Beberapa hari ini, status WA saya diramaikan oleh unggahan konten-konten yang menampilkan sosok ulama besar asal Kalimantan Selatan, K.H. Zaini bin Abdul Ghani (w. 10 Agustus 2005) atau familiar dengan sebutan Guru Ijai atau Guru Sekumpul.
Di kalangan orang Banjar, beliau dianggap seperti orang tua sehingga lebih akrab dengan sebutan Abah Guru Sekumpul. Konten ini dibuat sedemikian rupa, berupa foto maupun video. Isinya di antaranya alunan manakib, aktivitas keseharian, riwayat-riwayat kewalian dan karomah, juga syair-syair Maulid Habsy yang rutin dibawakannya. Karena beliau, popularitas pembacaan Maulid Habsy di Kalimantan Selatan meningkat pesat, bahkan seakan menjadi tradisi di pengajian-pengajian masyarakat.
Unggahan-unggahan ini ternyata wujud ekspresi kegembiraan yang membuncah mengingat tak berapa lama lagi tradisi rutin tahunan Haul Akbar Guru Ijai akan kembali digelar kembali di Martapura, yaitu di mushalla Ar-Raudhah, Sekumpul. Acara ini selalu dinanti oleh mayoritas masyarakat Banjar.
Bagi para pecinta, di sinilah tempat mereka bisa menumpahkan kerinduan bersama-sama, merasakan getaran-getaran spiritual yang menghujani hati-hati tandus dan gersang, mengisi kekosongan-kekosongan batin di tengah keduniawian yang semakin kompleks.
Tahun ini menjadi haul ke-14. Semakin tahun berganti, jumlah masyarakat yang ikut dalam pelaksaan haul terus meningkat, bahkan dalam dua tahun belakangan naik drastis. Asal daerah mereka juga beragam, dari lokal hingga internasional. Pada pelaksanaan haul tahun lalu, jumlah jama’ah yang hadir diperkirakan sekitar 900 ribu orang (http://kalsel.prokal.co/read/news/8309-haul-abah-guru-sekumpul-tahun-ini-bisa-capai-jutaan-orang).
Baca juga:
Tahun ini panitia memprediksi akan lebih membeludak dari sebelumnya. Menariknya, salah seorang warga dari Kalimantan Tengah bahkan rela berjalan kaki hanya demi bisa ikut haul.
Jarak yang tidak sebentar, bahkan ditempuh dengan kendaraan bermotor (http://banjarmasin.tribunnews.com/2019/03/04/semangat-hadiri-haul-guru-sekumpul-pemuda-ini-rela-jalan-kaki-dari-kalteng-ke-martapura).
Persiapan yang direncanakan pun diatur dengan detail sedemikian rupa demi kenyamanan. Banyak pihak secara rela ikut terlibat. Dishub misalnya menyediakan lima buah bus untuk antar jemput ke lokasi parkir yang direncakan akan berada jauh dari lokasi acara, tentu saja dalam rangka menghindari langgangan macet setiap tahun yang bisa sampai satu hari penuh.
Selain itu, tersedia banyak warung makan gratis di sepanjang jalan di sekitar kota yang kian tahun juga makin banyak. Penginapan secara cuma-cuma bahkan disediakan tanpa bayaran sepersen pun bagi para jama’ah dari luar daerah. Kabarnya adapula yang menyediakan nasi bungkus berjumlah 1 juta 500 ribu bungkus.
Betapa gigihnya orang-orang berlomba satu sama lain memberi fasilitas kenyamanan selama acara membuat kita bertanya-tanya, ada apa dengan haul sang guru ini?
Secara pribadi saya melihat yang demikian ini tidak lain dan tidak bukan adalah karena dorongan kuat meleburnya cinta dan kerinduan. Cinta yang lahir atas dasar mahabbah ilahi yang termanifestasi melalui kecintaan pada sang guru. Guru Ijai adalah magnet, pusat bagi semua tarikan energi-energi cinta keilahian masyarakat kepada Tuhan. Karena ia adalah guru, dianggap penolong bagi semua kalangan.
Ia merangkul siapa saja tanpa melihat latar belakangnya. Cerita-cerita yang dituturkan secara lisan oleh mayoritas masyarakat yang tinggal di sekitarnya, menegaskan pribadi kelemah-lembutan, kesantunan, dan budi pekerti yang sanggup memadamkan nyala api amarah bagi siapapun yang memandangnya.
Sebagaimana cinta Qais kepada Majnun, para pecinta yang sudah melebur dalam cinta bersamanya akan selalu merindu dan menghormati setiap momen-momen penting tentang orang yang dicintainya. Masyarakat memang mencintainya tetapi sejatinya cinta itu tidak lain adalah cinta kepada Tuhan, bukan mencintai makhluk.
Masyarakat menaruh hormat yang tinggi kepadanya karena ajaran, nilai-nilai Islam yang dibawanya adalah Islam yang dekat keseharian masyarakat. Ia memberikan petuah-petuah moral yang seringkali kecil, sederhana, tetapi dikupas secara dalam dan detail. Beliau mengedepankan prinsip Islam universal yang menaungi tidak hanya umat Islam, tetapi juga non-muslim.
Salah satu pesan yang pernah beliau sampaikan “janganlah kamu merasa lebih baik, bahkan ketika berhadapan dengan non-muslim”.
Beliau juga pandai dalam memainkan humor ketika pengajian. Cerdas, lugas, mengalir, namun mengena di hati, memberi rasa sejuk, meregangkan batin-batin yang tegang, menjeda sejenak dan menertawai kehidupan duniawi bersama-sama.
Di antara yang paling magis dari semua itu sehingga setiap haul selalu menjadi momen penting dan akbar adalah anggapan bahwa beliau merupakan seorang wali Qutb, auliya’ yang memiliki kedudukan istimewa dalam maqam sufistik. Begitu banyak riwayat secara lisan disampaikan bahwa beliau adalah seorang yang wali Qutb.
Semisal Habib Umar bin Hafizh yang sering menjadi representasi habaib sedunia mengamini hal ini. Beliau bahkan pernah berkunjung ke kediaman Guru Ijai. Pangkat kewalian yang dianggap tertinggi ini adalah akar kuat yang menopang pesona kharismatiknya sebagai ulama tasawuf mendunia.
Saya teringat dulu ketika masih kecil, sering berangkat kepengajian beliau bersama ayah dan kawan-kawan di majelisnya. Saya yang waktu itu masih kecil dan belum mengerti banyak hal, apalagi tentang agama, hanya manut saja. Yang masih teringat dalam benak saya waktu itu adalah saya bingung dan merasa heran dengan banyaknya jama’ah yang hadir. Kadang juga berpikir mengapa harus jauh-jauh pergi ke pengajian beliau setiap minggu.
Namun, saya masih terlalu belia untuk bisa memahami, hanya ikut saja melantunkan syair-syair Maulid Habsy bersama.
Dalam konteks pengalaman ini, energi yang juga menjadi pendorong istimewanya haul ini adalah zaman dan situasi di mana Guru Ijai hidup. Beliau menjadi ulama tasawuf kharismatik terakhir yang masih hidup waktu itu. Menjadi pribadi yang dijunjung ketika situasi zaman mengalami pergeseran dari generasi X (b.1930 – 1980), Y atau biasa disebut generasi milenial (b.1980 – 1995), dan Z (b.1995 – 2010) (Putra, 2016).
Kepopuleran beliau yang melintas di antara tiga generasi ini menjadi titik tolak penting karena rata-rata merekalah yang ikut hadir dalam haul tersebut, terutama didominasi oleh generasi Y dan Z.
Kita tahu bersama bahwa kedua generasi yang terakhir merupakan generasi melek teknologi internet dan media sosial (Lyons, 2004). Melalui jejaring ini kharisma sang guru semakin dipopulerkan, di-blow up sedemikian rupa sehingga membuncah emosi keagamaan dan membangkitkan sentimen spritual. Ini beriringan di tengah situasi masyarakat yang kehilangan pegangan batin. Hati menjadi kering dan tandus.
Pergeseran generasi old menuju generasi Z menuntut harga yang harus dibayar yaitu ketiadaan cairnya suasana damai dan kompromistis, berganti menuju budaya modern yang sarat ketegangan, persaingan, dan saling tikam satu sama lain.
Maka tidak heran jika setiap tahun banyak kalangan yang semakin berlomba-lomba ikut memeriahkan, bahkan memberi segala macam bantuan untuk acara haul sang guru. Acara ini menjadi potret betapa sosok beliau sebagai ulama yang santun, lemah lembut menjadi cermin bagi masyarakat. Sebisa mungkin, mereka meniru akhlaknya, mengamalkan apa yang dipesankannya, dan menghidupkan tradisi-tradisi keagamaan yang telah dibawanya.
Betapa damainya Islam yang beliau bawa. Haul yang ke-14 ini menjadi haul akbar yang digadang akan lebih besar. Ini menunjukkan masyarakat semakin rindu pada ulama dengan pribadi yang sejuk dan mampu menjadi panutan. Sosok-sosok pembawa kedamaian dan rahmat Tuhan. Bukan ulama-ulama bersuara keras dan lantang yang hanya bisa mengkafirkan!