Sedang Membaca
Palestina Sebagai Laila
Irfan L Sarhindi
Penulis Kolom

Penulis lepas dan Guru di Pesantren Cianjur, Jawa Barat.

Palestina Sebagai Laila

Dalam tradisi sufisme, kisah cinta Laila-Qais yang legendaris dan tragis di kesusteraan Persia itu diposisikan sebagai alegori cinta hamba kepada Tuhannya. ‘Laila’ sebagai Tuhan, Qais sebagai hamba. Ketika Laila menikah dengan saudagar kaya dari Arab Utara, Qais mengasingkan diri ke gurun-gurun, mengekspresikan perasaannya ke dalam puisi, berteman hewan-hewan buas, sepenuhnya kehilangan ‘kewarasan’ hingga kemudian dijuluki Majnun.

Dalam konteks cinta Tuhan dan hamba-Nya, kondisi ‘majnun’-nya Qais diinterpretasikan sebagai kecintaan total kepada Tuhan sehingga tidak ada apapun yang maujud kecuali Allah dan hanya Allah.

Di tulisan ini, saya ingin memperkaya khazanah penafsiran Laila-Majnun dengan meletakkanya pada isu Palestina. Dengan kata lain: saya ingin mencoba menjadikan Laila (dan alegori cinta Majnun kepadanya) sebagai narasi Palestina dan ekspresi solidaritas dan cinta dari Muslim di seluruh dunia, wabil khusus, di Indonesia. Untuk itu, saya mula-mula harus menambahkan beberapa catatan.

Pertama, dalam kisah klasik Laila-Majnun, yang berperan sebagai Majnun hanya satu. Dalam isu Palestina, kita akan melihat bagaimana yang (merasa) berperan sebagai Majnun ada banyak. Rupa-rupa tabiat dan kelakuannya dalam mengekspresikan rasa cinta.

Kedua, dalam kisah klasik tersebut ada komentator, utamanya yang prihatin terhadap nasib Qais si majnun; walau sebagian berhenti di derajat gossiping. Tetapi sebagian lagi tergerak untuk menolong mempertemukan, jika bukan puisi Majnun kepada Laila, maka berarti Majnun-nya sendiri.

Baca juga:  Bagaimana NU Online Menulis Wafatnya Mbah Moen?

Dalam hal isu Palestina, kita tahu bahwa ada klausul netizen mahabenar sebagai komentator yang tidak selalu bersikap suportif dan positif, tetapi dalam satu dan lain hal, lebih mampu menemukan alasan-alasan untuk mencibir dan menyuarakan cacian. Mau paham atau tidak tentang Palestina.

Apalagi, kita tahu bahwa Palestina ‘diberkahi’ (atau ‘dikutuk’?) dengan sebuah wilayah geografis yang pernah, sedang, dan akan jadi lokus konflik yang diyakini oleh sebagian orang sebagai konflik agama. Berdasarkan keyakinan/persepsi tersebut, (penderitaan rakyat) Palestina sering dijadikan ‘isu strategis’ untuk menyuarakan kampanye kekhilafahan global. Atau setidak-tidaknya, jadi isu strategis untuk memenangkan kontestasi politik dalam negeri seiring menguatnya kecenderungan Islam politik dan politisasi Islam. Pemosisian (isu) Palestina sebagai isu strategis dilandasi kesadaran bahwa para Majnun, dengan kecintaan mereka yang dalam sebagai ‘satu tubuh’, akan tergerak untuk membela.

Dan Palestina sebagai Laila baru-baru ini diganggu lagi oleh Amerika Serikat seiring pernyataan sembrono Donald Trump yang ingin menjadikan Yerusalem sebagai ibukota Israel yang karenanya merasa perlu untuk memindahkan Kedubes mereka ke sana.

Pernyataan yang tidak hanya dikecam keras PBB, tetapi juga direspon dengan Aksi Bela Palestina per Desember 2017 di Monas, Jakarta. Kita me-recall kembali ketegasan Bung Karno membela Palestina dan mengutuk penjajahan Israel dan menganggapnya sebagai role model (satu-satunya) dalam mencintai Palestina-Laila.

Alhasil, ketika Gus Yahya Cholil Staquf berbicara di Israel tentang membangun konsolidasi ‘rahmah’ untuk menghentikan kekerasan dan membangun perdamaian, ekspresi tersebut dianggap menciderai cinta kepada Palestina-Laila.

Gus Yahya berbicara di American Jewish Committee selama 14 menit dan cibiran berfokus pada absennya kalimat ‘saya mendukung Palestina’ secara eksplisit dari salah satu kiai NU tersebut. Kritik dan cibiran disampaikan tidak hanya oleh ‘majnun-majnun’ yang lain, tetapi juga oleh para netizen mahabenar.

Baca juga:  Tiga Ulama Sufi yang Kaya Raya

Kedatangan Gus Yahya dinilai mengkhianati perjuangan Muslim RI dalam membela Palestina, menciderai kematian para martir semisal Razzan al-Najjar yang ditembak-mati sniper Israel. Bagi mereka, satu-satunya jalan membela Palestina jika bukan dengan demo dan menutup pintu dialog dengan Israel, ya dengan berperang walau hanya dengan batu.

Mereka lupa bahwa upaya apapun bisa dilakukan, termasuk diplomasi. Mereka juga abai bahwa di Palestina bukan hanya faksi Hamas yang berjuang, tetapi juga ada faksi Fatah dengan diplomasinya.

Dari sana, kita bisa melihat bagaimana rupa-corak para Qais berdasarkan derajat kemajnunannya pada Laila. Jika kita melihat kembali narasi Laila-Majnun, kita akan menyadari bahwa semakin majnun sang Qais, semakin dia cemas kalau-kalau dia tidak cukup mencintai, tidak benar dalam mengekspresikan cintanya. Dalam konteks Palestina, para Qais di Indonesia sepertinya belum mencapai level kemajnunan paling dalam, karena masih belum mampu melihat pendekatan yang berbeda dan masih berkecenderungan merasa diri paling (mencintai) Palestina, paling benar dalam membelanya.

Itu sebabnya, kita butuh meng-upgrade ke-Qais-an kita agar bisa bertransformasi menjadi majnun yang karena kedalaman cintanya menjadi lebih interospektif dan berpikiran terbuka. Misalnya, di Truman Institute, Gus Yahya mengklarifikasi sekaligus menegaskan bagaimana beliau hadir di sana untuk memperjuangkan Palestina. Tetapi sebagian kalangan lebih senang meng-capture postingan Benyamin Netanyahu terkait pertemuannya dengan Gus Yahya. Kita tidak tertarik pada klarifikasi, kita lebih menghamba pada pemenuhan dan pembenaran atas rasa-diri-paling-benar yang kita miliki.

Baca juga:  Hijrah dan Hal-hal yang Tak Boleh Luput

Jika sudah demikian, akan susah bagi kita membahagiakan Laila, karena kita tidak lagi mengedepankan semangat kolaborasi dan jemaah sambil meyakini bahwa peran yang diemban tidak harus senantiasa sama dan persis. Padahal, mereka yang berdoa, biarlah berdoa; mereka yang demo, sumangga berdemo; mereka yang bersedekah, terima kasih; mereka yang angkat senjata, berjuanglah; mereka yang berdiplomasi, berdiplomasilah.

Semoga dengan didobraknya semakin banyak pintu ikhtiar semakin cepat doa dikabulkan. Jangan hanya karena egoisme pribadi upaya tersebut kemudian kita kerdilkan sendiri, kita persempit sendiri, sehingga Laila tak kunjung tiba pada merdeka. Kecuali memang sejak awal Laila-Palestina tidak menjadi pusat cinta tetapi hanya kendaraan dan alat menuju Laila yang lain: kepentingan politik pribadi/golongan, misalnya, atau syahwat kebencian.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top