Sedang Membaca
Dinamika Internal Muhammadiyah dalam Menerima Pancasila
Ali Usman
Penulis Kolom

Menulis tema-tema agama dan politik. Pengurus Lakpesdam PWNU DIY.

Dinamika Internal Muhammadiyah dalam Menerima Pancasila

Adalah Ki Bagus Hadikusomo, di antara tokoh dari kalangan Islam perumus Pancasila, Ketua PP Muhammadiyah aktif (1942-1953), sebagai anggota sidang BPUPKI I dan II yang terakhir menerima sila I, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, berdasarkan revisi dari sila I versi “Piagam Jakarta” yang menyebutkan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mengapa demikian?

Ki Bagus Hadikusumo semula menolak perubahan itu, tetapi setelah diyakinkan oleh rekan seperjuangannya, Teuku Muhammad Hassan, KH Wahid Hasyim, dan Kasman Singodimedjo, bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, dan Ketuhanan Yang Maha Esa dapat dimaknai sebagai konsep tauhid.

Sejak itulah, para pendiri bangsa kita memiliki kesamaan persepsi, yaitu keseluruhan nilai-nilai sila dalam Pancasila sangat cocok dengan prinsip-prinsip universal semua agama, norma adat, seperti konsep ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, keadilan sosial, dan karenanya tidak relevan jika kemudian hari-hari ini sebagian kalangan berusaha membenturkan keduanya (Pancasila dan Islam).

Syariat Islam dapat diimplementasikan di Tanah Air tetapi tidak dalam bentuk formal. Lewat Pancasila, kata Soekarno, bungkusnya memang tidak dari agama tertentu, tetapi isi yang terkandung di dalamnya terinspirasi dari agama dan tradisi leluhur bangsa, sehingga tidak mungkin terjadi pertentangan. Pancasila dalam perspektif Islam, dapat dikatakan sebagai syariat (aturan main, ketentuan) itu sendiri. Saya menyebutnya, “Syariat Pancasila”.

Baca juga:  Hidup Tanpa RT/RW

Haidar Nashir, Ketua PP Muhammadiyah (2015-sekarang) pernah menyinggung kelompok tertentu yang mewacanakan apa yang disebutnya sebagai “NKRI Bersyariah”. Sebuah wacana dan cita-cita yang agak ganjil.

“NKRI itu kan sudah lama bersyariah,” kata Haedar Nashir di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta (8/8/2019). Pernyataan ini jelas merupakan refleksi dari pengalaman Muhammadiyah dan dinamikanya dalam penerimaan Pancasila sejak awal perumusan hingga sekarang.

Dinamika internal Muhammadiyah

Penerimaan Sila I Ketuhanan Yang Maha Esa oleh Ki Bagus Hadikusumo itu menjadi pijakan untuk merefleksikan fenomena mutaakhir yang terdapat individu, segelintir orang, maupun kelompok yang menentang bahkan menolak Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Republik Indonesia. Ironis, apalagi oknum itu memiliki latar belakang anggota struktural maupun kultural ormas Islam seperti Muhammadiyah, yang entah langsung atau tidak, dipengaruhi virus ideologi khilafah versi HTI.

Ketika awal tahun 1980-an rezim orde baru memaksakan asas tunggal Pancasila ke organisasi massa dan organisasi politik, PP Muhammadiyah secara resmi mulai membahas dalam sidang Tanwir akhir Mei 1983 (di tahun ini, NU juga membahas asas tunggal Pancasila dalam Munas NU di Pesantren Asembagus, Situbondo). Kesimpulannya, Muhammadiyah lahir karena Islam, tanpa asas Islam tentu bukan Muhammadiyah lagi. Pancasila, bagi Muhammadiyah, bukan persoalan.

Baca juga:  Pesantren, Kultur Etis, dan Kepercayaan Umat

Tanda-tanda menerima asas tunggal ini, secara terbuka mulai tampak pada hari kedua Muktamar, 8 Desember 1985. Di pendapa Mangkunegaran Solo, dengan gaya kocak dan disambut penuh gelak tawa, Haji AR Fajhruddin, Ketua PP Muhammadiyah, menyebutkan asas Pancasila itu diterima dengan ikhtiar.

”Supaya yang dimaksudkan pemerintah itu berhasil, tapi tidak melanggar agama. Kami para pemimpin, tetap bertekad menegakkan kalimah Allah di Indonesia ini. Tidak merusak peraturan-peraturan di Indonesia, tapi tidak menjual iman, tidak menjual agama,” kata AR Fajhruddin.

Pemikiran tentang negara Pancasila dimaksudkan untuk menjadi rujukan dan orientasi pemikiran serta tindakan bagi seluruh anggota Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara kontekstual berdasarkan pandangan Islam berkemajuan yang selama ini menjadi perspektif Muhammadiyah.

Pada 2012 Tanwir di selenggarakan di Bandung dan 2014 di Samarinda mengambil tema materi ”Negara Pancasila sebagai Darul ‘Ahdi wa Syahaadah”, yang artinya negara Pancasila sebagai konsensus nasional (dar al-ahdi), dan tempat kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam) menuju kehidupan yang maju berdaulat dalam naungan rida Allah Swt.

”Pancasila itu ibarat helm, agar selamat maka dipakai ketika berkendara,” ujar pak AR Fakhruddin.

Umat Islam termasuk di dalamnya Muhammadiyah berkomitmen menjadikan Negara Pancasila sebagai dar al-syahaadah dan membuktikan diri dalam mengisi dan membangun kehidupan kebangasaan di segala bidang kehidupan, siap bersaing (fastabiq al-khairaat) memajukan kehidupan bangsa yang kreatif dan inovatif.

Baca juga:  Menyoal Bahasa Nasional Kita

Berdasarkan fakta di atas, jikalau ada individu atau kelompok yang menolak Pancasila dengan dalih apapun, berarti secara langsung tidak memercayai hasil ijtihad politik yang telah dirumuskan oleh representasi dari minimal dua tokoh ormas Islam pada sidang BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo (Muhamamdiyah) dan KH. A. Wahid Hasyim (NU).

“Bagi Muhammadiyah, Pancasila dan NKRI adalah harga mati. Kami senantiasa akan mempertahankan itu“, ungkap Din Syamsudin suatu waktu, sebagaimana dikutip oleh banyak media.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top