Sedang Membaca
Makna Jihad dalam Al-Qur’an
M. Tholhah Alfayad
Penulis Kolom

Lahir 15 Agustus 1996. Pendidikan: alumni Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Lirboyo, Kediri. Sedang menempuh S1 Jurusan Ushuluddin Univ. Al Azhar al Syarif, Kairo, Mesir. Asal Pesantren An Nur I, Bululawang, Malang, Jawa Timur.

Makna Jihad dalam Al-Qur’an

8186221343930811

Kata jihad kembali menyeruak.  Memang,  kata itu tidak akan pernah lepas dari kehidupan kita, jika dikaitkan dengan banyak hal dalam dimensi yang lebih luas. Mari kita gali makna jihad seperti disebut di dalam Al-Qur’an. 

Qs. Al-Baqarah ayat 190 menyebutkan:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ (190)

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (Qs. Al-Baqarah : 190)

Dalam ayat ini kita akan menemukan intisari dari makna jihad dalam Al-Qur’an, yaitu :

Pertama, ayat ini sebagaimana ayat-ayat yang menjelaskan perintah berjihad selalu memakai redaksi kata qaatiluu (berperanglah). Pada dasarnya asal kata qaatala berasal dari akar kata qitaal yang bermakna melakukan perlawanan atas serangan musuh.

Hal ini tentu berbeda denga lafadz qatala yang berasal dari akar kata qatala yang bermakna membunuh (kitab Madkhal li Dirasah an-Nudzum al-Islamiyyah hal.272 cetakan Maktabah al-Aiman Kairo tahun 2018)

Dari sini, telah jelas bahwa Islam tidak memaknai jihad sebagai membunuh ataupun menyerang non-muslim secara bebas. Akan tetapi, tindakan perang ataupun menyerang musuh hanya boleh dilakukan dalam rangka melindungi agama Islam dari marabahaya.

Hal ini terbukti selama 13 tahun lamanya Nabi Muhammad Saw. menetap di kota Makkah tidak ada satupun darah yang ditumpahkan oleh umat Islam. Padahal, ketika itu permusuhan kaum kafir Quraisy sangat tajam terhadap Nabi Muhammad dan umatnya.

Setelah Nabi Muhammad hijrah ke kota Madinah, al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad untuk bersabar hingga turun perintah jihad dari Allah. Hal ini dibuktikan dengan Qs. Al-Baqarah ayat : 109:

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (18): Kitab Jihad Syekh Abdus Shamad al-Palimbani Jadi Inspirasi Perang Aceh

……فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (109)

“…Maka maafkanlah dan berlapang dadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Qs. Al-Baqarah : 109)

Kemudian, perintah untuk berjihad diperintahkan oleh Allah untuk pertama kalinya dengan turunnya Qs. Al-Baqarah ayat 190 yang kita kaji saat ini.

Kedua, perintah berjihad harus berlandaskan semangat menjunjung tinggi agama Allah. Hal ini terbukti dengan adanya redaksi fi sabilillah yang bermakna “Demi menjunjung tinggi agama Allah”.

Maka, tidaklah dianggap sah segenap tujuan berjihad untuk sekedar tujuan duniawi seperti sebatas perluasan kekuasaan, ketenaran dan sejenisnya.

Harus ada niat tulus untuk menegakkan agama Allah agar diterima jihadnya dihadapan Allah. Selain itu, jihad juga harus memiliki tujuan menjaga dan menjunjung tinggi agama Islam.

Disinilah kita perlu menolak ajakan jihad yang mengarah kepada terorisme. Justru gerakan terorisme lah yang merusak citra agama Islam dihadapan umat beragama lain.

Padahal, ada jihad dalam bentuk lain seperti jihad memerangi kemiskinan dan kebodohan yang seharusnya diperjuangkan umat Islam.

Ketiga, jihad dengan mengangkat senjata hanya boleh ditunjukkan kepada bala tentara musuh yang mengancam agama Islam. Hal ini terbukti dengan redaksi “…Alladziina Yuqaatiluunakum” (…hanya kepada orang-orang yang memerangi kamu).

Maka, sangat tidak dibenarkan melakukan serangkaian penyerangan terhadap non-muslim yang tidak terlibat secara langsung dalam memerangi umat Islam.

Dr. Abd at-Tawwab Musthofa mengatakan, “Perang yang diperintahkan dalam agama Islam bukanlah perintah untuk memerangi suku bangsa ataupun golongan tertentu, akan tetapi perang hanya diperintahkan untuk menghadapi bala tentara di medan peperangan” (kitab al-‘Alaqat ad-Dawliyyah wa as-Siyasah al-Kharijiah fi al-Islam vol.2 hal.136 karya Dr Abd at-Tawwab Musthofa cetakan al-Ahram Kairo 2011).

Baca juga:  Tafsir Surah al-Fatihah (13): Apakah Basmalah Termasuk Bagian dari Surah al-Fatihah?

Dalam hal ini, jihad dengan mengangkat senjata tidak ditunjukkan untuk non-muslim yang tidak berkaitan dengan perang.

Bahkan, Nabi Muhammad dengan tegas melarang membunuh perempuan dan anak kecil dalam setiap peperangan.

عنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ وُجِدَتِ امْرَأَةٌ مَقْتُولَةً فِى بَعْضِ مَغَازِى رَسُولِ اللَّهِ فَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ

Diriwayatan dari shahabat Ibnu Umar, beliau berkata “Dahulu ditemukan seorang perempuan terbunuh pada sebagian perang Rasulullah, maka Rasulullah melarang untuk membunuh para perempuan dan anak kecil” (HR.Bukhari)

Keempat, jihad yang dilaksanakan tidak boleh melebihi batas. Hal ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah dengan larangan membakar musuh.

Karena tentu membunuh dengan cara membakar telah melanggar nilai kemanusiaan.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ  أَنَّهُ قَالَ بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ فِى بَعْثٍ ، وَقَالَ لَنَا إِنْ لَقِيتُمْ فُلاَنًا وَفُلاَنًا لِرَجُلَيْنِ مِنْ قُرَيْشٍ سَمَّاهُمَا  فَحَرِّقُوهُمَا بِالنَّارِ . قَالَ ثُمَّ أَتَيْنَاهُ نُوَدِّعُهُ حِينَ أَرَدْنَا الْخُرُوجَ فَقَالَ إِنِّى كُنْتُ أَمَرْتُكُمْ أَنْ تُحَرِّقُوا فُلاَنًا وَفُلاَنًا بِالنَّارِ ، وَإِنَّ النَّارَ لاَ يُعَذِّبُ بِهَا إِلاَّ اللَّهُ ، فَإِنْ أَخَذْتُمُوهُمَا فَاقْتُلُوهُمَا.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Suatu ketika Rasulullah mengutus kami, beliau berpesan: “Apabila kalian menemui si fulan dan si fulan (yang keduanya adalah tokoh suku Quraisy dan Nabi telah menyebutkan nama keduanya), maka bakarlah keduanya dengan api”.

Kemudian, kami mendatangi Nabi untuk izin perpisahan dengannya. Maka, ketika kami ingin melangkah keluar Nabi bersabda:

Baca juga:  Apa Isi Khotbah Terakhir Hadratus Syaikh Hasyim Asya’ari?

“Sungguh aku telah memerintahkan kalian untuk membakar si fulan dan si fulan dengan api, dan tidak boleh ada yang menyiksa dengan api kecuali Allah, maka ketika kalian meringkus keduanya cukuplah kalian membunuh keduanya” (HR.Bukhari)

Begitu juga, para pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad selalu berpesan untuk menjaga nilai kemanusiaan meskipun dalam beratnya peperangan.

“Suatu ketika para prajurit umat Islam membawakan kepala salah satu tokoh besar orang kafir kepada khalifah Abu Bakar. Maka, khalifah Abu Bakar pun marah melihat hal itu. Dikatakan kepadanya ,“Wahai khalifah, mereka juga sering melakukan hal seperti itu kepada prajurit kita”.

Khalifah Abu Bakar menjawab “Apakah kalian ingin mengikuti kebiasaan buruk orang persia dan romawi? Sungguh sangat tidak terpuji hal demikian”.

Maka, sang khalifah pun menuliskan perintah kepada para pegawainya “Jangan kalian bawakan kepadaku kepala-kepala musuh, cukup bagiku kalian kabarkan kepadaku atas peperangan kalian” (Kitab Syarh as-Sair al-Kabir vol.1 hal.110 karya syeikh Muhammad bin Ahmad asy-Syaibani cetakan Syirkah I’lanat Asy-Syarqiyyah tahun 1971)

Walhasil, kita akan sepakat dengan pendapat Dr. Ismail al-Badawi “Pada dasarnya jihad dengan bentuk berperang hanya ketika dalam keadaan darurat.

Ketika Islam terpaksa untuk menegakkan kebenaran dengan berperang, maka Islam telah menetapkan norma-norma yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan selama peperangan berlangsung.

Islam juga telah menetapkan undang-undang yang komplit dalam jihad. Itu semua berdasarkan aspek kasih sayang dan semangat menjalin hubungan yang baik” (kitab Ikhtishashat as-Sulthah at-Tanfidziyyah fi ad-Daulah al-Islamiyyah hal.118 karya Dr. Ismail al-Badawi cetakan Dar an-Nahdlah Kairo 1993).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top