Sedang Membaca
Ajaran Dinasti Surya tentang Sang Hyang Nistemen
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Ajaran Dinasti Surya tentang Sang Hyang Nistemen

PRAJNAparamitha manusia demi menemukan pencerahan spiritual, terus berkembang sejak dulu hingga kini. Temuan National Geographic (Juni, 2011) di Göbekli Tepe, Turki Selatan, tentang sebuah kuil religius dari masa lampau, menjadi bukti nyata, betapa manusia tak henti mencari penerang hidupnya.

Upaya penemuan itu bisa kita telusuri dari jejak cahaya yang ditinggalkan para guru bijak (manusia inspiratif) yang pernah lahir di Zaman Aksial, sebagaimana dijelaskan dengan baik oleh Karen Armstrong dalam The Great Transformation.

Ajaran para manusia inspiratif tercerahkan itulah yang hingga kini menuntun kita menemukan jalan terang untuk semua kompleksitas masalah yang datang bergantian. Pola dan pergerakannya pun tak jauh beda.

Di zaman Aksial, banyak individu yang sangat tergantung dengan individu tercerahkan tersebut. Kini, hal itu juga terjadi—meski dalam beberapa kasus kita bisa melakukan pencarian secara mandiri, lalu kembali komunal ketika berada dalam komunitas primordial yang menjadi basis kultural kita sedari mula.

Penting untuk diketahui, hampir sebagian besar manusia inspiratif itu lahir di Timur. Lalu pelahan, ajaran mereka menyebar secara gradual ke Barat. Nabi Muhammad saw sebagai individu unggul terakhir dari zaman Aksial, mewariskan cerapan spiritualnya yang dibungkus dalam Islam sebagai agama. Pancaran keunggulan Muhammad itu masih bisa dirasakan-dicandra di banyak tempat di Barat sana. Khususnya di bidang arsitektur. Namun, sejak René Descartes memproklamirkan kemerdekaan rasio (cogito ergo sum), wajah dunia mendadak berubah.

Kristen yang sudah menyebar secara massif di Eropa, mulai ditinggalkan penganutnya. Terutama setelah Gereja menginkuisisi para filosof dan ilmuwan atas nama kesucian dogma-doktrin gereja. Sementara saat bersamaan, para filosof liberal, mendaku bahwa Kristen tak layak dijadikan sandaran keimanan karena rapuh bangunan fundamentalnya. Manusia pun mulai mencari kepuasan untuk fakultas rasionalnya di alam semesta.

Tuhan yang sekian lama menjadi perhatian utama manusia, pelahan terpinggirkan. Masuk ke lemari usang perpustakaan kuno universitas ternama dunia. Tinggal kenangan belaka.

Corak antroposentris Zaman Aksial kembali mencuat. Bedanya, hampir tak lagi ada guru besar kemanusiaan. Kecuali nukilan-nukilan pencerahan yang masih bisa ditemukan dalam kitab-kitab agung mereka yang masih tersisa. Gelombang dekadensi moral pun mewabah di mana-mana. Karena pencapaian luar biasa manusia Eropa di bidang sains, tak mampu jua memenuhi hasrat tertinggi kita untuk menemukan rahasia kuno penciptaan Tuhan:

“Siapakah kita sebelum dilahirkan? Kenapa kita diciptakan? Dan ke mana kita kelak setelah purna dari kehidupan?”

Baca juga:  Masjid dan Panggilan Etis Agama

Tiga pertanyaan yang refleksinya banyak bertebaran di Timur itu, bergelombang secara simultan hingga menerpa manusia Barat.

Steve Job adalah satu dari sekian banyak manusia di Barat yang mulai membalik kecenderungan rasionya ke ranah intuitif. Fakultas unggulan manusia yang dipercaya mampu menuntun kita menuju gerbang Kebenaran Sejati.

Laporan Republika pada Jumat, 20 Januari 2012, tentang pesatnya perkembangan Islam di Eropa dan Amerika, jadi bukti tak terbantah tentang fenomena kemunculan abad baru pencerahan spiritual manusia modern.

Simbol matahari yang digunakan dalam judul tulisan ini, sama belaka sebagaimana yang diterakan para manusia inspiratif dan mistikus sebagai Kebenaran tunggal. Seperti yang digagas oleh Suhrawardi al-Maqtul dalam sistem filsafat iluminasinya (isyraqiyah); Ibn Sina dalam Min al-Masyriq ila al-Maghrib dan Al-Ghazali dalam Misyqat al-Anwar.

Bahkan lebih jauh, Rasul Muhammad sudah memulai lebih dahulu dalam sebuah Haditsnya yang mengabarkan rentang proses kehadiran kiamat, dengan redaksi, “… ketika matahari terbit di timur dan tenggelam di barat.”

Terlepas dari tafsir bebas yang dilakukan penulis dari Hadits masyhur itu, kita semestinya mulai mawas diri. Setiap nafas yang kita hembuskan. Sekian tindakan yang kita lakukan-lakoni, harus kembali pada kesejatiannya. Seperti semula. Tak ada nafas kecuali udara. Tak jua tindakan pun ucapan, kecuali sebentuk laku. Semua jadi wewarah berdasar peng-alaman kita. Dunia tempat kita berada kini, nampak nyata hanya karena kita adakan dalam pikiran.

Matahari adalah simbol perpaduan sempurna Langit-Bumi. Ada Kasih (ar-Rahman) dan Sayang (ar-Rahim) yang meniupkan Cinta kepada kita dari Langit sana. Sekali ia tertiup ke semesta ciptaan ini, Anugerah-Nya menghidupkan segala menjadi ada. Di sini. Sekarang. Itulah kenapa sebagian besar sufi agung menegaskan bahwa kita adalah anak waktu (ibnu al-waqt) yang meruang. Teradakan bukan karena meng-ada. Tapi sebab keberkahan luarbiasa besar dari Yang Mahamemberkahi. “Langit di luar langit di dalam/sama saja/menyatu dalam jiwa,” begitu sebaris sajak yang digurat Rendra dalam sebuah puisinya.

Dengan tingkat kesadaran paling tinggi, kita akan menyadari sepenuh-penuhnya, bahwa tak ada masa lalu dan masa depan. Kecuali sekarang. Kita mewadahi kedua matra itu secara taksa. Prinsip primordial ini adalah bagian paling sentral keberadaan kita. Hanya manusia yang diberi berkah mengalami keserempakan seperti itu. Semua alur waktu lalu-nanti, lebur secara kukuh dalam kekinian. Hingga akhirnya ruang-waktu pun tak lagi bisa dicandra keutuhannya. Momen inilah yang jadi landasan utama prinsip keabadian. Paripurna. Kita, dengan sangat leluasa diberi kemampuan ini. Manusia yang sejatinya fana’, ternyata dititipkan secercah keabadian yang Spiritnya menopang langit dunia hingga tetap tegak di atas sana. Menjadi atap dari kehancuran ciptaan.

Baca juga:  Kearifan Lokal Sebagai Ideologi dan Identitas Bangsa

Uniknya, bangsa kita dititipkan tuhan unsur paradoks seperti itu. Jika kita memang hina, hancur, binasa, kenapa Dia berkenan bersemayam di dalam hati orang-orang mukmin, “Qalbun mu’min baitullah…” Untuk itu, dibutuhkan sejenis perenungan mendalam demi membongkar rahasia apa yang disembunyikan tuhan dibalik dimensi wadag yang menyelubungi kita sekarang.

Keabadian hanya milik Allah. Di bumi, bayangan-Nya terpantul dan melenakan siapa pun yang kesadarannya lindap ditelan pesona material alam ciptaan. Seperti matahari dan cahayanya yang kerap gagal kita bedakan. Mata fisik akan selalu mengamini cahaya matahari tanpa bisa menatap sumbernya dengan baik. Kerana cahaya itulah yang membuat segala ciptaan jadi tampak jelas, ada, indah. Tapi sumber cahaya, semakin jauh dan terlupakan.

Hanya dengan kesadaran penuh dan kedasaran pencerapan, kita bisa membuka gerbang cahaya itu untuk kemudian masuk dan menghirup aroma ketunggalan Dia dan Kita. Sehingga yang terjadi bukan lagi pengakuan. Tapi kesementaraan yang lampau. Purba dan tiada bertitik akhir. Dalam kondisi ini, maka kita tak lagi sanggup meyakini apa itu terbatas dan ketakterbatasan. Semua lebur menjadi Satu: Dia.

Monumen Bhwana Shaka Pala yang oleh J Casparis disebut Borobudur, jadi rekaman arkeologis paling valid tentang persebaran agama bangsa Çaka yang mendirikan Dinasti Surya.

Nun di barat sana, warisan agung leluhur kita beralih nama menjadi Jain, Hindu, Buddha, Sikh dan bahkan Zoroaster.

Di utara malih jadi Tao & Konfusian. Transliterasi ajaran itu tercatat dengan baik dalam kitab karangan Nagarjuna, Maha Prajnaparamita Sastra tentang Śāriputra dan gurunya, Sañjaya, berisi tentang Risalah Kebajikan dan Kebijaksanaan.”

Monumen megafraktal rancangan arsitek ulung zaman Dinasti Saylendra pada Abad-8 M itu, dibangun mengatasi tanah berbentuk persegi dengan masing² sisi berukuran sekitar 123 m². “Tubuh” çandi ini terdiri dari bagian kaki, badan, dan kepaIa. Bagian kepala, tiga tingkatan undak berbentuk lingkaran pada bagian atas. Berisi 72 patung Buddha. Ditangkup dalam stupa-stupa arupadathu (simbol dunia nirbentuk).

Bagian “badan” berupa lima tingkat undakan berbentuk bujur sangkar. Ribuan relief rupadathu (simbol dunia wujud) terukir pada tubuh çandi. Bagian kaki adalah lantai dasar. Berisikan relief pralambang dunia hawa nafsu (kamadathu). Terdapat total 2672 panel relief dengan total 504 area sang Buddha. Semua diukirkan pada batu pejal dengan kerincian dan ketelitian yang sarat, lagi mengagumkan.

Baca juga:  Diaspora Santri (8): Menjaga Generasi, Menggerakkan Tradisi: Pengalaman Menjadi Nahdliyin di Australia

Di Kamadhatu kita akan menjumpai penggambaran berahi–yang satu di antaranya dihasilkan nafsu. Unsur penting ini, dinamakan Bait l-Muqaddas dalam terma tasawuf. Rumah Kesucian. Ranah reproduksi yang membedakan secara tegas antara kita makhluk yang beranak, dan Sang Hyang Moho Tunggal yang tidak beranak dan diperanakkan.

Rupadhatu berisi panel relief seputar jagat jasmani. Kemenubuhan serta pemberontakannya yang teramat sering sulit kita kendalikan, bahkan sadari. Pernahkah kita sadar betapa detik per detik tubuh kita terus menerus tumbuh sejak mula ada? “Siapa” yang memberitahu lambung tuk mengirim sinyal lapar kepada otak? Diri kita manakah, yang sejatinya ingin menghias pergelangan tangan dengan gelang emas? Islam menamai area ini dengan Bait l-Muharram.

Arupadhatu yang merupakan arena nir-wujud, adalah sarana melatih mental, pikiran, visi, tabularasa, & spiritualitas. Proyek pencerahan manusia berkutat di sini. Sesiapa yang berhasil mendaki sejak dari bawah hingga ke wilayah Bait l-Makmur-nya, niscaya ia takkan mengalami kejatuhan dalam reinkarnasi, & dapat melanjutkan perjalanan ke lapisan alam lanjutan. Barzakh. Khayangan. Begitulah nama yang disematkan umat beragama.

Jadi, dengan menziarahi Bhwana Shaka Pala, kita sesungguhnya sedang mempelajari riwayat kehadiran diri sendiri di jagat mayapada. Dunia fa(tamorga)na. Kumara Sakyamuni tidak pernah mendeklarasikan pendirian sebuah bangunan agama. Ia sedang menjalani laku kabuddhaan. Buddhayana. Kita menamainya dengan keluhuran budi–yang jadi budaya.

Figur seorang lelaki di puncak monumen itu, adalah perwujudan Manusia Sempurna (al-Insan al-Kamil) yang terus melatih diri dalam duduk manekung. Berzikir. Tahannuts. Manungku samadi aneges karsa amarsudi kawasa. Sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu. Ilham rasa sejati mencari keselamatan hidup di dunia dengan pembersihan nafsu angkara.

Buddha bukan Sidharta Gautama. Kristus tidak sama dengan Isa as. Nur Muhammad konteks berbeda bagi Muhammad saw.

Sejatinya, Buddha merujuk pada kesadaran tercerahkan. Sama seperti Kristus bertautan pada penyelamatan Ilahi, dan Nur Muhammad menandai Cahaya Allah yang meresapi setiap perwujudan dalam bentuk manusia berikut segenap isi semesta raya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top