Kejatuhan dan Hati yang terbit pada 1950, merupakan satu-satunya novel S. Rukiah. Titimangsa 1946, di usia sembilan belas tahun, Rukiah menerbitkan puisi pertamanya di berbagai majalah, diikuti oleh cerita pendek-cerita pendek tahun 1948.
Walaupun ia tidak semasyhur Soewarsih Djojopoespito, yang termasuk dalam generasi sebelumnya, tetapi berasal dari wilayah yang sama, karya Rukiah telah mendapatkan perhatian yang laik dari para kritisi. Ajip Rosidi, Sri Rahayu Prihatmi, dan Sumardjo mengapresiasi karyanya dengan sangat positif.
Siapakah Rukiah? Menurut Ruth Indiah Rahayu dalam artikelnya “Narasi Realis-Humanis S. Rukiah dalam Sastra Revolusi”, www.indoprogress.com (12 Juli 2018), Rukiah (25 April 1927-6 Juni 1996) berkarir sebagai seorang guru saat menetap di Purwakarta. Ia pernah menjadi anggota LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sayap sastra pada 1959, dan bersuamikan Sidik Kertapati –pejuang kemerdekaan Indonesia yang bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang bermarkas di Menteng 31.
Pada 16 Agustus 1945 bersama dengan D.N. Aidit, Armunanto, A.M. Hanafi, dan pemuda revolusioner lainnya, Sidik Kertapati mempersiapkan kekuatan rakyat untuk mengamankan Proklamasi yang dibacakan oleh Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.
Narator dalam Kejatuhan dan Hati adalah seorang perempuan dan sudut pandang narasinya ialah perspektif perempuan. Susi, sang narator tokoh, menyampaikan kisahnya dengan cara retrospektif (kembali ke masa lalu), setelah ia menikah dan memiliki anak.
Susi tertarik kepada politik, dan dengan mendaftar masuk Palang Merah, ia memberikan kontribusi kepada revolusi (KdH: 21). Perkembangan pribadi Susi terjadi selama satu periode perubahan yang bergejolak (KdH: 4).
Revolusi memberikannya kesempatan untuk melarikan diri dari suasana keluarga yang menyesakkan dan kabur dari ibunya. Dua lokasi dalam cerita, kota dan garis depan peperangan melambangkan dua sistem nilai yang berbenturan.
Susi menceritakan bahwa ibunya adalah seorang perempuan yang sangat dominan, yang menetapkan aturan bagi suami dan anak-anak perempuannya. Ia membebankan tuntutan berat pada anak-anak perempuannya, Dini, Lina, dan Susi, dalam hal feminitas.
Mereka harus tampil menarik dan lemah lembut agar bisa mendapatkan suami yang baik, demi kedua orang tua mereka. Ketiga anak perempuan itu berada dalam situasi sangat tertekan oleh pelbagai harapan ibu mereka.
Dini, anak sulung, sama sekali lepas dari ibunya dan meninggalkan rumah untuk (seperti yang dikatakannya kepada Susi) bekerja di sebuah rumah sakit seumur hidupnya dan tidak pernah menikah (KdH: 12). Anak perempuan ini melawan sang ibu yang otoriter tanpa banyak keributan. Sebaliknya, Lina mematuhi kehendak ibunya dan menikah dengan laki-laki yang dipilihkan untuknya; hal ini adalah pernikahan yang dijodohkan, tanpa cinta.
Hubungan antara Susi dan ibunya penuh dengan konflik. Awalnya, Susi lebih cenderung pada keinginan ibunya dan memutuskan hubungannya dengan Rustam, seperti yang dinginkan sang ibu. Akan tetapi, saat dipaksa untuk menikah dengan Par, Susi memutuskan untuk mengikuti contoh Dini. Pada usia dua puluh tahun, Susi meninggalkan kedua orang tuanya.
Susi bekerja dengan Palang Merah di dekat garis depan; di sana ia menjalin hubungan dengan sekelompok pemuda yang memiliki gagasan-gagasan politik yang sangat radikal. Caranya bertahan di tengah halai-balai dan kekerasan adalah dengan mengingkari segala bentuk emosi.
Baginya, kemandirian dan individualisme berarti melepaskan seluruh emosi perempuan/feminin dalam dirinya, terutama karena emosi-emosi itu dibentuk oleh ibunya. Hanya dengan bertingkah laku seperti lelaki –yakni, tegar dan tak berperasaan, ia akan bisa tangguh dalam menghadapi revolusi.
Namun, sisi femininnya kembali lagi dengan tidak terelakkan saat Susi jatuh cinta kepada Lukman, pemuda komunis. Perihal ini, seperti dikatakannya, membawa serta kelemahan dan kelembutan (KdH: 35, 36, 40).
Akibatnya, Susi tak tahan lagi menghadapi kekerasan dan darah. Ia tidak ingin lagi mengutamakan patriotisme, dan ia sangat muak terhadap slogan-slogan revolusioner (KdH: 43). Susi mendengar dari orang lain bahwa tanggung jawab Lukman membuatnya tidak bisa menaruh perhatian pada cinta atau dirinya sendiri (KdH: 37).
Bagaimanapun juga, Susi tidak bermaksud melepaskan feminitas yang baru ia temukan kembali itu, dan tidak membiarkan dirinya terbujuk untuk berhenti mencoba menaklukan hati Lukman, sekalipun hal itu bertentangan dengan kepentingan-kepentingan revolusi (KdH: 81).
Cinta Susi terhadap Lukman mengakibatkan konflik dengan dirinya sendiri. Ia yakin bahwa ibunya takkan pernah menerima Lukman sebagai menantu. Oleh sebab itu, ia harus memilih antara ibunya dan Lukman. Sudah ditanamkan sejak dini kepada Susi, bahwa ia berhutang banyak kepada ibunya dan bahwa ia harus menghormati generasi kamitua. Satu-satunya cara agar ia bisa menikah dengan Lukman adalah dengan menunggu kematian ibunya (KdH: 51). Lagipula, “Diam-diam kawin… tidak punya kehormatan dan kesucian terhadap kebiasaan para nenek moyang dahulu kala” (KdH:: 50).
Menjadi seorang perempuan bagi Susi sama dengan menjadi lemah dan emosional. Ia tidak dapat melihat feminitasnya sebagai sebuah kekuatan. Susi tidak dapat mengubahnya menjadi pengalaman yang positif. Kelemahan dan emosi menyebabkan kehancuran dalam lingkungan yang didominasi oleh standar laki-laki.
Saat Susi menyerahkan keperawanannya kepada Lukman di malam sebelum kepergian sang kekasih, Susi menjadi seorang “perempuan rusak” menurut norma lingkungan sosialnya, sedangkan Lukman tidak ikut dipersalahkan. Kehamilan tidak sah yang disebabkan cintanya kepada Lukman membawa sebuah perubahan yang tidak terduga dalam hidup Susi.
Setelah hampir dua tahun hidup di garis depan, Susi kembali ke kota, sendirian dan dalam keadaan hamil. Tatkala memasuki rumah, Susi menjumpai ibunya sudah gila karena kepergiannya. Susi mendedahkan kondisi ibunya sebagai akibat kelemahan emosionalitas perempuan. Perempuan ini menggantung identitas dan haknya untuk hidup pada orang lain. Pada saat ibunya ditinggalkan oleh orang-orang yang menjadi tumpuan ambisi dan yang diharapkan cintanya, kekecewaannya berubah menjadi kegilaan.
Lina menuduh Susi sebagai penyebab langsung keadaan ibunya itu. Kepulangan serta perlakuan baik Susi pada ibunya membawa peningkatan positif pada kondisi psikologis ibunya (KdH: 77). Sang ibu kembali menguasai anak perempuannya. Ia berhasil mengatasi krisis mental karena anak perempuannya bisa menjadi cermin dari citra-dirinya kembali.
Namun, masalah ini juga menunjukkan kemunduran bagi Susi, sebab ia mengorban dirinya sendiri demi ketenangan batin ibunya. Karena terpaksa menyembunyikan kehamilan tak sahnya, Susi memutuskan untuk menerima pernikahan tanpa cinta dengan Par. Dengan melakukannya, berarti ia mengikuti jejak Lina. Bagi keduanya, posisi mereka sebagai perempuan seolah-olah “mengulangi sejarah”: mereka menyerah pada kehidupan nan pasrah dan penuh penerimaan (penyerahan; KdH: 75, 78).
Revolusi memberi Susi kesempatan untuk mengembangkan pribadinya. Ia mampu melarikan diri dari otoritas ibunya, memperluas lingkup sosialnya, dan menemukan seksualitasnya. Akan tetapi, kemandirian Susi menghadapkannya pada dilema apakah ia mesti mengikuti perasaannya ataukah nalarnya. Nalar mengikatnya pada aturan-aturan sosial yang ditanamkan kepadanya oleh sang ibu, yaitu standar yang sudah diterima secara umum dalam kelas sosial mereka. Intuisi menyuruh Susi meninggalkan segalanya dan menentukan sendiri apa yang boleh dilakukannya. Hanya sekali Susi mendengarkan kata hatinya –suatu pilihan yang memberdayakan dirinya. Bagaimanapun juga, nalar dengan segala mengambil alih kekuasaan, sehingga momen itu kemudian berubah menjadi sebuah keadaan yang lemah dan kepatuhan (KdH: 54). Momentum ini menentukan sisa hidupnya setelah itu.
Sebagai narator dan focalizor, Susi menunjukkan bahwa hidupnya diwarnai oleh kelemahan dan dosa. Dengan menoleh ke masa lampau, ia memandang hubungannya dengan Lukman bukan sebagai sebuah tindakan “revolusioner” yang sadar, melainkan sebagai sebuah kekhilafan terhadap komunitas.
Ia tidak punya keberanian ataupun kekuatan untuk membiarkan lingkungannya tahu bahwa Susi sudah melanggar norma. Ia diam dan menjaga agar rahasianya tetap tersimpan. Ia mendustai semua orang, termasuk Par, dengan membiarkan mereka percaya bahwa anaknya adalah anak Par. Dan, Susi membagi rahasia dan beban pertanyaan hati nuraninya itu hanya dengan seorang sahabat perempuannya (KdH: 88).
Rasa bersalah dan berdosa yang bergejolak dalam diri Susi pasca pernikahan menjadi penguat norma keperawanan perempuan sebelum menikah. Perempuan walau bagaimanapun juga, harus menghindari kehamilan di luar nikah. Dan Susi menyerah pada tekanan peraturan yang diterima oleh publik; ia sadar bahwa masyarakat mendorongnya “masuk perangkap”, bahwa ia akan menjadi seperti Lina dan ibunya, dan bahwa ia harus meninggalkan idealismenya, seperti yang dicontohkan oleh kakak pertamanya.
Suatu hari, Lukman datang menemuinya dan mencoba membebaskan Susi dari belenggu yang ada, tetapi Susi tidak menyerah kepadanya. Di satu sisi, hal ini bisa ditafsirkan sebagai ketetapan hati yang patut dipuji: Susi telah meninjau ulang posisinya, membuat pilihan, dan tidak akan digunjingkan karenanya.
Di lain pihak, perihal tersebut bisa ditelisik sebagai sebuah kekalahan mutlak: Susi melepaskan kesempatan terakhir untuk mengikuti perasaan dan mewujudkan ideal-idealnya, serta menyesuaikan diri dengan aturan-aturan partriarkhal dari masyarakat. “Kejatuhan” dalam judul novel ini bisa dijelaskan dengan dua cara.
Pertama, Susi telah meninggalkan idealisme dan pelbagai janjinya karena tidak cukup kuat untuk memegangnya; kedua, Susi adalah “perempuan yang jatuh (perempuan rusak)” di mata lingkungannya.
Di akhir kisah, Susi menyerah dan menerima nasibnya. Ia tidak menyesali apa yang telah terjadi dan yakin, bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan.
Susi merasa tak berdaya serta kalah di tengah sistem nilai patriarkhal, di mana perempuan diingatkan tentang peran Hawa yang menyebabkan kejatuhan umat manusia (KdH: 53). Susi sadar akan pelbagai perubahan dalam dirinya dan masyarakat.
Dalam kekacauan revolusi, nilai-nilai telah berubah; era kiwari dituntut kebebasan individu yang lebih besar, sedangkan ideal-ideal tradisional (borjuis) dicaci. Meskipun demikian, kebebasan individual menyertakan pula tanggung jawab individual; setiap orang harus menemukan solusi untuk permasalahannya sendiri.
Bagi seorang perempuan seperti Susi, tidak mungkin lagi untuk tetap berada pada jalurnya; pada akhirnya ia mengalah kepada masyarakat yang belum siap mengizinkan perempuan membuat tindakan pilihan bebas.