunia bisnis modern (Hasan 2009: 5). Proses modernisasi juga terlihat jelas pada keikutsertaan orang-orang pesantren dalam dunia politik.

Kiai 

Kiai adalah pelaku utama dalam hubungan antara warga dan negara di banyak daerah pedesaan di Indonesia pada masa Orde Baru. Bersama dengan figur lain dari para pemimpin lokal, seperti kepala desa dan pemimpin-pemimpin adat, mereka adalah para pialang budaya, ekonomi, politik, dan sosial, yaitu suatu fungsi yang membawa keuntungan-keuntungannya sendiri. Meminjam istilah Edward Aspinall, kelompok-kelompok sosial tersebut sering dilihat memainkan peran sebagai klien terhadap mereka yang kedudukannya berada di atas dalam piramida patronase dan sebagai patron untuk mereka yang berada di bawah (Aspinall 2014: 567-568).

Kiai pesantren adalah kiai yang memiliki dan/atau memimpin pesantren. Dibanding dengan jenis-jenis kiai lainnya, misalnya kiai dukun atau kiai hikmah dan kiai langgar atau kiai kampung, kiai pesantren umumnya dipandang sebagai yang tertinggi derajatnya. Kiai pesantren adalah agen-agen nyata dari kehidupan sosial, budaya, dan politik warga di tingkat akar rumput dan merupakan contoh paling ideal dari budaya santri. Mereka adalah apa yang diidentifikasi oleh Eric Wolf sebagai para pialang budaya (cultural broker), yaitu orang-orang yang ‘menghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih besar’ (Wolf 1956: 1075) dan yang menentukan apa yang tepat bagi warga setempat. 

Di Jawa pada abad ke-19, kiai tarekat, kiai pesantren dan tokoh-tokoh agama lainnya, seperti guru ngaji, imam, dan juru kunci, dapat meningkatkan kedudukan mereka di pedesaan. Mereka dibutuhkan oleh warga dalam beragam upacara ritual yang sebagian di antaranya tetap dipertahankan hingga sekarang. Sementara itu, di bawah tekanan dari pemerintah kolonial Belanda, para bangsawan setempat secara perlahan bergabung ke dalam pemerintahan kolonial. Bagi para tokoh agama dan warga desa, hal ini menandakan bahwa para elite telah bergabung dengan penguasa kafir. Akibatnya, para pemimpin keagamaan dan orang-orang desa menjadi jengkel dan tidak puas, karena mereka memandang elite secara ideal sebagai pemimpin yang mandiri dan berpengaruh.  

Baca juga:  Sejarah Gus Dur Muda di Kairo: Buku, Film hingga Politik

Tidak seperti para bangsawan, tokoh-tokoh agama seperti kiai berhasil menjaga kemandirian mereka. Turunnya wibawa bangsawan membuat kiai dapat memperkuat kedudukan mereka di masyarakat. Perubahan-perubahan dalam hierarki lokal yang secara langsung dan tidak langsung disebabkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Jawa dapat dilihat sebagai faktor utama bagi kiai dalam memperkuat kedudukan mereka sebagai pemimpin keagamaan. Namun, di Aceh situasinya agak berbeda karena ulama tampaknya hidup di luar dunia pedesaan dan karenanya bukan merupakan produk alamiah masyarakat pedesaan (Siegel 1969: 48).

Hubungan sosial-politik

Keterlibatan kiai pesantren dalam politik pada masa Orde Baru tidak serta-merta menunjukkan adanya perubahan sikap di antara kiai tradisional-konservatif dengan menjadi kiai progresif dan tereformasi. Ada kecenderungan di mana kiai memberikan dukungan politik mereka untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan sebagian kecil dari mereka secara terbuka mendukung Golkar. Namun kebanyakan kiai tetap menjaga jarak dari partai-partai politik selama Orde Baru. Hanya sejumlah kiai tertentu yang secara terbuka ikut serta dalam politik. Cara-cara baru kiai dalam pendekatan politik, seperti mengajak santri yang lebih tua untuk memilih partai politik tertentu, hanya tampak di pesantren-pesantren di mana cara-cara ini sangat dihargai oleh para santri.

Stephen Lyon memberi kita perbandingan yang baik dalam kasus Pakistan. Di sana, ulama memiliki kedudukan yang unik dalam upaya mewarnai hubungan antara mereka dan negara karena berbagai alasan. Mereka tidak mampu sepenuhnya berada di luar sistem negara, sehingga mereka tidak dapat mencapai kemandirian yang memungkinkan mereka untuk benar-benar membangun otoritas legal-rasional di mana para penguasa memegang kekuasaan yang lebih besar daripada mereka sendiri (Lyon 2004: 222). 

Menurut Salwa Ismail, secara historis ulama memainkan peran sebagai penasihat, dan keterlibatan mereka dalam politik dan pergulatan kekuasaan dibentuk oleh kedudukan mereka dalam hierarki sosial dan politik pada waktu tertentu. Namun, mereka berkontribusi pada definisi ruang publik melalui pernyataan-pernyataan mereka tentang masalah-masalah kepentingan publik, pemberian fatwa, dan melalui dakwah kepada penguasa maupun warga (Ismail 2004: 153).

Di Indonesia pada masa Orde Baru, di desa dan wilayah-wilayah kecamatanlah kekuatan besar kiai terlihat, tidak hanya oleh warga tetapi juga oleh para pejabat negara. Di satu sisi, para pejabat ditantang oleh kekuatan para kiai. Namun, di sisi lain, mereka juga mendapatkan keuntungan dari kepemimpinan kiai di mata warga. Tanpa dukungan kiai, para pejabat negara hanya memiliki sedikit kemampuan untuk melibatkan warga desa dalam penerapan program-program pembangunan selama masa Orde Baru. Baik para pejabat tersebut maupun para kiai tentu saja menyadari keadaan tersebut. Inilah salah satu hal penting yang membuat hubungan antara negara dan kiai-pesantren pada masa Orde Baru menjadi sangat kompleks dan ambigu.

Baca juga:  Tahun 1990an, Hari-Hari Terberat Gus Dur: Perjuangan Melawan Pencekalan

Para kiai pesantren terkemuka menyadari bahwa mereka dapat memperoleh pandangan masyarakat yang lebih akurat dengan cara bertemu dengan warga yang bukan hanya dari daerah mereka sendiri, tetapi juga dari daerah-daerah lain. Pada masa Orde Baru, ketika hanya ada sejumlah kecil orang berpendidikan di desa yang memiliki akses radio, televisi, surat kabar, dan majalah, para kiai mampu menyebarluaskan berita-berita terkini kepada para tamu mereka. Dengan dibekali oleh informasi terkini, mereka dapat menyebarluaskan pengetahuan mereka mengenai dunia sosial-politik di luar tempat asal mereka kepada warga, yang tentu saja kadang kala pesan-pesan tersebut disesuaikan dengan preferensi sosial-politik mereka. 

Mereka juga menyadari bahwa dengan memperlihatkan kemandirian mereka, para kiai dapat membuktikan bahwa mereka bertanggung jawab hanya kepada Tuhan. Dengan menjauhkan diri mereka dari wilayah yang tidak agamis, para kiai memperoleh kepercayaan dari para pengikut mereka. Selama seorang kiai bersikap mandiri, ia akan menikmati kepemimpinan di antara para pengikutnya. 

Memiliki informasi tentunya penting dalam kehidupan sosial-politik bagi seorang kiai. Sebagaimana dikatakan oleh Anna Tsing, berita adalah informasi yang dibutuhkan oleh seseorang untuk menjadi partisipan dalam kelompok publik dan masalah politik. Orang menjadi subjek publik dan politik karena ia membaca, menanggapi, dan membuat berita kembali. Namun, membuat berita dan menafsirkan berita melahirkan garis perbedaan dan eksklusi serta ruang partisipasi (Tsing 2003: 192). Kita harus ingat bahwa sebagai elite keagamaan, para kiai melalui pesantrennya dapat merangkul, menantang, dan mengubah ideologi dan kebijakan negara yang dipaksakan pada masa Orde Baru; inilah hal-hal yang tidak mampu dilakukan oleh kebanyakan orang.  

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top