Sedang Membaca
Gus Dur: Jendela Memahami dan Membela Wong Cilik

Peneliti di Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWCPH UI).

Gus Dur: Jendela Memahami dan Membela Wong Cilik

Kehadiran Gus Dur telah banyak didefinisikan oleh berbagai macam orang, baik dari akademisi, jurnalis, kerabat, penggemar, bahkan organisasi internasional di seluruh penjuru dunia. Mereka membangun sebuah figur dari pengalaman mereka berinteraksi dengan beliau.

Misalnya Greg Barton yang menulis buku berjudul Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, terbit pada 2002 silam. Peneliti ternama itu telah merangkai memori pertemuannya dengan Gus Dur dalam 414 halaman buku.

Namun, bagi yang kurang beruntung, mereka menjumpai Gus Dur dalam tulisan-tulisan yang mereka baca mengenai sosok orang berpengaruh di Indonesia tersebut. Jika penulisnya tak lain adalah Gus Dur sendiri, tulisan itu tak sekedar dibaca, tapi juga menjadi bahan diskusi. Salah satu buku wajib tentang pemikiran Gus Dur, misalnya, adalah Prisma Pemikiran Gus Dur. Buku ini berisi kumpulan tulisan beliau yang pernah diterbitkan di Majalah Prisma tahun 1970-1980-an. Walaupun begitu, pemikiran Gus Dur dalam setiap babnya masih sangat relevan dengan perkembangan zaman saat ini.

Lalu, tidak seperti kaum terpelajar umumnya, bagaimana dengan rakyat biasa di pelosok negeri? Bagi mereka, keahlian baca tulis hanyalah sebuah syarat bertahan hidup. Bagi mereka, kala itu, televisi masih menjadi barang super mewah. Bagaimana mereka dapat mengenal Gus Dur? Bagaimana sosok Gus Dur terlihat di mata mereka? Bagaimana sosok Gus Dur hari di dalam keseharian mereka?

Baca juga:  Dari Syekh Yusuf, Nelson Mandela, hingga Gus Dur

Di tahun 2001, ketika Gus Dur meninggalkan jabatannya sebagai orang nomor satu di Indonesia, saya pertama kalinya sadar makna kehadiran Gus Dur bagi rakyat biasa di pelosok Jawa Timur. Terumata bagi mereka yang tidak pernah berjumpa dengan beliau dan kurang memiliki kesempatan emas membaca berbagai literatur tentang sosok hebat ini. Kala itu, berita televisi menayangkan sosok Gus Dur terakhir kalinya berada di Istana Negara sebagai presiden Republik Indonesia. Mereka berkumpul di satu ruangan, menyaksikan momen itu bersama.

Saya pun menyaksikan bagaimana rakyat terpaku melihat kejadian tersebut. Suasana hening dan muram menyelimuti ruangan. Mereka tidak banyak bicara kala itu. Hanya gumaman yang menyesalkan mengapa hal itu terjadi. Namun, seminggu setelah pergantian presiden, mereka masih membicarakan mengenai apa yang mereka lihat di televisi. Saya mendengar pedagang buah bercerita dengan pensiunan aparatur negara mengenai kesedihan mereka. Saya mendengar tukang becak membicarakan nasib negara ketika mengantarkan saya ke apotek.

Teringat kata-kata guru Kewarganegaraan di SMP dulu, bahwa kebanyakan rakyat adalah masa mengambang. Pernyataan itu rasanya tidak sepenuhnya benar. Pedagang buah dan tukang becak pada masa Orde Baru hanya dianggap massa mengambang yang nantinya dikelompokkan menjadi golongan fungsional. Golongan yang dulunya dianggap tidak paham arah negara ini, kini mereka memiliki suara. Pun suara itu tidak didengar; itu persoalan yang lain. Yang jelas, mereka paham apa yang terjadi dan mereka memiliki pendapat tentang keadaan negara beserta presidennya. Layaknya obrolan petani karet di pedalaman Kalimantan Tengah beberapa tahun lalu, mereka pun memiliki ritual berbincang tentang negara dan presidennya sembari minum kopi.

Baca juga:  Kisah Sang Pengampu Spiritualitas Santri Ma’had Aly Situbondo

Orang-orang tersebut memang tidak menganalisis sepak terjang Gus Dur seperti seorang peneliti atau akademisi. Mereka tidak menulis biografi sang mantan presiden dengan berbagai referensi mutakhir. Mereka tidak mendefinisikan kehadirannya. Tapi, bagi saya, itu cukup menjelaskan makna kehadiran sang tokoh bangsa bagi mereka.

Gus Dur tidak perlu didefinisikan. Ia hidup dalam guyonannya yang dalam tapi berisi. Dan tentu saja, ia hidup dalam nilai-nilai yang beliau ajarkan, merasuk hingga pelosok nusantara. Karena itu, melihat sosok sang pembela kebenaran dari kaum jelata bisa pula menjadi jendela betapa luas dimensi seorang tokoh bagi banyak kalangan. Kita perlu meneroka lebih luas narasi wong cilik yang sangat nyata dalam perjalanan hidup tokoh kita ini.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top