Sedang Membaca
Hasyim Asy’ari: Tebar Harmoni, Tradisikan Literasi, Rangkul Petani
Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Hasyim Asy’ari: Tebar Harmoni, Tradisikan Literasi, Rangkul Petani

Pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratusy Syaikh KH M. Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari 1871 dan wafat pada 25 Juni 1947. Peringatan hari lahir kakek Presiden Abdurahman Wahid itu cukup ramai menghiasi media sosial, pada 14 Februari 2018, bahkan ada yang menyenggolkan dengan Hari Valentine yang dirayakan pada hari yang sama. Keduanya memang tidak berhubungan, tapi pantaslah jika lantunan nada kasih sayang dan cinta menebar luas. Sebab, seorang pecinta telah melahirkan NU dengan cinta.

Rasa cinta masih menebar hingga hari ini, Kamis, 15 Februari 2018, dan alif.id ingin menggemakannya lagi, menggemakan sosok Hasyim Asy’ari berikut cita-cita, gagasan, dan karya-karyanya, agar menjadi inspirasi kita semua. Saya merangkumnya dari beberapa tulisan saya yang dimuat di NU Online dan media lain.

Peneliti Zamakhsyari Dhofier pada 1945 pernah mengatakan bahwa Pesantren Tebuireng yang didirikan Hasyim Asy’ari pada 1899 tidaklah termasuk pesantren tua. Di Tebuireng saja, ia kalah tua dengan pesantren Tambakberas yang berdiri tahun 1838. Tebuireng juga lebih muda dari pesantren Rejoso (sekarang dikenal dengan nama Darul Ulum) di Kecamatan Peterongan, Jombang, yang didirikan oleh Kiai Kiai Tamim Irsyad (Madura) dan Kiai Haji Cholil pada 1885.

Namun, Tebuireng menjadi kunci karena Hasyim Asy’ari mampu “mengakumulasikan” ide besar, yakni bertemunya nilai keagamaan dan kebangsaan. Zamakhsyari memilih kata “mengakumulasikan”, tampaknya ingin menunjukkan bahwa ulama-ulama pendahulu, sebelum Mbah Hasyim, juga memiliki semangat yang sama, antikolonialisme. Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj juga sering menegaskan, bahwa Mbah Hasyim memiliki keunggulan yang lebih karena dapat mempertemukan ide besar, yakni keislaman dan kebangsaan.

Dalam sejarah, kita memang menemukan bahwa para ulama mencurahkan segala pikiran, tenaga, dan jaringannya untuk lepas dari penjajahan, bersama elemen-elemen lain dari banyak pulau. Hal itu meresahkan pemerintah kolonial, yang lantas mencurigai setiap anak negeri yang baru pulang mukim dari haromain, sehabis berhaji dan menuntut ilmu. Antropolog beken Snouck Hurgronje (orang ini oleh para orangtua dulu didongengkan sebagai tokoh antagonis, yang jahat dan munafik) dikirim ke Saudi dan diterjunkan ke Aceh untuk mencari informasi aktivitas para ulama.

Martin van Bruinessen dalam buku Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat menulis seperti ini:

“Tahun 1772, Syekh Abdus Shomad Al-Falembangi (Palembang), yang menetap di Makkah, mengirim surat kepada Sultan Hamengkubono I dan kepada Susuhunan Prabu Jaka. Isinya rekomendasi bagi dua orang haji yang baru pulang dan mencari kedudukan, tetapi dalam pendahuluan surat ada pujian terhadap raja-raja Mataram terdahulu yang telah berjihad melawan kompeni. Surat-surat ini dapat dibaca sebagai anjuran untuk meneruskan jihad melawan kompeni.”

Baca juga:  Gus Dur: Politik Nilai dan Praksisnya

Ini artinya, perlawanan terhadap kolonial sudah berlangsung lama, sebelum tahun 1772.

Mbah Hasyim mencermati bahwa perang Jawa yang digerakkan oleh Pangeran Diponegoro itu didukung oleh para ulama. Apalagi ia adalah pengikut tarekat. Pemuda-pemuda musola dan santri-santri masuk ke dalam pasukan utama. Begitu juga pemberontakan petani di Banten, tokoh-tokohnya adalah para ulama dan para mursyid tarekat, dengan tokohnya Syaikh Abdul Karim.

Contoh lain adalah perang Aceh yang terkenal itu. Saat Belanda tiba di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, pada 5 April 1873, sebagian pasukannya langsung disuruh menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Ulama menjadi benteng dan spirit sekaligus.

Itulah sedikit contoh bahwa ulama dengan institusinya (di  Aceh bernama dayah, di Minang bernama surau, di Palembang, Banjarmasin bernama pesantren, di Jawa bernama pondok/pesantren) begitu lama memperjuangkan negeri ini merdeka. Ulama berjuang  bersama dengan santri dan jamaahnya serta segenap jejaring ilmu pengetahuannya,

Karena sejarah itulah, Mbah Hasyim sangat sigap menghadapi situasi darurat pasca Indonesia Merdeka. Sudah merdeka, kok t berjihad dan perang mempertahankan kemerdekaan negeri. Jika tidak punya daya linuwih, tidak akan ada Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 itu. Daya linuwih Mbah Hasyim ini, antara lain, karena melanjutkan perjuangan ulama terdahulu.

Sudah barang tentu, kegemilangan perjuangan itu berkat bahu-membahu, bersatu padu dengan banyak elemen di negeri berisi belasan ribu. Mau santri atau bukan, sembayang atau tidak, mau Islam atau bukan, mau kulit hitam atau coklat, mau laki-laki mau perempuan, asal kita bersatu padu, Indonesia akan maju.

Tradisi kepenulisan yang kuat

Hasyim Asy’ari tidak hanya pandai berbicara di dalam mushola, kelas, atau mimbar-mimbar pengajian umum, tapi juga memiliki tradisi kepenulisan yang kuat. Sejumlah disiplin keislaman di bidang akidah, akhlah, hingga ilmu fikih ia tulis dengan serius.

Berikut ini sejumlah karya Kiai Hasyim Asy’ari yang masih menjadi kitab  wajib untuk dipelajari di pesantren-pesantren Nusantara. Catatan karya Mbah Hasyim diambil dari website Pesantren Tebuireng (tebuireng.net):

1. Adabul ‘Alim Wal Muta’allim adalah sebuah kitab yang mengupas tentang pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru. Dalam kitab ini KH. M. Hasyim Asy’ari menjelaskan tentang cara agar ilmu itu mudah dan cepat dipahami dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab ini, memberikan pula pencerahan agar ilmu benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.

2. Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah merupakan pedoman bagi warga NU dalam mempelajari tentang apa yang disebut ahlus sunnah wal jama’ah atau sering disingkat dengan aswaja. Dalam kitab ini, Hadratus Syaikh juga mengulas tentang beberapa persoalan yang berkembangan dimasyarakat semisal, apa yang disebut dengan bid’ah? Menerangkan pula tentang tanda-tanda kiamat yang terjadi pada masa sekarang ini.

Baca juga:  Membandingkan Santri di Jawa Tengah dan Jawa Timur

3. At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan merupakan kumpulan beberapa pikiran khususnya yang berhubungan dengan Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, ditekankan pentingnya menjalin silaturrahim dengan sesama serta bahayanya memutus tali sillaturahim.

4. An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin merupakan karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari yang menjelaskan tentang rasa cinta kepada nabi Muhammad SAW. Dalam kitab tersebut, dijelaskan pula tentang sifat-sifat terpuji nabi Muhammad SAW yang bisa menjadi suri tauladan bagi kita semua.

5. Ziyadatut Ta’liqot merupakan kitab yang berisi tentang polemik beliau dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang berkembang pada masa itu. Perdebatan terjadi pada beberapa masalah yang tidak sesuai antara pandangan Nahdlatul Ulama dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan.

6. At-Tanbihatul Wajibat Li Man Yasna’ Al-Maulid Bil Munkaroti adalah sebuah kitab tentang pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tantang peringatan maulid nabi Muhammad SAW yang disertai dengan perbuatan maksiat atau munkar.

7. Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah berisi pikiran ataupun pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy’ari tentang lembaga perkawinan. Dalam kitab tersebut, beliau menangkap betapa pada saat itu banyak pemuda yang ingin menikah akan tetapi tidak mengetahui syarat dan rukun nikah.

Selain menulis kitab, Kiai Hasyim juga rajin menyebarkan ilmu dan penapatnya di sejumlah media yang beredar secara nasional pada waktu itu, di antaranya, majalah Soeara Moeslimin Indonesia (majalah milik Masyumi), Berita NO, Soeloeh NO, Swara NO, dan sebagainya. Tema yang beliau tulis tidak sebatas bidang ilmu keagamaan, tapi juga meliputi pertanahan dan pertanian, politik internasional, kolonialisme, dan macam-macam lagi.

Perhatian pada pertanian

Mungkin belum banyak orang yang mengetahui bahwa Hasyim Asy’ari memiliki perhatian pada dunia pertanian, pada kesuburan tanah hingga kepemilikan tanah. Kakek Gus Dur itu pernah menulis tentang pertanian dengan judul Keoetamaan Bertjotjok Tanam dan Bertani: Andjoeran Memperbanyak Hasil Boemi dan Menjoeboerkan Tanah, Andjuran Mengoesahakan Tanah, dan Menegakkan Ke’adilan. Tulisan satu halaman itu dimuat majalah Soera Moeslimin Indonesia No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharom 1363 Hijriah atau 1942 Masehi.

Sudah jamak bagi seorang kiai jika banyak mengutip Al-Qur’an, hadits, dan kitab-kitab para ulama ketika menulis artikel. Di antara nash yang dikutip adalah hadits Imam Bukhori, ”Tak ada seorang muslim yang menanam tanaman atau mencocokkan tumbuh-tumbuhan, kemudian tanaman itu dimakan burung atau manusia atau burung, melainkan dihitung menjadi sedekah (bagi yang menananmnya).”

Baca juga:  Adzan Terakhir di Madinah

Sebetulnya tidaklah mengherankan jika Hadrotusy Syaikh amat perhatian pada dunia pertanian. Dan, Mbah Hasyim sendiri, seperti data diri yang diserahkan ke penjajahan Jepang, pekerjaan resminya adalah petani dan guru agama.

Adalah fakta bahwa Nahdlatul Ulama, pada waktu itu, sangat peduli pada nasib petani.Lihat saja dalam bahtsul masail (majlis para ulama untuk membahas persoalan-persoalan keumatan) yang diselenggarakan NU dari tahun 1926-1945, banyak pertanyaan-pertanyaan yang berkait dengan pertanian, tanah, tambak, zakat petani, hingga sedekah bumi (ritual kaum tani untuk mensyukuri nikmat Tuhan). Bahkan, berdirinya NU, salah satu tujuannya, adalah untuk melindungi kaum tani,”Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan persahabatan, yang tiada dilarang syara’ agama Islam.”

Tokoh-tokoh NU, jika berpidato di muka umum atau di rapat-rapat NU, memilih diksi-diksi yang dekat dengan kaum tani: tanah, air, tanah air, atau bumi. Sekedar contoh, Rais Aam PBNU Kiai Wahab Hasbullah, dalam doa iftitah Muktamar NU ke-25 di Surabaya, menegaskan:

”Mewarisi ‘bumi’ ini artinya membangunnya agar menjadi suatu dunia yang sejahtera, aman dan makmur, yang di dalam berisi keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.”

Mbah Hasyim, dalam tulisannya, menerangkan bahwa petani adalah benteng terakhir bagi pertahanan negeri. Mengutip tulisan Muntaha dari kitab Amalil khuthaba, Mbah Hasyim menulis:

”Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe diwaktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat  negeri didasarkan.”

Di akhir tulisan, seraya mengutip kitab akhlak yang masyhur di pesantren Adabud Dunya, Mbah Hasyim menyeru bahwa dunia akan tertib jika enam hal terpenuhi. Pertama, agama yang ditaati. Kedua, pemerintah yang berpengaruh. Ketiga keadilan yang merata. Keempat, ketentraman yang meluas. Kelima, kesuburan tanah yang kekal. Dan keenam, cita-cita yang luhur.

Sumber: 
–    Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama Tahun 1930,
–    Soera Moeslimin Indonesia No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharom 1363
–    Ahkamul Fuqoha; Kumpulan keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes NU (Surabaya, 2006),
–    Secercah Da’wah karya KH Saifuddin Zuhri dalam (Bandung, 1983)

Rangkuman tulisan dari:

http://www.nu.or.id/post/read/63014/mbah-hasyim-asyrsquoari-dan-ulama-terdahulu

http://madinatuliman.com/4/2/712-karya-karya-hadratusy-syaikh-kh-hasyim-asy-ari.html

http://www.nu.or.id/post/read/36124/kh-hasyim-asyari-pak-tani-itulah-penolong-negeri 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top