Sedang Membaca
Mengenal Usul Fikih (3): Mapping Pembelajaran Usul Fikih

Nahdliyin, menamatkan pendidikan fikih-usul fikih di Ma'had Aly Situbondo. Sekarang mengajar di Ma'had Aly Nurul Jadid, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Menulis Sekadarnya, semampunya.

Mengenal Usul Fikih (3): Mapping Pembelajaran Usul Fikih

80738757 1292038130976079 3632669135499952128 O

Dalam tulisan ini, penulis akan memberi gambaran secara umum bagaimana pemetaan pembelajaran dalam usul fikih. Secara sederhana, bahasan dalam usul fikih dibagi menjadi enam titik pembahasan utama. Yaitu al-Adillah al-Syar’iyah, al-Ahkam al-Syar’iyah, al-Qawaid al-Usuliyah al-Lughawiyah, al-Qawaid al-Usuliyah al-Tasyri’iyah (maqasid al-Syariah), al-Taarudh wa al-Tarajih dan al-Ijtihad.

Pertama, al-Adillah al-Syar’iyah, yaitu dalil-dalil yang dijadikan sumber dalam melahirkan hukum Islam. Dalil secara etimologis dimaknai dengan “sesuatu yang memberi petunjuk”, sementara secara terminologi ia adalah sesuatu yang dibaca seacara benar dapat melahirkan hukum syar’i, baik secara meyakinkan (qath’i) dan bersifat asumtif (dzanni).

Dalil dalam aspek kehujjahan ada dua, pertama, dalil-dalil yang disepakati kehujjahannya, seperti al-Qur’an, al-Sunnah, Ijmak dan Qiyas. Kesimpulan ini dipahami dari sabda firman Allah Swt.:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs. Al-Nisa’ [04]: 59)

Kedua dalil-dalil yang diperselisihkan kehujjahannya, dalam arti ada yang menggunakan dan ada yang menolak. Masuk kategori ini adalah Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah, Urf, Syar’u Man Qablana, Mazhab al-Shahabi, Sadd al-Dzariah dan Istishab.

Baca juga:  Dada Para Pendadu: Tentang Klaim Kesucian dan Keluhuran

Kedua, al-Ahkam al-Syar’iyah, yaitu hukum dan unsur-unsur di dalamnya. Dalam bagian ini dibahas apa itu hukum? Apa ukum taklifi? Hukum wadh’i? Hakim (inisiatif hukum)? Mahkum alaih (orang yang dikenai hukum)? Mahkum fih (objek atau yang dibebankan kepada orang mukallaf)? Dan lain sebagainya. Dalam segmen ini juga dibahas konsep Haqullah dan Haqqul Adam.

Bahasan tentang al-Ahkam al-Syar’iyah dan ruang lingkupnya sangat penting dalam fikih dan usul fikih. Tanpa mengetahui konsep ini, maka konsep al-Ahkam al-Syar’iyah sangat sangat berkaitan dengan orang mukallaf (masyarakat taklif) tak bisa dipahami secara sempurna.

Ketiga, al-Qawaid al-Usuliyah al-Lughawiyah, yaitu pembahasan tentang kaidah tata bahasa. Poin ini adalah poin yang sangat krusial dalam ilmu usul fikih. Karena dengannya bagaimana konten al-Qur’an dan al-Sunnah dibedah. Jadi bab ini hendak mengantarkan seseorang untuk memahami maksud Syari’ (Allah Swt. Dan Rasulullah).

Umat Islam menyakini, bahasa al-Qur’an adalah bahasa yang sangat kaya. Pesan-pesan Tuhan, tersimpan dalam al-Qur’an. Sebab itu, struktur bahasa, gaya bahasa dan diksi yang dipakai al-Quran memiliki makna tertentu. Nah, dengan kaidah kebahasaan ini, makna-makna itu hendak dipahami.

Sekadar contoh misalnya, dalam al-Qur’an ketika Allah Swt. Hendak memerintahkan sesuatu al-Qur’an kadang menggunakan bahasa perintah (al-Amr), kadang menggunakan bahasa informatif (kalam khabar), kadang menggunakan bahasa tegas, kadang menggunakan bahasa yang lunak dan begitu seterusnya.

Kajian dalam kaidah bahasa (al-Qawaid al-Usuliyah al-Lughawiyah) meliputi kajian lafadz, kajian makna  dan kajian dalalah. Untuk yang pertama, misalnya berkisar soal:

  1. Antara lafadz Aam dan Khas
  2. Antara mutlaq dan muqayyad
  3. Antara haqiqat dan majaz
  4. Antara muhkam, mujmal dan mutasyabih
  5. Antara zahir dan nash
  6. Antara musytarak dan muradif
  7. Antara amar dan nahi
Baca juga:  Pemetik Puisi (14): Radhar Panca Dahana

Ruang lingkup kedua dalam kajian bahasa adalah kajian makna. Poin ini hadir untuk mengonfirmasi kembali sebuah pemahaman. Misalnya, apakah sebuah lafadz dipahami secara hakiki atau majazi? Dan beberapa konfirmasi lainnya.

Sementara yang terakhir adalah kajian dalalah, yaitu bagaimana memahami proses melahirkan sebuah hukum dari bunyi teks. Dalam kata lain, kajian ini membahas bagaimana ketentuan mengistinbath hukum dari nash. Dalam hal ini ada dua metode yang masyhur dalam usul fikih.

Pertama metode Mutakallimin, menurut mazhab ini sebuah hukum bisa dipahami dari nash baik secara mantuq (bunyi teks eksplisit) dan mafhum (pemahaman di balik teks). Mantuq sendiri dibagi menjadi dua, sarih (tegas) dan Ghairu al-Sharih (tidak tegas). Sedangkan mantuq ghairu al-Sharih ada tiga, isyarah, iqtidha’ dan ima’. Adapun mafhum dibagi menjadi (1) mafhum muwafaqah, (2) mafhum mukhalafah.

Kedua metode Hanafiyah. Dalam mazhab ini hukum dari sebuah bunti teks bisa dipahami dengan empat pendekatan, (1) Ibarah al-Nash, (2) isyarah al-Nash, (3) iqtidha’ al-Nash.

Keempat, maqasid al-Syariah (tujuan akhir dari penerapan sebuah hukum). Berangkat dari sebuah tesis bahwa syariat datang dan dibuat untuk merealisasikan kemaslahatan kepada manusia di dunia dan akhirat. Kemaslahatan itu baik dperoleh dengan mangambil kemanfataan dan menolak kemafsadatan.

Maqasid al-Syariah adalah tujuan akhir dan rahasia agung yang terdapat dalam hukum-hukum syariat. Seorang mujtahid harus tahu apa maqasid al-Syariah ini. Tujuannya ketika ia hendak menetapkan sebuah hukum maka hukum yang akan ditetapkan tidak kering dan berada di menara gading.

Baca juga:  Demokrasi dalam Keberlanjutan Watak Kekuasaan Raja-Raja Kuno dan Kompeni

Kelima, al-Taarudh wa al-Tarajih, yaitu konsep pertetantangan antara satu dan dalil dan metode penyelesaiannya. Al-Taarudh secara bahasa adalah pertentangan antara dua hal. Dalam konteks bahasan usul fikih, pertentangan di sini adalah pertentangan satu dalil dengan dalil lain. Secara hakiki sebenarnya tidak ada apa yang disebut pertentangan antar dalil, sebab itu menunjukkan bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber utama dalam Islam eror. Dan itu mustahil terjadi. Maka ketika dihadapkan dengan adanya satu dalil yang bertentangan dengan dalil lain, maka sebenarnya yang bertentangan adalah pemahaman manusia itu sendiri.

Nah, ketika ditemukan dua pertentangan itu maka diperlukanlah al-Tarajih, yakni melakukan metode penyelesaian. Ini yang kemudian disebut dengan al-Tarajih.

Keenam, al-Ijtihad. Ia dimaknai dengan upaya yang sungguh-sungguh. Secara definisi syar’i, ijtihad adalah kesungguhan mujtahid dalam mengerahkan kemampuannya untuk melahirkan hukum syar’i amali (hukum fikih praktis). Landasan ijtihad adalah ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk berfikir, merenungi banyak hal.

Dalam bab ijtihad, ada beberapa pembahasan. Misalnya syarat-syarat mujtahid, ruang lingkup ijtihad, apakah nabi berijtihad? Konsekuensi dari ijtihad? dan beberapa hal yang berkaitan.

Itulah gambaran umum pemetaaan usul fikih, jika tak berhalangan penulis akan bedah tiap poin dalam pembahasan ini secara elaboratif dan ekspansif.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top