Kalau kita pernah membaca beberapa karya dalam bahasa Arab yang disunting dan diteliti dari segi naskahnya, kita akan menemukan bahwa peneliti kitab mencari manuskripnya dari perpustakaan-perpustakaan lama yang usianya sudah ratusan tahun.
Sebagai wawasan, tradisi tahqiq (filologi) ini hadir untuk memastikan keabsahan sebuah teks sampai memperkecil kemungkinan sekecil-kecilnya kesalahan. Itu kenapa proses tahqiq yang kita lihat, biasanya di bagian awal-awal kitab berbahasa Arab berupaya untuk mengumpulkan berbagai macam naskah kitab yang akan diteliti.
Bahkan, untuk memperkuat hasil, para pengkaji bisa sampai mencarinya ke perpustakaan di luar dunia Islam seperti di negara-negara Eropa. Alasan Eropa semata-mata karena ada sejarah panjang kolonialisme di antaranya mengangkut sebagian manuskrip dari “dunia Islam” ke negara-negara di Eropa seperti Inggris.
Nah, salah satu perpustakaan yang sering dijadikan referensi pencarian naskah atau manuskrip adalah al-Maktabah al-Sulaymaniyyah di Istanbul, Turki. Perpustakaan ini didirikan pada abad ke-15 oleh Sultan Sulaiman I. Pembangunan dilakukan selama delapan tahun sejak 1550 sampai 1557.
Pertanyaan mengapa perpustakaan ini dibangun oleh raja tidak terlepas dari sejarah panjang perkembangan pengetahuan di berbagai belahan dunia, termasuk di dunia Islam. Perpustakaan sebagai tempat menyimpan segudang literature pengetahuan biasanya didirikan dekat dengan Istana Raja, karena raja juga punya kepentingan terhadap pengetahuan. Seperti kata al-Qalqasyandi yang dikutip Ribhi Mustafa dalam risetnya yang berjudul The History of the Arabic-Islamic Libraries: 7th to 14th Centuries,
Para khalifah dan raja di zaman dahulu punya ketertarikan besar terhadap perpustakaan-perpustakaan besar, dan mencurahkan banyak perhatiannya agar ia mendapatkan sejumlah koleksi terbaik. Seperti dikisahkan bahwa ada tiga perpustakaan terbesar yang pernah ada di dunia Islam, pertama Perpustakaan Kekhilafahan Abbasiyyah di Baghdad (Bayt al-Hikmah), kedua Perpustakaan Kekhilafahan Fatimiyyah di Kairo (Bayt al-‘Ilm), dan Perpustakaan Kekhilafahan Umayyah di Spanyol.
Sulaiman I disebut juga dengan julukan Sulaiman al-‘Adhim, atau al-Sulthan Sulayman al-Qanuni. Sebutan nama terakhir karena ia adalah sultan yang memberikan perhatian besar pada sistem hukum pada kesultanan Utsmani. Ia memerintah selama 46 tahun, sejak 926-974 H /1520-1566 M.
Saat ini, mengutip ulasan Turki Muhammad al-Nashr, perpustakaan yang memiliki luas hingga 30.000 m2 ini koleksi manuskripnya sebanyak 67.359 manuskrip dan 49.663 buku yang tercetak. Pada1918, seluruh kitab dan manuskrip yang tersimpan di tempat-tempat seperti masjid dan sekolah di seluruh Istanbul bahkan di luarnya, dipindahkan ke dalam Perpustakaan Sulaymaniyyah ini.
Penyusunan manuskrip atau buku yang terdapat dalam Perpustakaan ini, disesuaikan dengan dari mana manuskrip atau buku tersebut didapat. Setiap sumber tersebut dinamai sesuai dengan pemberi atau asal tempatnya. Misalnya, karya yang dahulu diambil dari Aya Sofiya (Haghia Sophia), dimasukkan ke dalam koleksi Haghia Sophia (Arab: Majmu’ah Aaya Sofia; Turki: Ayasofya koleksiyonu).
Saat ini, jumlah manuskrip tadi tersebar di 131 kelompok koleksi, di mana 117 di antaranya berasal dari masa Kesultanan Usmani. Kelompok koleksi tersebut ada yang merupakan koleksi Sultan, Mufti/Syaikhul Islam, Istri Sultan, Aagha (Pemimpin Militer), Basya (Pejabat Politik), Kepala Sekolah/Rais al-Kuttab, Sekolah, Tukyah (zawiyah tempat berzikir sufi), masjid (jawami’), dan perpustakaan pribadi.
‘Izzat Hasan dalam ulasannya berjudul al-Maktabah al-Sulaimaniyyah fi Istanbul A’zhamu Majma’ li Makhthuthaat al-Turats al-‘Arabi mengatakan, kitab-kitab itu tidak hanya diambil dari masjid atau perpustakaan-perpustakaan di sekitar Istanbul. Ia juga berasal dari wakaf atau hadiah dari para ulama, hakim, atau pemimpin militer.
Yang menjadi ciri khas—menurut ‘Izzat Hasan—adalah manuskrip yang ada tersebut jenisnya macam-macam. TIdak hanya kitab yang ditulis oleh penulisnya pribadi. Tapi banyak juga kitab yang ditulis para penyalin (al-Khattath, karena dulu sebelum ada mesin cetak, kitab diproduksi dengan cara disalin), atau kitab yang hanya ada satu salinan tanpa naskah asli dari penulis atau naskah pembandingnya. Ada juga naskah kitab yang hasil diijazahkan untuk dibaca oleh para ulama (karena itu di atasnya tertulis tanda tangan dan ijazah dari para ulama).
Koleksi tertua dalam perpustakaan ini adalah Alquran dengan khatt Kufi yang kemungkinan sejarahnya berasal dari abad ke-3 H.