Rohmatul Izad
Penulis Kolom

Dosen Filsafat IAIN Ponorogo. Alumni Akidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga dan Pendidikan Pascasarjana di Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ketua Pusat Studi Islam dan Ilmu-Ilmu Sosial Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.

Soal Toleransi Beragama, Indonesia Baik-Baik Saja

Apakah Anda setuju jika anak Anda bersahabat dengan orang lain yang berbeda agama? Apakah Anda setuju jika anak Anda menikah dengan orang dari agama lain?

Jika ada sekelompok orang dari agama lain yang melakukan kegiatan di lingkungan sekitar tempat tinggal, bagaimana tanggapan Anda? Bagaimana jika ada atau akan dibangun tempat ibadah agama lain di lingkungan sekitar tempat tinggal Anda?

Beberapa pertanyaan di atas pada dasarnya adalah untuk menguak informasi mengenai toleransi di Indonesia yang diajukan oleh lembaga survei BPS 2014 kepada sejumlah responden yang ditemuinya. Survei ini juga terkait dengan masalah ketahanan nasional, yang secara khusus pertanyaannya seputar sikap orang terhadap mereka yang berbeda agama.

Hasilnya, rata-rata hanya 23,56% rumah tangga yang setuju/sangat setuju dalam menjawab pertanyaan itu. Kita tidak tahu perbandingannya dengan negara lain, tetapi bagi saya angka rata-rata 23,56% ini cukup rendah. Dan juga, pertanyaan yang diajukan sudah cukup umum, tidak khusus menyinggung tempat ibadah agama tertentu, apalagi sekte agama tertentu. Juga tidak disinggung apakah ada izin atau tidak. Bahkan pertanyaannya juga mencakup tempat ibadah yang sudah ada, bukan hanya membayangkan apabila akan dibangun sebuah tempat ibadah.

Mencermati Masalah Intoleransi

Hasil survei di atas boleh jadi benar, tetapi tidaklah menggambarkan sepenuhnya tentang wajah intoleransi antarumat beragama di Indonesia. Sebabnya, penelitian berbasis survei tidak selalu memberikan kebenaran faktual secara akurat, ia lebih terikat dengan fakta-fakta yang spesifik di lingkungan masyarakat atau orang-orang tertentu yang kemudian ditarik pada kesimpulan umum. Logika survei semacam ini kadang-kadang benar, tetapi tak jarang juga menyesatkan.

Seringkali, kasus intoleransi agama dikaitkan dengan berbagai peristiwa seperti penyerangan tempat ibadah agama lain, kasus penyerangan Ahmadiyah, kasus GKI Yasmin, kasus penyerangan Syiah, aktivisme organisasi tertentu yang terlalu militan, tindakan terorisme, dan lain-lain.

Dulu, sekira 2012, sebuah LSM di Tanah Air pernah melaporkan kepada PBB di Jenewa tentang intoleransi agama di Indonesia. LSM tersebut membawa kasus-kasus sebagaimana disebutkan di atas dengan secara serampangan menyimpulkan bahwa Indonesia termasuk negara yang tidak toleran dalam kehidupan beragama warga negaranya.

Baca juga:  Kekuasaan Itu, Menurut Ibnu Khaldun, Seperti Sebatang Pohon Kayu

Saya sendiri heran, bagaimana mungkin ukuran intoleransi disederhanakan dengan mengambil kasus-kasus semacam itu. Kasus Ahmadiyah, penyerangan Syiah, pembakaran tempat ibadah, dan lain-lain tidaklah mewakili kehidupan beragama di Indonesia.

Hemat saya, kehidupan toleransi beragama di Tanah Air secara umum baik-baik saja.

Semua umat Bergama bebas beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Umat Kristen tidak dilarang beribadah di Gereja, orang Hindu aman-aman saja beribadah Nyepi, kaum muslimin juga dapat gegap gembira menyambut suara adzan, dan lain-lain.

Kalau Anda misalnya bepergian ke Aceh, gereja-gereja di sana berdiri dengan aman dan warga Kristen pada hari Minggu dapat pergi beribadah secara aman dan tanpa perlu khawatir diganggu. Kalau Anda pergi ke Manado atau daerah-daerah lain yang minim umat Muslim, suara adzan pasti tetap bergema setiap datang waktu salat dan orang Islam salat di masjid tanpa ada gangguan.

Kita harus menyadari bahwa masalah kehidupan umat beragama itu pasti ada dan itu wajar. Gesekan dan konflik kecil pasti muncul dan merupakan konsekuensi yang tidak bisa dielakkan ketika hidup berdampingan dengan orang lain. Bangsa Indonesia sendiri pada dasarnya sudah terbiasa hidup berdampingan dengan warga yang berbeda agama, bahkan dalam satu keluarga bisa beda keyakinan.

Baca juga:  Palestina, Ekualisasi, dan "Defensive Colonialism"

Wajah Indonesia yang Toleran

Indonesia sebenarnya sudah sangat toleran dalam kehidupan beragama, bahkan seharusnya menjadi model toleransi yang bagus bagi negara lain. Coba cari di negara mana yang hari besar semua agama dijadikan hari libur nasional selain Indonesia, sepertinya tidak ada.

Sejauh pengamatan dan pengalaman saya, Indonesia masih berada di jalur moderat. Masyarakat Indonesia masih menjujung tinggi toleransi dan pluralitas agama. Bahwa ada sejumlah kelompok radikal dan intoleran memang benar. Bahwa ada sejumlah ormas yang membolehkan aksi-aksi intoleransi dan kekerasan memang valid. Bahwa ada sejumlah daerah yang memiliki “rapor merah” dalam hal toleransi, perdamaian, dan pluralitas agama memang sahih.

Tetapi itu tidak dapat menjadi ukuran untuk menilai masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Sangat tidak akurat jika menilai masyarakat Indonesia secara keseluruhan yang berjumlah lebih dari 265 juta jiwa ini, dari perspektif secuil kelompok radikal dan intoleran.

Selain itu, istilah-istilah yang mengarah pada perbedaan, intoleransi atau mungkin diskriminatif seperti mayoritas-minoritas, bagi saya sudah tidak relevan lagi. Misalnya suatu agama mayoritas di suatu daerah tetapi minoritas di daerah lain. Ketika menjadi mayoritas maka hukum demokrasi berlaku yaitu mengikuti suara terbanyak.

Di Sulawesi Utara atau Papua misalnya, para pejabat Pemerintah Daerah didominasi oleh orang yang beragama Kristen, sebaliknya di Sumatera Barat atau Aceh pejabat Pemerintah Daerah didominasi Muslim.

Di sini, yang terpenting asas proporsionalitas tetap terwakili dalam semua aspek. Keseimbangan itulah yang perlu dijaga agar menumbuhkan harmoni kehidupan yang damai.

Baca juga:  Belajar dari Kasusnya Pandji Pragiwaksono dan FPI: Mengapa Kita Penting Belajar Filsafat

Terakhir, kita tidak perlu takut lagi membicarakan masalah SARA (Suku, Ras, Agama, Antargolongan) sepanjang tidak dalam rangka menghasut atau saling menyerang. Yang perlu terus ditingkatkan adalah pemahaman untuk menerima perbedaan tanpa perlu mengorbankan prinsip masing-masing penganutnya.

Kita harus menyadari bahwa pluralitas itu merupakan keniscayaan dalam hidup, sebab Tuhan menjadikan masing-masing kita berbeda. Kita hanya perlu mensyukuri, menerima dan saling menghormati perbedaan itu.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
3
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top