Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan penuh kreativitas (badi’), pun demikian manusia merupakan makhluk yang penuh dengan kreativitas. Melalui anugerah akal pikiran, yang membedakan manusia dengan makhluk lain, ia diniscayakan untuk mampu melahirkan berbagai kreativitas di dalam kehidupannya, guna menghasilkan peradaban yang lebih besar dan lebih mulia.
Tetapi sudah menjadi fitrahnya pula bahwa setiap kita memiliki pemahaman yang berbeda-beda, sudut pandang yang tidak sama dalam memahami setiap unsur kreativitas yang diciptakan oleh sesama manusia, tentunya hal tersebut terjadi sesuai dengan pengalaman empiris serta pemahaman yang tidaklah sama.
Islam merupakan agama yang menempatkan akal pikiran di dalam ruang yang mulia. Sebab melalui akal pikiranlah yang menjadikan manusia menjadi mulia atau bahkan sebaliknya, menjadikan ia tak memiliki makna sedikit pun. Di dalam perangkat tersebut, tentunya Islam juga menetapkan pedoman dan nilai-nilai universal, agar manusia tidak terjerumus ke dalam lembah-lembah sesat dan menyesatkan.
Terdapat fenomena sosial yang menarik untuk kita ulas pada kesempatan kali ini, yaitu kontroversi rancang bangun sebuah masjid di Jawa Barat, yakni Masjid Al-Safar.
Masjid tersebut merupakan hasil kreativitas manusia melalui akal pikirannya, namun kemudian menjadi polemik sebab rancang bangun masjid tersebut beraroma simbol illuminati.
Tuduhan tersebut mencuat melalui salah satu media sosial dan kemudian dikuatkan dengan penjelasan virtual (video) oleh salah satu ustaz di media sosial pula. Sedangkan di sisi lain, bahwa kreativitas manusia yang diejawantahkan ke dalam konstruksi masjid yang modern merupakan secercah cahaya bagi kebangkitan Islam di dalam bidang arsitektur.
Bukankah Islam pernah mencapai kemajuan peradaban ilmu pengetahuan di dalam bidang arsitektur?
Pada kemunculannya, illuminati merupakan nama sebuah perkumpulan yang merujuk pada tokoh-tokoh di dalamnya, baik tokoh nyata atau fiktif, yang didirikan pada abad pertengahan. Seperti yang dikatakan oleh Robert Shea di dalam karya fiksinya, The Illuminatus! Trilogy (1975), nama illuminati menjadi banyak digunakan untuk menunjukkan organisasi persekongkolan yang dipercaya mendalangi dan mengendalikan berbagai peristiwa di dunia melalui pemerintah dan korporasi untuk mendirikan Tatanan Dunia Baru.
Dalam konteks ini, illuminati biasanya digambarkan sebagai versi modern atau keberlanjutan dari illuminati masa awal. Pemahaman tersebut banyak dipercayai oleh umat Islam dewasa ini, meskipun tidak terdapat bukti yang menunjukkan kebenarannya, yang dikemudian hari illuminati akan menghancurkan dan membinasakan keberadaan Islam di muka bumi ini.
Dengan fenomena yang terjadi di atas, tentu kita sebagai manusia yang memiliki perangkat berpikir, dengan mengikutsertakan kaidah-kaidah agama tentunya, telah disuguhkan dengan paradoksial-paradoksial cara berpikir dan memahami keadaan zaman.
Selanjutnya bagaimanakah kita menyikapi fenomena cara berpikir tersebut? Tentunya pengalaman empiris dan pengetahuan masing-masing manusialah yang memengaruhi kesimpulan dalam menyikapi hal tersebut.
Dalam hal ini, menurut hemat penulis, kita perlu melihat bagaimana Alif.ID berusaha melawan (entah kebetulan atau memang direncanakan) paham yang nyaris srampangan tersebut melalui pameran foto masjid-masjid di Nusantara yang bertema “The Face of Islam in Indonesia” di Belanda.
Dalam momen tersebut, Alif.ID seolah berupaya memberikan pemahaman dan menyuguhkan kaca mata yang berbeda dalam melihat paham tentang rancang bangun masjid-masjid di seluruh belahan dunia, dalam konteks ini adalah masjid di Nusantara.
Sedikitnya terdapat 25 foto masjid Nusantara yang dipamerkan, dengan tujuan menceritakan kepada dunia tentang toleransi, kemegahan, keindahan, peradaban, ilmu arsitektur dan sejarah yang terkandung di dalamnya. Bahwa Nusantara memiliki warisan-warisan ilmu arsitektur dan rancang bangun masjid yang layak mendapatkan apresiasi dunia.
Salah satu foto kemegahan rancang bangun masjid yang dipamerkan pada kesempatan itu, adalah Masjid Menara Kudus yang didirikan oleh Ja’Far Shadiq atau Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi.
Masjid tersebut memiliki gaya arsitektur yang memadukan antara corak warisan budaya lokal yang adhiluhung dan corak Islam agung.
Dengan demikian dapat kita pahami, selain ulama, Sunan Kudus merupakan budayawan dan arsitektur ulung, yang tak hanya mampu memadukan budaya setempat dan ajaran Islam, namun juga mampu mengambil hati masyarakat pribumi untuk menerima Islam sebagai bagian dari struktur sosial mereka, sehingga membentuk peradaban Islam yang luar biasa.
Sebuah peradaban Islam yang baik dapat dibangun dengan bagaimana umat muslim mampu menggunakan akal pikirannya dengan baik pula, yang merujuk pada pedoman primer yang ada, yakni Alquran dan hadis.
Apabila ditelisik lebih jauh lagi, bahwa di dalam Alquran dan hadis mengandung kaidah-kaidah universal yang akan selalu sesuai dengan keadaan zaman, dan tentunya pula tidak ditemukan secara detail bagaimana bentuk semestinya masjid-masjid yang digunakan untuk tempat beribadah kita.
Seperti halnya Hasan Hanafi misalnya, memberikan pisau bedah di dalam memahami dan membangun peradaban dengan konsep al-Istighrabiyyah, yakni apabila umat Islam berkeinginan untuk membangkitkan peradabannya kembali, maka harus memahami sejarah, cara/metode membangun peradaban serta mempertahankan peradaban yang ada.
Tentunya tidak dapat kita nafikan bahwa peradaban Baratlah yang sedang mendominasi pada abad ini, oleh sebab itu, memahami peradaban Barat menjadi niscaya untuk kita dewasa ini.
Bukan berarti larut dan hanyut apalagi pasrah begitu saja dengan dominasi Barat saat ini, melainkan mempelajari, mengadopsi dan memodifikasi peradaban yang ada kemudian mengejawantahkannya untuk kembali membentuk peradaban Islam yang agung. Tak terkecuali ilmu arsitektur di dalam rancang bangun sebuah masjid.
Pada akhirnya, Alif.ID telah memberikan ruang-ruang kejut untuk melawan stigmatisasi buruk atas konstruksi masjid-masjid modern saat ini. (atk)