Sedang Membaca
Tren Identitas Syar’i dan Budaya Pop
Neng Yanti Khozana
Penulis Kolom

Antropolog dari Monash University Australia. Staf pengajar di ISBI Bandung, dan peminat masalah-masalah kebudayaan. Tinggal di Bandung.

Tren Identitas Syar’i dan Budaya Pop

Suatu ketika, di awal tahun 2013, saya terkejut saat pergi ke sebuah toko buku besar di Bandung. Itu adalah kali pertama saya kembali ke tanah air sejak melakukan perjalanan untuk studi di luar negeri. Berjarak sekitar 1,5 tahun sejak kepergian itu, saya mendapati suasana yang sangat berbeda saat kembali di Bandung. Di toko buku itu, saya mendapati satu bagian khusus rak buku tentang hijab, tepatnya buku tutorial atau cara-cara memakai hijab dengan segala macam variasinya, dengan gambar-gambar yang menarik. Bahkan, saya mendengar ada tempat-tempat kursus singkat untuk tutorial hijab ini.

Tulisan di internet dan video di Youtube tak terhitung jumlahnya. Para perancang busana muslimah meningkat tajam. Komunitas hijaber tumbuh di mana-mana. Tiba-tiba hijab memenuhi ruang kehidupan sehari-hari perempuan Muslim Indonesia. Dari para artis hingga pedagang, dari ibu-ibu petani di sawah hingga anak-anak SD semua berhijab. Situasi ini terasa kontras dengan Indonesia hingga 1990an ketika pengguna jilbab masih belum terlalu masif, hanya terbatas pada institusi-institusi keagamaan seperti pesantren atau sekolah Islam.

Hijab, atau lebih dulu kita kenal dengan istilah jilbab, kemudian menjadi tren fasyen baru. Seiring dengan meningkatkan gairah keberagamaan masyarakat. Tren ini pun bergerak dengan amat cepatnya. Pedagang jilbab dan baju panjang menjamur.

Lalu, sekitar satu atau dua tahun kemudian tren jilbab bergerak lagi dengan ditambah embel-embel syar’i. Maka, jilbab dan pakaian syar’i pun menjadi tren berikutnya. Banyak ibu-ibu dari berbagai kalangan beralih pada tren ini.

Tren pakaian syar’i lantas menjadi bisnis mode yang menjanjikan, terlebih saat banyak public figure, seperti para artis, memakainya. Jika mencari informasi pedagang daring pakaian syar’i lewat mesin pencari di internet atau lewat berbagai platform media sosial, jumlahnya amat banyak. Bagi kalangan pebisnis mode, kata ‘syar’i’ menjadi kosa kata baru yang layak jual.

Perubahan sosial yang demikian cepat itu tak lepas dari peran media internet dan televisi, tempat ideologi budaya pop dengan cepat menyebar. Situasi ini didukung oleh kondisi politik dalam negeri ketika Perda Syariah menjamur di berbagai tempat sebagai ajang bargaining position para politisi dan pemimpin lokal saat itu.

Di beberapa kota dan kabupaten penggunaan jilbab pun menjadi kewajiban. Suasana ini didukung pula oleh pertarungan politik yang tajam menjelang Pilpres 2014 saat itu, ketika simbolisasi agama menjadi sangat penting.

Baca juga:  Pemerintahan Tunjukkan Sikap Keras Terkait Penggunaan Cadar dan Celana Cingkrang

Cadar, ideologi ‘syar’i’ dan budaya pop

Identitas “syar’i” kemudian dilekatkan terhadap banyak aspek kehidupan masyarakat, mulai bank syariah yang mewabah, label untuk kompleks perumahan, penyebutan untuk toko dan sejumlah produk, hingga tentu saja pakaian. Tentu sangat menarik melihat kenyataan bahwa syar’i kemudian menjadi semacam gaya hidup.

Namun, pada perkembangannya label “syar’i” menjadi tampak ekslusif, dalam arti bagi mereka yang tidak mengikuti standar “syar’i” dipandang menjadi tidak Islami. Persoalannya, siapa yang menentukan standar tersebut? Sementara, hal-hal yang disebut syar’i pun pada dasarnya bersifat ikhtilaf atau menjadi perdebatan di kalangan para ulama.

Situasi ini tentu terasa kontras ketika di negara asalnya, Arab Saudi, kaum perempuan di negeri itu justru berjuang untuk melepaskan diri dari nilai-nilai konservatif yang dianggap mengekang, khususnya untuk tampil di ruang publik secara mandiri, termasuk dalam hal berpakaian.

Dalam kajian budaya, saya kemudian melihat fenomena syar’i ini sebagai tren mode baru. Cadar termasuk di dalamnya.

Kesalehan spiritual dalam balutan pakaian syar’i yang fashionable membuat orang merasa tetap bisa tampil elegan dan tak ketinggalan zaman. Hal ini tampak kontradiktif dengan semangat syar’i yang mengedepankan nilai-nilai kesederhanaan. Di sini lah, ideologi budaya pop tak bisa terhindarkan. Hal ini membuat fenomena cadar di Indonesia, dalam amatan saya menjadi khas dan unik. Meski cadar kerap diasosiasikan dengan banyaknya batasan terhadap perempuan dalam mengkespresikan diri di ruang publik, toh di Indonesia mereka yang kemudian memilih bercadar secara fashionable tetap menunjukkan aksi-aksinya di ruang publik.

Baca juga:  NU, Hukum Agama, dan Hukum Negara

Dalam salah satu platform medsos Instagram misalnya, kaum perempuan bercadar tak berhenti untuk menunjukkan selera fasyen dan gaya yang diikuti kalimat-kalimat motivasi dan sejenisnya. Di sini lah, pakaian syar’i tumbuh sebagai mode. Tidak lagi berpatokan pada nilai-nilai kesederhanaan. Misalnya saja tampilan seorang public figure, meski ia bercadar, ia tetap menggunakan hiasan cincin besar yang fashionable yang biasa dipakai para pecinta fasyen.  Hal itu terlihat juga pada bisnis busana pengantin bercadar yang mendapatkan permintaan pasar yang meningkat. Fasyen atau mode pada akhirnya bermuara pada gaya hidup.

Pertanyaannya, jika pakaian syar’i telah menjadi mode, sampai kapan kira-kira tren fasyen ini bertahan? Bukankah dalam dunia mode, model pakaian sangat cepat berubah?

Wacana yang beragam

Di tengah perebutan wacana politik identitas yang mengental terkait label “syar’i dan tidak syar’i”, saya menemukan adanya situasi yang khas terkait ekspresi keagamaan di Indonesia.

Masyarakat kita yang terbiasa berpikir homogen, dengan satu sudut pandang, dihadapkan pada banyak pilihan dan cara pandang, dengan semakin masifnya penggunaan media online. Bagaimanapun, ekspresi berpakaian selalu menyisakan ruang bagi ekspresi budaya yang khas.

Maka, bagi saya, gaya berpakaian syar’i perempuan Indonesia tetaplah unik. Tidak sepenuhnya mengopi cara berpakaian orang Arab. Hal itu misalnya tampak dari ekspresi sejumlah mahasiswi bercadar yang saya temui. Cadar yang kerap identik dengan ekslusivitas, bahkan dikaitkan dengan ideologi tertentu, dalam beberapa kasus, saya melihat mereka tak canggung dalam berinteraksi sosial, termasuk dalam berbicara dengan lawan jenis.

Baca juga:  Kontroversi Mahasiswi Bercadar di UIN Jogja

Hal ini pasti sangat berbeda dengan kebiasaan di Arab sana, ketika kaum perempuan sejak kecil dididik dengan cara yang sangat ketat, termasuk dalam mengekspresikan diri di ruang publik sesuai dengan nilai-nilai budaya mereka.

Tetapi, hal itu tidak saya temukan dalam beberapa kasus mahasiswi bercadar yang saya temui. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi keberagamaan orang Indonesia itu selalu khas. Interaksi laki-laki dan perempuan muslim yang cenderung lebih cair di ruang-ruang publik membuat cara-cara berekspresi itu terasa berbeda.

Bercadar memang soal pilihan individu, dan kita layak menghargainya. Akan tetapi, bercadar menjadi persoalan ketika memunculkan kekhawatiran situasi sosial tertentu. Atas dasar itulah barangkali alasan munculnya pembatasan penggunaan cadar di sejumlah institusi pendidikan Islam.

Di luar persoalan-persoalan yang menyangkut kegelisahan sosial terkait meningkatnya tren perempuan bercadar yang dikaitkan dengan ideologi tertentu, saya lebih percaya pada sebuah proses belajar. Ketimbang membatasi ruang gerak mereka, para perempuan bercadar itu akan mendapat kesempatan untuk belajar tentang keragaman cara pandang, dan tidak menempatkan diri mereka secara ekslusif.

Ekslusivitas inilah yang kerap dipandang sebagai pemicu munculnya persoalan-persoalan menyangkut ruang-ruang sosial yang lebih demokratis di lingkungan kampus. Wallahua’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top