Begitu mudah orang yang dianggap ustaz di media sosial menihilkan batas antara mujahid dan teroris. Padahal batas itu tentu saja sangat jauh. Jihad adalah perjuangan yang penuh kemuliaan. Kematian sebagai mujahid adalah dambaan setiap insan Muslim. Terlebih jika kematian tersebut menjadi sempurna karena menjadi syahid.
Dalam Islam, jihad bil qital (dengan perang) dilakukan sebagai solusi terakhir yang tak ada pilihan lain, terdapat syarat-syarat yang ketat. Demikian ini demi menjaga agar perang tidak menimbulkan korban yang salah sasaran. Perang adalah jalan terakhir ketika upaya diplomasi menemui kegagalan.
Sementara teroris lekat dengan tindakan bughat (pemberontakan, makar) yang mengganggu stabilitas suatu negara. Terorisme justru menyasar orang-orang yang tidak bersalah, dan hanya menebar ketakutan di masyarakat.
Pelaku terorisme akan bangga jika korbannya semakin banyak. Dalam aksi terorisme musuh tidak jeleas. Hanya sekadar identifikasi dari agama atau negara yang diasosiasikan sebagai kafir dan musuh Islam.
Berbeda dengan jihad yang berupaya meminimalisir jumlah korban jiwa. Dalam berperang Islam dengan jelas mengatur siapa yang wajib, siapa yang tidak boleh dibunuh dan dilukai. Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh NU pada 22 Oktober 1945 adalah contoh seruan jihad yang sangat hati-hati. Dalam Resolusi Jihad NU masih “memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menetoekan soeatode sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap oesaha2 jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki tanganja”.
Jika pelaku pengeboman di Surabaya kemarin adalah benar sekeluarga—dengan istri dan anak-anak di bawah umur—merasa telah berjihad menegakkan agama Allah, tentu keyakinan mereka adalah salah. Perang suci tidak melibatkan perempuan dan anak-anak.
Kematian pelaku terorisme yang di situs-situs radikal diberitakan bahwa mayatnya berbau wangi, berkeringat, dan tersenyum, diolah sedemikian rupa sehingga memunculkan kesan bahwa itu menunjukkan bahwa mereka mati syahid. Kalau hanya wangi, semua mayat orang Islam akan wangi karena saat memandikan pun disunnahkan untuk menggunakan wewangian.
Dalam konteks yang lebih luas, jihad yang memiliki makna kata bersungguh-sungguh, memberi peluang bagi umat Islam untuk berjihad di medan juang kehidupan. Sesuai dengan kemampuan dan keinginan masing-masing.
Setiap orang yang bergerak demi kemaslahatan kemanusiaan, menjaga maqasidus syari’ah (tujuan-tujuan ditetapkannya hukum Islam), dan meningkatkan kualitas kehidupan, adalah mujahid-mujahid dengan tingkatan dan fungsi yang berbeda-beda.
Sampai di sini dengan mudah pula dihubungkan bahwa setiap kematian dalam jihad pasti otomatis pula sebagai mati syahid. Mati syahid yang menjadi dambaan setiap Muslim itu memunculkan pertanyaan, siapa yang dapat menentukan bahwa seseorang itu mati dalam keadaan syahid atau bukan? Pertanyaan ini terlalu pelik untuk dijawab. Terlebih jika kita menyitir hadits Nabi yang seringkali hanya diungkapkan sepotong saja; yaitu innamal a’malu binniyat.
Hadits tersebut jika dibaca secara lengkap sesungguhnya mengandung pesan bahwa setiap yang dilakukan Muslim itu memiliki dua motif: karena Allah atau karena selain Allah. Motif ini tidak bisa dilihat secara kasat mata. Hanya manusia yang berniat itu sendiri dan Allah yang tahu.
Sementara hadits lain memberikan pemaknaan bahwa banyak orang yang tampaknya beramal akhirat, sesungguhnya hanya beramal dunia. Sebaliknya, banyak yang tampaknya beramal dunia, namun sebenarnya sedang beramal akhirat. Ya, semua itu berbeda karena adanya niat yang berbeda pula.
Kita tidak tahu pasti niat dan sesuatu yang tersembunyi dalam hati seseorang. Kewenangan manusia hanya bisa mereka-reka, bahwa seseorang meninggal dalam keadaan syahid. Hal ini dilakukan agar keluarga duka tidak bersedih. Sebagaimana orang yang meninggal karena kecelakaan, tenggelam, kelaparan, atau sakit perut dianggap sebagai mati syahid. Namun, yang mengetahui sejatinya kesyahidan seseorang hanya Allah semata.
Kita tidak tahu niat dan motif apa yang melandasi para teroris lainnya yang mengatasnamakan Islam dengan tindakannya tersebut. Bukan wewenang manusia untuk menentukan kematian seseorang sebagai syahid. Karena melakukan jihad itu mudah, syahid yang sulit.