Komisi Bahtsul Masail Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama 2019 di Banjar menghasilkan sejumlah rekomendasi fatwa kontemporer-kontekstual. Namun, di antara semua itu, ada satu rekomendasi fatwa yang direspons secara reaktif—penuh makian: penggunaan kata non-muslim untuk menggantikan kata kafir.
Sebagian mulai mengaitkan hal tersebut sebagai manuver politik NU yang sedang dekat-dekatnya dengan pemerintah. Ada pula yang menganggap bahwa rekomendasi fatwa kontradiktif terhadap Alquran sehingga jangan-jangan besok lusa surah al-Kafirun akan diganti dengan surah al-non-Muslimun.
Tetapi, di tengah polemik dan perdebatan panas itu, ada tujuh catatan penting yang dapat kita jadikan ibrah dalam memahami psikologi kolektif kita sebagai umat Islam Indonesia.
Pertama, jelas sekali tidak banyak yang ngeh bahwa hasil Komisi Bahtsul Masail di Munas Alim Ulama NU adalah fatwa, sedangkan fatwa bukan kaidah hukum yang dengan serta-merta harus dilaksanakan.
Sebagaimana kata Gus Mus, fatwa hanya mengikat orang yang meminta atau menerima fatwa tersebut. Jika tidak, ya tidak usah reaktif hingga memaki-maki.
Tetapi sikap reaktiflah yang terjadi. Sehingga, sebagai (catatan) kedua, situasi ini menunjukkan masih over-reaktifnya masyarakat muslim Indonesia. Seperti orang sedang sakit gigi, jadi gampang merasa tersinggung—tersulut. Seperti orang baru kasmaran, sehingga butuh untuk sekuat tenaga membuktikan rasa cinta.
Ditambah dengan sosial media sebagai medium yang cenderung ‘serba-bebas’, sikap over reaktif itu seperti mendapatkan saluran untuk berkembang, melebar, dan meluas.
Ini mungkin selaras dengan kegelisahan van Bruinessen, yang saya posisikan sebagai catatan ketiga. Yaitu, penguatan ultra-konservativisme Islam yang dalam bahasa Gus Dur serba formalistik-simbolik, atau serba ‘kulit mangga’ kalau merujuk istilah yang ditawarkan Cak Nun.
Akibatnya, ada hal-hal konstektual-substantif yang tidak bisa dipahami secara utuh sehingga fatwa-fatwa model hasil bahtsul masail ini selain dianggap nyeleneh juga dianggap menjadi bukti bagaimana NU telah teracuni, katakanlah, ‘Islam liberal’.
Mereka lupa bahwa orang-orang yang terlibat bahtsul masail adalah para ulama yang keilmuannya tidak diragukan, yang ditempa pendidikan pesantren. Bukan para cendekia lulusan luar negeri yang kerap dianggap telah terwesternisasi, tersekularisasi.
Orang-orang yang melakukan bahtsul masail ini boleh jadi khatam kitab lebih banyak, lebih paham ilmu gramatikal Arab, terbiasa dengan pembedahan dalil naqliy dan aqliy serta mengerti bagaimana menggunakan qiyas dan alat bedah lainnya, daripada mereka yang secara overpatriotik melakukan pembelaan dan makian.
Tetapi, ya, bagaimana lagi, masyarakat kita mungkin sedang dilanda komplikasi. Kita berkhidmat pada religiusitas-spiritualitas, tetapi masih menjadi masyarakat yang kurang kritis dan tidak gemar membaca, lebih senang berkomentar ketimbang mengapresiasi, dan di tengah menguatnya sentimen identitas dalam politisasi agama seperti sekarang, usulan fatwa penggantian kata kafir dengan non-Muslim dianggap manifestasi ‘kelemahan’ muslim yang selalu ‘harus ngalah’.
Dan itu membawa kita pada poin keempat, yaitu kekurangmampuan kita merekognisi privilege dan hegemoni yang kita rasakan. Keterbatasan stand point dan perspektif yang kita miliki, sehingga tidak jarang melahirkan apa yang Pierre Bourdieu sebut sebagai symbolic violence (kekerasan simbolik).
Sebagai contoh, betapa pun kita yakin bahwa secara akidah mereka yang tidak beriman kepada Islam adalah kafir, kita juga mesti ngeh bahwa dari sudut pandang umat Kristen dan Katolik, misalnya, justru kitalah yang kafir.
Jika yang mayoritas di Indonesia adalah Kristen kemudian kita minoritas dan kita disebut kafir, apakah kita akan merasa biasa-biasa saja dan tidak tersinggung?
Kenapa? Karena, (catatan) kelima, nosi kafir, bagaimanapun, tidak pernah value-free (bebas-nilai). Kata itu tetap punya ‘kesan’, punya ‘nuansa-rasa’. Nuansa rasa itu kemudian yang akan ‘memutuskan’ apakah kata kafir dianggap sarkas ataukah tidak, menyakitkan dan menyinggung ataukah tidak.
Contoh sederhananya seperti kata Negrito atau Negro. Orang kulit putih Amerika mungkin merasa tidak ada masalah dengan itu, karena ia hanya sekadar kata dan kata tersebut menjelaskan sifat ‘alamiah’ orang-orang Afrika-Amerika. Akan tetapi kesadaran rasial telah mengingatkan kita pada bagaimana kata Negrito sesungguhnya sangat rasis.
Bahwa dalam Alquran ada kata kafir, iya, dan bahwa ia punya ‘nuansa-rasa’, juga iya. Hanya nuansa-rasa yang dikandung kata kafir dalam konteks Jazirah Arab saat itu, tentu jauh berbeda dengan nuansa-rasa kata kafir bagi masyarakat muslim Indonesia hari ini.
Latar belakang sosio-kultural kita berbeda, tensi politik juga jauh berbeda. Maka tidak bisa disamakan. Apalagi kata kafir belakangan digunakan secara amat persekusif, tidak hanya untuk menegaskan ketidakistimewaan mereka yang tidak beragama Islam, bahkan juga untuk membunuh-karakter muslim yang berbeda mazhab pemikiran.
Maka kita butuh untuk ingat bahwa konteks usulan penggantian penyebutan kafir dengan non-muslim itu diletakkan dalam konteks muamalah demi kemaslahatan dan keamanan—demi tidak menyinggung perasaan. Bukan dalam konteks upaya menyamaratakan akidah.
Sehingga dalam konteks kafir-mengkafirkan orang lain, saya senang dengan ‘fatwa’ Cak Nun: saya ini jangankan menuduhmu kafir, menganggap diriku muslim saja aku tidak berani.
Thus, terlepas dari semua itu, keenam, yang menarik dari usulan fatwa ini adalah bahwa ia selaras dengan pendapat Najib Burhani, seorang cendekiawan Muhammadiyah, yang menilai NU sekarang lebih progresif ketimbang Muhammadiyah yang cenderung makin puritan.
Bagaimana para cendekiawan pesantren dapat memiliki pemetaan situasi sosio-kultural yang kontekstual dan berani mengemukakan pendapat kontemporer yang tidak ‘konservatif’ menandakan kuatnya geliat pembaruan itu.
Terakhir, ketujuh, perdebatan ini mungkin juga menunjukkan pada bagaimana Islam jangan-jangan telah makin terinstitusionalisasi sehingga nilai-nilai substantif Islam kadang tersempitkan oleh ‘citra Islam’ yang direpresentasikan oleh organisasi-organisasi Islam.
Agak susah untuk menentukan, apakah kritik atas hasil bahstul masail NU ini adalah murni kepada fatwa, atau juga berhubungan dengan konteks yang jauh lebih luas. Konteks ini misalnya dikaitkan dengan konteslasi politik Indonesia hari ini, ketika NU dekat dengan kalangan pemerintah.
Sehingga, bagi kalangan islamis di oposisi, menyerang NU is a must.