Sunnatullah
Penulis Kolom

Santri dan pengajar di Pondok Pesantren Al Hikmah Bangkalan.

Dakwah Rasulullah Secara Terang-Terangan dan Ancamannya

Setelah 3 tahun Rasulullah melakukan dakwah secara diam-diam, ternyata dampaknya begitu gampang menyebar di kalangan suku Quraisy, secara berantai, orang-orang; perempuan dan laki-laki, memeluk Islam, hingga kabar tentang Islam tersiar di Makkah dan menjadi buah bibir. Kemudian Allah swt memerintahkan Rasul-Nya agar menyampaikan ajaran dan risalah yang dibawanya secara terang-terangan. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman: 

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ

 Artinya, “Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang yang musyrik.” (QS Al-Hijr: 94)

Dalam surah lain Allah swt juga berfirman kepada Rasulullah:

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الأقْرَبِينَ وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu.” (QS Asy-Syu’ara’: 214–215)

Setelah turun perintah Allah swt untuk menyebarkan dakwah secara terang-terangan, Rasulullah saw segera melaksanakannya. Beliau menyambut firman Allah tersebut dengan menaiki Bukit Shafa lalu berseru, “Wahai Bani Fihr, wahai Bani ‘Adi,” sehingga mereka pun segera mendekati beliau.

Orang-orang yang tidak bisa datang pun mengutus wakilnya untuk mengetahui apa yang terjadi. Nabi Muhammad lalu bertanya, “Menurut kalian, seandainya kalian kuberi tahu bahwa di balik bukit ini ada satu pasukan kavaleri yang hendak menyerang kalian, apakah kalian percaya?”

Mereka menjawab, “Ya. Kami belum pernah kaubohongi.”

Lalu Rasulullah bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian tentang siksa yang pedih.”

Reaksi kaum Quraisy terhadap dakwah Nabi Muhammad secara terang-terangan ini adalah menolak dan menentangnya, dengan alasan mereka tidak bisa meninggalkan keyakinan yang diwarisi dari leluhur mereka dan telah mendarah daging dalam hidup mereka. Pada saat itulah, Rasulullah saw mengingatkan mereka tentang perlunya memerdekakan pikiran dan akal dari penghambaan dan sikap taklid (ikut-ikutan), serta perlunya menggunakan akal dan logika. Kemudian Nabi Muhammad menerangkan bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah itu sama sekali tidak dapat memberi mereka manfaat atau mudarat. Rasulullah juga menyerukan bahwa tradisi yang diwarisi dari leluhur mereka, yaitu, menyembah tuhan-tuhan itu tidak sepatutnya mereka lestarikan, apalagi tanpa dasar apa pun selain taklid.

Tatkala Nabi Muhammad mencela tuhan-tuhan mereka, menyebut tradisi mereka sebagai kebodohan, dan mengecam alasan mereka menyembah berhala karena mengikuti tradisi leluhur, sampai-sampai beliau menyebut leluhur mereka itu tidak berakal, mereka menganggap tuduhan ini masalah yang serius dan menolak tuduhan ini. Mereka semua bersepakat menentang dan memusuhi Muhammad, kecuali mereka yang dilindungi Allah swt dengan Islam, dan Abu Thalib yang justru mendukung, melindungi, serta membelanya.

Baca juga:  Sejarah Aliansi Saudi-Wahhabi (Bagian I): Pembantaian Karbala

Ada 3 pelajaran penting dari kejadian ini menurut Syekh Said Ramadhan al-Buthi. Dalam kitab Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah, [Beirut: Dar al-Fikr 2020], h. 72) disebutkan, yaitu:

Pertama, ketika Rasulullah mendakwahkan Islam secara terang-terangan kepada suku Quraisy dan bangsa Arab umumnya, beliau mengejutkan mereka dengan sesuatu yang tidak pernah mereka perkirakan, yaitu ajaran Islam. Ini jelas sekali tampak dari reaksi mereka kepada Nabi Muhammad dan kesepakatan para tokoh Quraisy untuk memusuhi dan melawannya.

Tapi, apalah arti dimusuhi atau bahkan diperangi, ketika kemantapan hati terhadap perintah Allah sudah terpatri dalam jiwa Nabi Muhammad. Semuanya selalu dijalani dengan sabar, meski tidak sesekali Rasulullah mendapatkan ocehan, bahkan ancaman akan dibunuh oleh kaum Quraisy.

Kedua, bisa saja Allah swt tidak memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan peringatan kepada keluarga dan sanak kerabatnya secara khusus, karena telah tercakup dalam perintah-Nya, yaitu, “Maka siarkanlah apa yang diperintahkan kepadamu.”

 Kalimat itu bersifat umum mencakup semua orang termasuk anggota keluarga dan sanak kerabat. Jadi, mengapa ada perintah agar Nabi Muhammad secara khusus menyeru keluarga dan kerabat?

Perintah yang bersifat khusus itu sesungguhnya mengandung isyarat tentang tingkatan-tingkatan tanggung jawab kaum Muslim umumnya dan secara khusus para juru dakwah. Tingkatan tanggung jawab yang paling rendah adalah tanggung jawab setiap orang pada dirinya sendiri. Untuk memenuhi tanggung jawab tingkatan pertama ini, fase permulaan wahyu berlangsung dalam jangka waktu cukup lama. Tujuannya adalah agar Nabi Muhammad saw merasa tenang dan mantap bahwa dia memang seorang nabi yang diutus, dan bahwa yang diturunkan kepadanya adalah wahyu dari Allah swt. Maka, Rasulullagh mengawali dengan beriman kepada dirinya sendiri kemudian mempersiapkan diri untuk menerima segala prinsip, sistem, dan hukum yang selanjutnya diwahyukan.

Baca juga:  Pesantren Pada Masa Kolonial (3): Santri dan Perjuangan Islam dalam Jaman Bergerak

Tingkatan berikutnya adalah tanggung jawab setiap Muslim kepada keluarga dan sanak kerabatnya. Untuk memenuhi tanggung jawab tingkatan ini Allah swt memerintahkan Nabi-Nya secara khusus untuk memberi peringatan kepada keluarga dan sanak kerabat dekatnya. Perintah itu disampaikan setelah perintah bersifat umum untuk berdakwah secara terang-terangan. Tanggung jawab tingkatan ini harus dipenuhi oleh setiap Muslim yang punya keluarga dan sanak kerabat. Tidak ada perbedaan antara dakwah Rasulullah saw kepada masyarakat umum dan dakwah kepada sanak keluarganya. Rasulullah mendakwahkan syariat baru yang diturunkan Allah kepadanya, baik kepada manusia secara umum maupun kepada keluarga dan sanak kerabatnya.

Tingkatan yang ketiga adalah tanggung jawab seorang alim kepada kampung halaman atau negerinya, dan tanggung jawab penguasa kepada negara dan rakyatnya. Kedua kelompok ini, orang yang berilmu dan penguasa, seakan-akan meneruskan tanggung jawab Rasulullah saw, karena mereka adalah ahli waris Rasulullah secara syariat, sebagaimana disebutkan dalam hadis, “Ulama adalah pewaris para nabi.” Sementara, pemimpin dan penguasa adalah khalifah (pengganti), yakni pemimpin yang meneruskan tugas dan tanggung jawab Rasulullah kepada umat.

Kesimpulannya, sebagai mukalaf, Nabi Muhammad saw bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Sebagai orang yang punya keluarga dan kerabat, Rasulullah bertanggung jawab pada keluarga dan kerabatnya. Terakhir, sebagai nabi dan utusan Allah, beliau bertanggung jawab pada seluruh umat manusia.

Baca juga:  Menyudahi Dendam Kesumat: Kisah Muawiyah dengan Az-Zurqa binti Uday

Ketiga, Rasulullah saw mencela kaumnya karena menjadi budak dari kebiasaan leluhur tanpa pernah memikirkan baik dan buruknya bagi mereka. Kemudian, Rasulullah mengajak mereka untuk memerdekakan akal dari belenggu taklid dan fanatisme pada tradisi yang tidak didasari pemikiran dan logika. Ini mengandung arti bahwa keyakinan terhadap agama, termasuk di dalamnya urusan akidah dan syariat, seharusnya dibangun di atas logika dan pemikiran rasional. Sementara, tujuan dari agama ini adalah mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Maka, salah satu tanda keimanan yang benar kepada Allah dan segala persoalan keyakinan lainnya adalah jika keimanan itu didasari pemikiran yang bebas, tanpa sedikit pun dipengaruhi taklid buta pada keyakinan yang menyimpang dari ajaran Islam.

Dari sini, bisa diketahui bahwa agama datang untuk memerangi fanatisme dan mencegah manusia dari belenggunya. Sebab, dalam semua prinsip dan hukumnya, agama dilandasi akal dan logika yang sehat. Sedangkan fanatisme hanya dilandasi dorongan untuk mengekor, tanpa melibatkan pengamatan dan pemikiran sedikit pun.

Semua aturan, hukum, dan sistem perundang-undangan yang dibawa Islam merupakan prinsip-prinsip, sedangkan prinsip adalah sesuatu yang berdiri di atas landasan pemikiran serta akal dengan tujuan tertentu. Jika prinsip-prinsip buatan manusia kadang-kadang menyalahi kebenaran akibat lemahnya pemikiran manusia maka prinsipprinsip Islam sama sekali tidak pernah menyalahi kebenaran, karena yang menurunkan semua ketetapan itu adalah Sang Pencipta akal dan pemikiran. Ini saja sudah cukup menjadi dalil ‘aqli untuk menerima prinsip-prinsip Islam ini dan meyakini kebenarannya.

Prinsip-prinsip Islam adalah garis dan ketentuan yang mengatur gerak zaman, bukan sebaliknya. Dengan mempertimbangkan maslahah dan mafsadah yang ditimbulkan oleh zaman tersebut.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
11
Senang
4
Terhibur
3
Terinspirasi
5
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top