Sedang Membaca
Frank Lampard, Identitas, dan Agama
Supriansyah
Penulis Kolom

Penggiat isu-isu kedamaian dan sosial di Kindai Institute Banjarmasin

Frank Lampard, Identitas, dan Agama

Img 20200220 Wa0006

Identitas permainan seakan telah menjadi ciri khas dalam banyak perbincangan terkait sepakbola, dari klub, pemain hingga pelatih. Mereka yang terlibat dalam permainan di lapangan hijau seakan menjadi ramuan yang cair untuk membentuk sebuah kata sakti: IDENTITAS.

Perlahan tapi pasti, Frank Lampard mulai menegaskan posisinya sebagai manajer Chelsea menggantikan Maurizio Sarri, sebagai langkah yang tepat dari pengambil keputusan utama di klub tersebut, yaitu Roman Abrahamovic. Fans The Blues tentu tidak ingin pengalaman dengan Andre Villas-Boas kembali terulang, di mana selama kepemimpinan sang manajer, Chelsea seakan tidak memiliki identitas permainan sama sekali.

Kala itu, Chelsea seakan kesulitan mencari titik identitas permainan yang tepat untuk menghadapi musim 2011-2012. Titik limbung Chelsea berakhir cukup cepat karena kedatangan Roberto di Matteo, karena di tangan dinginnya Chelsea menyabet gelar Liga Champions Eropa, yang direngkuh di tahun yang sama.

Kondisi yang sama sedang dirasakan Manchester United sejak kehilangan sang lagenda, Alex Ferguson, yang telah membawa Setan Merah, julukan MU, meraih posisi sebagai klub tertinggi di Inggris dalam raihan gelar, mengangkangi Liverpool. Dampak kehilangan Sir Alex masih terasa hingga sekarang walau beberapa pelatih terkenal telah didatangkan, seperti Jose Mourinho dan Louis van Gaal.

Baca juga:  Gus Dur, Politik, dan Sepak Bola

Mereka masih tidak mampu mengangkat performa punggawa Red Devils ke level yang pernah dicapai sebelum kepergian Sir Alex. Saya melihat lubang besar yang menganga di skuad MU adalah identitas permainan yang tidak kuat, di mana taktik di lapangan tidak memiliki ditransformasi menjadi kekuatan agar bisa menggilas musuh.

Kembali ke kisah Lampard, saat dipilih oleh manajemen Chelsea yang dilakukan Lampard adalah merombak sudut pandang klub, dengan mengandalkan pemain muda yang sebelumnya menyandarkan kekuatan uang untuk merebut kemenangan. Terlepas dari fakta tersebut, Lampard melakukan juga reformasi permainan Chelsea dengan menanamkan revolusi taktik yang berdasarkan pada kekuatan respon cepat pada formasi musuh yang dihadapi. Chelsea pun merangsek ke papan atas liga Inggris walau bermodalkan pemain muda dari akademi mereka sendiri, berbeda dengan Man City yang membangun tim dengan mengandalkan uang.

Identitas permainan dalam dunia sepakbola sebenarnya bukan barang aneh, dia diterapkan tidak hanya pada taktik belaka. Pemain, cara berbelanja hingga akademi sepakbola yang dimiliki klub bisa dianggap faktor pendorong menjadi identitas sebuah klub, yang bisa dibangun telah lama. Inilah identitas dalam sepakbola yang dipercaya akan membawa pada keberhasilan pada klub.

Angan-angan soal identitas ini juga ada di masyarakat sekarang, walau didapat beberapa perbedaan. Ariel Heryanto pernah menyebutkan bahwa persoalan identitas di Indonesia sekarang berasal dari kerinduan tentang sebuah kemurnian. Ia juga menambahkan sebetulnya hal ini bukan barang baru di Indonesia karena telah diajarkan sejak masa revolusi.

Baca juga:  Anak, Buku, Kata-kata Islam, dan Kafir

Hal ini kita rasakan kembali memuncak di Pilpres 2014 dan 2019 yang silam, di mana pendukung dan sang calon memiliki referensi tertentu untuk sebagai tanda dari identitas mereka masing-masing. Akhirnya agama dengan kecenderungan segala dinamikanya turut dipakai pada angan-angan tentang “Aseli”, mana yang lebih beragama atau tidak. Hassan Hanafi menyebutnya dengan antagoni-diametral, di mana defenisi musuh menjadi salah satu pembentuk identitas kita dalam beragama.

Media sosial menjadi senjata paling ampuh dalam penyebaran kebencian pada musuh sebagai bagian dari pembentuk identitas keberagamaan, akhirnya kita sepanjang masa disibukkan dalam persoalan primordial seperti ini. Kita lebih sering melihat berbagai postingan bernada permusuhan terhadap yang liyan, ketimbang mengurusi hal esensi dalam kemanusiaan seperti kesenjangan yang semakin melebar.

Kondisi jelas memiliki keselarasan dengan pemikiran Slavoj Zizek saat melihat kehadiran agama di tengah masyarakat sekarang. Agama menjadi alat paling sesuai dengan ideologi utama saat ini, yaitu Kapitalisme, dari nalar komodifikasi hingga imaji soal keaslian. Keduanya seakan menjadi poros utama bagaimana agama dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

Saat masyarakat modern mengalami kelelahan dalam menjalani kehidupan yang menekannya, maka agama hadir dengan narasi-narasi yang mampu menenangkan sekaligus melupakan penindasan yang dihadapi. Di sisi lain, masyarakat juga melihat agama sebagai penanda identitas yang menggiring imaji soal keaslian, yang akhirnya mereka menjadi berlomba-lomba menegaskan posisi mereka pada yang liyan.

Baca juga:  Manis-Pahit Kenangan AC Milan dan Angan Kejayaan Khilafah

Kedua kondisi tersebut sebagaimana dijelaskan di atas berperan besar menjadikan agama yang mencerabut manusia dari persoalan ketimpangan, yang mana agama akhirnya terlepas dari fungsi sosial sebagai pembebas atau perlawanan dari kondisi tersebut. Sebagai orang yang menyebut diri beragama, kita harus belajar dari apa yang dilakukan Lampard di Chelsea, yaitu berani melupakan kekayaan sebagai identitas, tapi kembali pada manusia yang memainkan bola, yaitu pemain muda.

Kita harus mulai mengarus-utamakan fungsi sosial agama dan meninggalkan persoalan angan-angan keaslian apalagi penenang dari persoalan kehidupan. Revolusi identitas akhirnya bisa menjadi alat perlawanan terhadap persoalan ketimpangan, yang bisa berdampak besar pada kehidupan kita sendiri.

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top