Sedang Membaca
Mengakali Kematian: Kisah Abu Nawas
Riza Bahtiar
Penulis Kolom

Peneliti Kindai Institute Banjarmasin

Mengakali Kematian: Kisah Abu Nawas

Guru saya pernah berkisah tentang Abu Nawas yang saya yakin kisah ini tak terdapat dalam kitab-kitab umumnya. Kisah ini saya tuturkan kembali sesuai ingatan dan bahasa saya sendiri. Kisah apakah?

Konon, Abu Nawas berwasiat pada istri dan anaknya agar saat dia meninggal kelak dibelikan kain kafan yang sudah sangat usang. Demikianlah, saat dia meninggal, Abu Nawas dicarikan kain kafan yang sangat usang sebagai pembungkus jenazahnya.

Sesaat setelah dikuburkan dan ditalqinkan, ruh Abu Nawas sendiri di dalam kuburnya. Sejurus kemudian, datanglah dua malaikat yang akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Abu Nawas.

Melihat Abu Nawas memakai kain kafan yang sangat usang, kedua malaikat berdebat tentang ruh yang mereka datangi. Satu malaikat meragukan betulkah lubang kubur yang mereka datangi ini dimasuki penghuni yang baru. Yang satu ngotot bahwa sesuai catatan yang dipegang, kubur yang mereka datangi memang betul baru diisi ruh orang yang meninggal.

Keduanya berdebat tentang kain kafan yang usang dari si penghuni kubur. Seharusnya bila baru meninggal, kain kafannya mestinya baru, kenyataannya malah kain itu jelas-jelas kain lawas.

Setelah berdebat cukup lama, keduanya akhirnya memutuskan tetap menanyai ruh Abu Nawas di lobang kuburnya. “Siapa Tuhanmu?” ujar sang malaikat kepada Abu Nawas.

Baca juga:  Ego dan Keberkahan Ramadan

Abu Nawas tak langsung menjawab. Setelah hening sesaat, Abu Nawas menyahut, “Apa kalian tidak salah alamat? Lihat, kain kafanku ini ‘kan sudah usang. Berarti aku ini penghuni lama. Ya ‘kan?”

Kedua malaikat terdiam. Mereka memandangi Abu Nawas di sekujur tubuhnya. Memang, kain kafan yang dipakainya sangat usang, namun, tanahnya masih baru. Keduanya bertanya-tanya, apa mereka sedang dikibuli.

Sepintas, saat mendengar kisah ini, terkait sosok Abu Nawas yang terkenal dengan aneka kisah jenaka, niscaya kita akan berpikir bahwa rupanya bukan manusia saja yang dikerjai Abu Nawas. Malaikat pun tidak luput dari keisengannya. Saat hidup saja, dia iseng, sampai mati pun keisengannya masih bersambung.

Seperti halnya Nasruddin Khoja, Abu Nawas punya banyak wajah. Dalam kitab-kitab yang ditelusur oleh Prof. Mun’im Sirry (lihat “Abu Nawas yang Ternyata Gay” di Geotimes.co,  2/07/2017). Abu Nawas secara meyakinkan tergolong  punya kecenderungan menyukai lelaki muda. Namun, poin yang saya bicarakan bukan itu.

Dari kisah Abu Nawas dengan kain kafan lawas, guru saya masuk ke pesan di balik kisah ini. Setelah dibingungkan dengan pembungkus jenazahnya, para malaikat mendapat pertanyaan balik dari Abu Nawas.

“Kalian selalu bertanya siapa Tuhanmu? Izinkan aku balik bertanya. Siapa Tuhanmu? Di mana Tuhanmu? Apa tujuanmu hidup? Kalau kalian bertanya kepadaku pertanyaan-pertanyaan ini, kalian salah alamat. Kenapa salah alamat? Orang yang bertanya siapa Tuhanmu, berarti meragukan keberadaan-Nya bahkan dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa bertanya kepada orang lain siapa tuhan orang itu padahal tak sekejap pun, tidak sedetik pun Tuhan itu lepas dari si penanya. Tuhan itu sekaligus penanya, yang ditanya bahkan pertanyaan itu sendiri. Tidakkah kalian lihat, diriku ini adalah diri yang telah kembali sebelum ajal datang. Aku sudah mati sebelum mati. Karena itu, kalau kalian bertanya siapa Tuhanmu pada orang yang telah mati sebelum mati, berarti kalian itu tidak mengenal diri kalian sendiri. Aku telah ribuan kali bertanya pada diriku sendiri, siapa tuhanku, di mana tuhanku. Kehidupan kuhabiskan menjawab dan menghayati pertanyaan-pertanyaan ini. Aku telah mendapatkan jawabannya. Jawabannya justru berbalik kepada si penanya itu sendiri. Jangan-jangan kamu mempertuhankan dirimu sendiri. Bila ya, apa bedanya kamu dengan Fir’aun. Kamu merupakan Fir’aun tanpa singgasana, tapi klaimmu sama saja. Kamu mempertuhankan hawa nafsumu sendiri. Karena itu, kuhabiskan waktuku melawan hawa nafsuku. Kalian para malaikat mana tahu apa itu hawa nafsu. Kami, manusia selalu diombang-ambingkan hawa nafsu.

Baca juga:  Kisah Seorang Nabi yang Mempertanyakan Keadilan Tuhan

Dalam kehidupanku, aku pernah melakukan dosa. Ini digiring oleh hawa nafsu. Lantas, aku bertaubat. Air mata bercucuran memohon ampun. Sesudahnya, aku menjadi ahli ibadah. Ini pun masih dirasuki oleh hawa nafsu. Hawa nafsunya apa?

Merasa sebagai paling ahli ibadah sejagad raya. Nah, apa bedanya dengan kesombongan Iblis. Sama ‘kan. Hawa nafsu sangatlah halus. Berbuat dosa bagian dari hawa nafsu. Beribadah pun bila timbul kebanggaan, juga diperosokkan oleh hawa nafsu. Kalian rupanya kurang mengamati kenyataan ini.”

“Sebentar… sebentar. Kenapa kami yang malah kau ceramahi?” sergah seorang malaikat.

“Mulutku bergerak sendiri. Aku hanya menjadi penyampai pesan. Pesan ini keluar dari apa yang sudah dihayati oleh jasadku dan mengisi seluruh relung ruhku.”

Tidak penting apa yang terjadi kemudian pada Abu Nawas. Yang terpenting adalah pesannya dengan kain kafan usang. Bahwa kain kafan usang tak lain adalah simbolisme kematian yang dilakoni sebelum ajal tiba. Inilah pesan utama dari hikmah yang diyakini sebagai hadits oleh kaum sufi, “Matilah engkau sebelum mati.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
2
Terhibur
3
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top